06. 30 September [3]

267 35 5
                                    

Senin, 30 September. 16:30. Kami tiba di markas Pemadam Kebakaran Sukamawar, namun Idris nampaknya kelelahan. Dia mengaku tidak apa-apa, namun aku tidak percaya.

"Aku tidak yakin dengan jawabanmu," ucapku.

Aku mulai mendekatinya yang baru saja duduk. Aku menyentuh dahinya. Terasa hangat, ciri-ciri bahwa dia sedang demam.

Aku ingin membawanya ke rumah sakit tapi dia menolak. Aku memaksa dengan mengambil ponsel dari saku dan nampaknya dia marah. Akhirnya aku memilih untuk menelepon ayahku saja.

"Ayah, bisakah ayah pergi ke markas pemadam sekarang? Bawa Idris pulang!"

"Baiklah, ayah segera ke sana."

Aku mengembalikan ponsel ke sakuku. Idris menanyakan rencana kami. Aku memintanya untuk beristirahat. Sekarang saat yang untuk membalas kebaikannya. Aku meyakinkan bahwa urusan ini akan segera selesai.

"Pak Ibrahim, jagakan dia sebentar ya. Aku akan ke sekolah, melihat mereka."

"Ya. Bapak akan diam di sini. Bapak juga menunggu mereka sebenarnya, tapi baiklah."

Aku berlari kecil menuju ke sekolah. Setibanya di sana, aku melihat mobil pemadam kebakaran itu berhenti di depan pagar. Nampaknya menunggu kesempatan yang pas untuk menyeberang. Aku berlari semakin cepat sebelum mobil itu berangkat.

"Ada apa nak?" tanya pak Taufiq membukakan jendela mobil.

"Dimana mayat pagi tadi?" tanyaku langsung.

"Mayat itu? Setelah kami bersihkan, kami serahkan ke pihak rumah sakit."

"Lalu, apa yang kalian lakukan di sekolah ini?"

"Kami hanya berurusan sebentar dengan polisi. Setelah polisinya pulang, kami juga membersihkan sumur itu."

Mobil itu pun menyeberang jalan dan menuju markasnya. Sementara aku langsung pulang saja. Bersamaan dengan pulangnya ayahku.

"Bagaimana keadaan Idris tadi?"

"Dia baik-baik saja. Masih bisa berjalan sendiri ke rumahnya. Memang dia yang meminta untuk tidak diikuti."

"Baguslah kalau dia baik-baik saja."

***

Selasa, 1 Oktober. Pagi ini biasanya aku pergi bersama dengan Idris, namun sampai sekarang dia belum ada. Sudah beberapa menit aku menunggunya di pagar ini.

Tiba-tiba datanglah sebuah mobil. Seorang pria keluar dari mobil itu. Itu pak Mahmud, walikota sekaligus kepala sekolah baru kami.

Beliau menanyakan mengapa aku berada di sini, kujawab "Menunggu teman." Sekarang beliau bertanya apa alasanku.

"Kemarin dia sakit, dan aku belum menjenguknya. Jadi, aku masih belum tau dia akan ada atau tidak."

Beliau mendoakan agar Idris cepat sembuh. Dia menanyakan dimana rumahnya sehingga kami dapat menjenguk ke sana.

"Jika ada orang yang bertanya rumahku dimana, jangan kasih tau! Cukup aku aja!" Tiba-tiba aku terngiang ucapan Idris saat aku berkunjung ke rumahnya beberapa hari yang lalu.

"Ya, cukup jauh." Hanya itu jawabanku, menjaga kepercayaan Idris meski dia tidak bersamaku. Aku kemudian diminta untuk masuk kelas.

Selama pelajaran pertama itu, aku gelisah dan guru yang sedang mengajar bertanya padaku kenapa. Aku tidak menjawabnya dan hanya meminta izin untuk keluar. Aku juga tidak menjelaskan tujuanku yakni ke kelas Idris.

Tok tok tok. Aku mengetuk pintu kelas itu yang tertutup. Berselang beberapa saat, pintu itu dibukakan oleh guru yang mengajar di kelas itu.

Beliau bertanya tujuanku. Pertama, aku mencari Idris apakah ada di kelas dan beliau menjawab tidak ada. Ketika beliau menanyakan kemana perginya, saat itulah aku menjawab bahwa kesehatannya melemah dan jatuh sakit.

Detektif Sekolahan | TERBITDove le storie prendono vita. Scoprilo ora