True story of Sunarto W. Samudro
Write by : Haning Arum SAku duduk menonton stasiun tv yang biasanya menyiarkan ramainya aktivitas ka'bah. Sedih rasanya melihat pemandangan yang kini sepi akibat virus yang telah menjadi pandemi, Covid-19.
Tiba-tiba teringat pada dua masa ketika aku berada di antara ribuan orang di sana. Sayang, ketika itu aku sama sekali tidak merasakan indahnya beribadah karena terpaksa. Ya ..., terpaksa.
Kala itu, tahun 2006 dan tahun 2013 aku menunaikan ibadah haji, namun bukan atas kemauanku sendiri. Tahun 2006 aku berangkat haji untuk mendampingi saudariku dan tahun 2013 aku berangkat untuk menemani ibuku.
Aku sangat terpaksa, dengan berat hati demi menemani mereka akhirnya aku pun berangkat. Bahkan rambutku pun masih panjang sepunggung kala itu. Aku juga pernah tersesat di Madinah selama dua hari lamanya (2006). Namun heran, ketika tahun 2013 aku kembali berhaji, saat itu aku diberi kemudahan menyentuh Hajar Aswad. Rasanya seperti tidak ada orang yang menghalangiku untuk menyentuh batu hitam yang menjadi rebutan ribuan bahkan jutaan orang di Mekah, padahal ketika itu aku masih terpaksa. Ketika itu menurutku menunaikan ibadah haji hanya sekedar piknik, tidak menambah keimanan sama sekali. Terbukti, dengan banyaknya yang telah berhaji, namun tingkah laku dan perbuatannya semakin jauh dari Tuhan.
Entah kenapa, justru kini, ketika melihat sepinya Ka'bah dan masjid-masjid di sana aku merasa sedih. Ada rasa ingin kembali ke sana, bukan karena terpaksa, tapi karena ajakan batin yang merindu. Aku ingin kembali ke sana bersama istri dan anak-anakku, mungkin untuk umroh saja, tapi kali ini dengan sepenuh hati.
Harapanku semoga virus ini cepat berlalu, dan haji serta umroh dapat dilakukan kembali oleh semua orang di seluruh dunia. Aamiin.
Jakarta, 31 Maret 2020
KAMU SEDANG MEMBACA
Sejumput Warna Kehidupan
RandomHanya kata yang disusun dalam cerita mengenai warna warni kisah kehidupan.