AWANG

850 115 81
                                    

Catatan Penulis: Aku menulis cerita ini hari ini untuk membuktikan pada diriku sendiri kalau aku masih bisa menulis.

Jujur, semenjak akhir kuliah hingga sekarang aku bekerja, aku merasa seperti sentuhanku semakin hilang. Tulisan terakhirku adalah tambahan minor pada bab-bab terbaru Dark Raiders dan Tudung Saji, dan dua-duanya masih belum siap rilis. Tempo hari, aku juga baru mendapatkan tanggung jawab tambahan lagi, yang artinya aku belum tentu punya cukup waktu untuk menikmati hobiku lagi mulai sekarang.

Aku kangen curhat pada kalian. Mungkin aku akan curhat sedikit nanti di belakang.

Untuk sekarang, aku cuma mau membuktikan dulu pada diriku sendiri kalau aku masih bisa menulis, dan mungkin memberi kalian sedikit cicipan dari dunia paling kuno yang pernah kubuat: dunia yang lebih tua lagi daripada Ragnarok Cycle yang sekarang masih berjalan. Seperti biasa, aku sendiri tidak tahu cerita ini genre-nya apa.

Aku kangen kalian. Selamat menikmati.

***

Tidak seperti yang sering digaungkan oleh mitos umum, mata manusia menyesuaikan diri dengan kegelapan dalam hitungan waktu kurang dari sedetik.

Yang perlu waktu untuk menyesuaikan diri bukan mata manusia, tetapi otaknya. Selalu ada ketidaksesuaian antara apa yang terjadi secara nyata, apa yang dirasakan oleh tubuh, apa yang diproses oleh otak, dan apa hasilnya. Seluruh sistem indra dan persepsi manusia tidak berevolusi untuk memproses kenyataan, tidak berevolusi untuk memproses alam semesta, dan jelas tidak berevolusi untuk menjadi cerdas. Seluruh tubuh manusia, semua esensinya, hanya bisa ada hingga hari ini karena setiap perubahan yang terjadi di tengah jalan, dari sejak empat setengah miliar tahun yang lalu hingga detik ini, melakukan satu hal yang konsisten: tidak membiarkan pemilik perubahannya gagal punya keturunan.

Tidak lebih, dan tidak kurang.

"Kegelapan itu menyeramkan," kata pembantuku dulu. "Kalau malam sudah turun, jangan lupa menyalakan lampu."

Pembantuku adalah orang yang sangat bersahaja, dengan pakaian seadanya dan wajah yang tidak pernah dipoles. Toh nanti akan kotor lagi juga, katanya. Dia selalu datang tepat jam delapan pagi di rumah, mulai bekerja, selesai jam sebelas, beristirahat hingga jam dua belas, beribadah sesuai agamanya, membuatkan makan siang yang bisa diawetkan di kulkas, memakan jatah makanannya sendiri, memastikan lagi ke seluruh rumah bahwa tidak ada detail yang terlewat—yang sebenarnya mudah karena rumahku bukan rumah yang besar—dan kemudian pulang. Dia akan kembali lagi jam setengah delapan malam untuk membantu sedikit-sedikit urusan rumah sampai jam sembilan sebelum pulang lagi.

Suatu hari, mendekati waktunya pulang malam, listrik di seluruh kompleks rumahku mati. Aku tidak kaget atau apa, tetapi aku ingat jelas mendengar suatu dengungan, entah dari mana asalnya, begitu kegelapan memeluk mataku. Pembantuku terdengar mencicit seperti tikus yang ekornya terjepit. Dengungan misterius tadi perlahan mengeras, seakan sumbernya mendekati telingaku, lalu menghilang begitu saja.

Selama lima belas menit, pembantuku memegang tanganku, memastikan bahwa aku baik-baik saja. Tentunya, aku baik-baik saja. Ini rumahku sendiri. Tentu, orang tuaku jarang di rumah, tetapi orang tuaku adalah orang tuaku, dan aku adalah aku. Setidaknya begitu logika di kepalaku.

"Kegelapan itu menyeramkan," kata pembantuku sembari gemetar. "Dulu, waktu Mbok masih hidup di kampung, setiap malam, kami menyalakan lampu di depan rumah."

Dia melanjutkan dengan bercerita bahwa tidak ada listrik di kampungnya. Mereka semua menggunakan lampu minyak atau lilin dengan pelindung plastik yang didaur ulang dari lampu minyak tetangga yang sudah rusak. Semua lampu minyak mereka dapatkan dari para petani, yang paling sering keluar-masuk desa untuk memperdagangkan beras dan berbagai bahan pangan lain kepada mandor terdekat, dan otomatis merupakan yang paling sering bertemu dengan toko di luar kampung.

prototype αlphaOn viuen les histories. Descobreix ara