Yuk mana suaranya . . . .
Maktor pengen denger donggggg suaranyaaaa . . . . .
Biar lebih semangat update nihhh
Oh ya, buat semuanya tetap stay home ya, jangan bepergian sampai situasi kondusif. Semoga kita semua selalu sehat-sehat dan dalam lindungannya. Amin.
______________________________________________
Embarase
Pria itu hanya ada di rumah pada saat weekend, dan aku yakin hari ini dia ada di rumah. Lagipula tekadku sudah bulat, aku harus mengembalikan semua fasilitas yang dia berikan ini dan kembali ke kehidupan normalku. Aku masih bisa meminjam laptop Ze jika aku butuh untuk mengerjakan tugas.
"Selamat datang Nona." Sapa seorang pelayan di rumah itu.
"Em . . . maaf, apakah Mr. Hudson ada di rumah?" Tanyaku.
"Ya."
"Bisakah aku menemuinya?" Tanyaku dan pelayan itu mempertimbangkan sesuatu.
"Beliau berpesan jika anda datang diminta langsung ke perpustakaan."
"Ya aku tahu, tapi aku benar-benar ingin menemuinya."
"Beliau ada di kamarnya. Aku akan menanyakannya, sementara itu tunggulah di sini."
"Ok."
Pelayan itu berjalan menuju ruangan lain. Dia menghilang di balik tembok, entah di sebelah mana kamarnya, tapi yang bisa kulakukan di sini adalah meyakinkan diriku lagi bahwa aku harus bagaimana? Apakah ini adalah hal yang benar-benar aku inginkan atau bukan?
Dengan cemas aku menunggu pelayan itu kembali, dan benar, tak butuh waktu lama, dia kembali dan langsung menemuiku.
"Anda diminta datang ke kamarnya."
"Tapi aku tidak tahu dimana kamarnya."
"Bersebelahan dengan ruang kerja Mr. Hudson."
"Ok."
Dengan ragu aku bangkit berdiri dari tempatku duduk dan berjalan menyusuri lorong untuk menemukan ruang kerjanya. Benar saja, aku melwatkan watu pintu sebelum ruang kerjanya, jadi aku berbalik dan berdiri di depan pintu itu beberapa saat.
Aku menghela nafas dalam sebelum akhirnya memberanikan diri untuk mengetuk pintu kamarnya, tapi tidak ada jawaban bahkan saat aku mengulang untuk yang ketiga. Aku menengok kanan kiri, tidak ada orang yang bisa kutanyai.
"Ok, kurasa pendengaranku masih tidak bermasalah. Pelayan itu mengatakan padaku kalau dia mau menemuiku." Aku menarik handle pintu dan membuka pintu besar itu. Terlihat ruangan dengan nuansa hitam dan abu-abu, kontras dengan selimut dan bedcover putih yang terpasang.
"Mr Hudson." Aku tidak melihat pria itu dimanapun.
"Dia tidak ada di kamarnya?" Alisku mengkerut, kusapu ruangan itu sekali lagi dengan pandangan mataku dan tetap tidak menemukannya. Aku berbalik dan berniat keluar dari kamar besar ini.
"Hei." Aku terlonjak saat mendengar suaranya dari arah belakangku.
"Hei." Aku segera berbalik dan tersenyum meski sejujurnya aku hampir pingsan.
"Ada masalah?" Tanyanya.
"No." Aku bergidik. Satu-satunya masalah adalah dia berdiri di hadapanku hanya dengan handuk yang melilit pinggangnya. Lengkap dengan rambut basah dan bulir-bulir air yang belum terseka sepenuhnya dari kulit putihnya.
"Duduklah, aku akan berpakaian." Katanya.
Aku menautkan alisku, pria ini benar-benar pria yang berbeda dari yang kutemui di kampus seminggu yang lalu.
Aku duduk di sofa yang berada di sudut ruangan menunggunya muncul. Setelah sepuluh menit, dia datang lagi dengan celana putih longgar dan sweater warna pucat.
"Apa ada masalah dengan pekerjaanmu?" Dia menghampiriku dan langsung duduk dengan satu kaki disilangkan di atas satu kakinya yang lain, membuat lututnya bertumpukan.
"Tidak." Gelengku.
"Lalu?" Alisnya bertaut, tapi tatapannya terkunci padaku. Sialnya setiap kali tatapannya terkunci padaku, mulutku juga mendadak terkunci hingga tak satupun kalimat bisa keluar dari mulutku.
"A . . . aku ingin mengembalikan semuanya." Ujarku terbata, kulihat alisnya bertaut semakin dalam.
"Berikan aku alasannya." Aku melihat dia tidak terkejut, dia bahkan sangat santai menghadapiku yang gugup setengah mati. Aku memejamkan mataku sekilas, kutarik nafas dalam untuk mengumpulkan oksigen dan keberanian sebelum akhirnya aku mengungkapkan alasanku.
"Karena aku tidak menemukan alasan mengapa anda mempekerjakanku." Jawabku tak terarah.
"Excuseme?" Dia memiringkan wajahnya, berusaha mencerna kalimatku. Sedangkan aku sendiri yang mengatakannya juga tidak yakin dengan apa yang kukatakan, apalagi dia yang mendengarnya.
"Anda memberikan semua ini padaku karena anda mengasihaniku kan?" Tanyaku.
"Kau pikir begitu?" Dia membalik situasinya dengan pertanyaan baru.
"Anda menganggap aku mahasiswi paling menyedihkan dikampus jadi anda membawaku ke sini utnuk memberiku pekerjaan yang sebenarnya tidak anda butuhkan demi memberiku gaji agar aku bisa tetap hidup. Anda juga meminjamkan laptop dan ponsel ini karena anda tahu aku terlalu miskin untuk bisa membelinya dengan uangku sendiri kan?" Aku mengoceh tak tentu arah, tapi aku merasa lega karena semua menyesaki kepalaku seperti sampah ini akhrinya bisa kukeluarkan.
"Kau merasa seperti itu?" Dia lagi-lagi tidak menjawab pertanyaanku, justru membalik pertanyaannya padaku.
"Ya." Satu-satunya yang bisa kulakukan hanya mengakuinya.
"Sayang sekali aku harus mengatakan bahwa apa yang kau pikirkan itu tidak benar sama sekali." Dia melipat tangannya, kemudian menatapku dalam. "Aku akan memakai hasil ringkasanmu sebagai bahan ajar yang akan kubagikan pada semua mahasiswa setelah aku mereviewnya." Dia bangkit berdiri dan berjalan menuju laci kecil di sisi tempat tidurnya.
"Aku sedang memeriksanya, dan aku berencana menyelesaikannya malam ini, besok pagi akan kubagikan pada kalian semua melalui email." Ujarnya sambil menunjukan hasil print out pekerjaanku yang ku email padanya minggu lalu.
"Soal laptop, itu hanya salah satu caraku mempermudah semuanya. Karena jika kau meringkasnya dengan kertas, aku akan kesulitan untuk mengirimkan hasil tulisan tanganmu pada semua mahasiswa, jadi bentuk file akan lebih mudah. Dan soal ponsel, aku benar-benar membutuhkannya sebagai alat komunikasi, bukan alat untuk menyalurkan rasa belas kasihanku pada mahasiswiku." Ujarnya dengan senyum ringkas. Oh sial, dia benar-benar mematahkan semua pikiran kotorku dan sekarang aku menyadari betapa piciknya pikiranku ini.
"Ada lagi yang ingin kau katakana?" Tanyanya dan aku tertunduk malu.
"Maaf, tidak seharusnya aku mengatakan semua hal bodoh tadi." Sesalku.
"Aku bisa memahaminya." Katanya dengan senyuman yang bisa kulihat dari balik bulu mataku.
"Aku akan kembali ke perpustakaan." Aku harus segera melarikan diri, itu yang kupikirkan saat ini.
"Ok, take your time." Jawabnya.
Aku berjalan cepat, keluar dari kamar itu dan kembali ke perpustakaan dengan rasa malu yang menggantung di leherku, terasa sangat berat hingga aku tak berani mengangkat wajahku, apalagi menatapnya.
Soal ciuman itu pasti hanya karena dia sedang kesepian saat malam sudah larut, lagipula dia tidak mungkin benar-benar memandangku sebagai seorang wanita. Aku tidak layak membayangkan bahwa dia menginginkanku, dia hanya sedang iseng, mungkin itu yang harus kutanamkan dalam-dalam didalam isi kepalaku yang rusak ini.
Oh sial.
KAMU SEDANG MEMBACA
My Sweet Lecturer (Done) Edisi Revisi
RomanceBeberapa mahasiswi sangat mungkin jatuh hati pada sang dosen, apalagi kalau si dosen tersebut udah akademisi juga praktisi di bidang bisnis. Udah gitu ganteng, single, kaya raya pula. Nah apa yang akan terjadi pada Isabella Dimitri nih, kalau ternya...