Eleven - Is it Over?

70.5K 4.4K 37
                                    

Ini sudah memasuki minggu-minggu akhir tahun pelajaran. Dan seperti yang sudah diumumkan, besok adalah pekan UAS.

Ujian Akhir Semester.

Sebenarnya UAS tidak seburuk kedengarannya. Di samping belajar lebih keras, tidur lebih malam, dan pusing bertambah, ada hal-hal yang seharusnya disyukuri.

Yang pertama, UAS berarti pulang lebih cepat. Walau itu tidak berarti waktu tidur bertambah.

Yang kedua, jika pulang lebih cepat, semakin kecil peluangku untuk bertemu dengan makhluk itu. UAS sudah cukup membuat pening dan wajah makhluk itu yang mengesalkan hanya akan memperparahnya.

And last but not least, sebentar lagi naik kelas. Dan kalian tahu apa yang menyenangkan dari itu? Itu berarti aku tidak akan satu tempat duduk, satu partner, dan semoga saja tidak satu kelas dengan Angga.

Aku meraih jadwal ujian dan meneliti satu-persatu pelajaran di tiap harinya. Hm, hari Senin Matematika dan Agama. Besoknya Fisika dan Kimia, mantap.

"Oi," aku menoleh ke kiri dan mendapati Angga yang memanggilku.

"Lo ruang berapa?" Tanyanya. Aku menatap kartu ujian milikku yang baru dibagikan tadi. Ruang  empat belas.

"Empat belas. Lo?" Angga melirik sekilas kartu miliknya. "Lima belas."

Lega? Hmm, iya. Seharusnya.

"Lo mau balik?" Tanyaku refleks, melihat dia sudah beranjak dari kursi dengan tas di bahunya.

"Mau bareng?" Tanyanya.

Aku menggeleng sebentar lalu merogoh isi tas untuk mengambil sebuah bingkisan.

"Tuh, dari nyokap buat nyokap lo." Ucapku.

Angga menatap tidak senang dengan bingkisan floral pink itu.

"Cepetan ambil elah." Ucapku sambil menyodorkan bingkisan itu. Kalau tidak, lama-lama bunga di kertas kadonya bisa layu ditatap Angga. Haha.

"Hm, bilangin makasih. Dan lain kali kertasnya jangan yang girlish kayak gini, gue malu bawanya."

Hm, kata-katanya hanya memasuki kuping kananku, lalu keluar dari kuping kiri. Toh, tidak penting ini.

Omong-omong, gawatnya, semenjak ayah pulang, keadaan makin mengesalkan. Itu cuma berlaku untuk topik mengenai Angga, sih. Dan aku khawatir karena belakangan ini, kalau ayah-ibu mulai membahas-bahas Angga, jantungku jadi lebih giat memompa darah. Lalu entah kenapa bibirku serasa terpaksa ditarik untuk mengulum senyum.

Serius, itu menyiksa. Dan tentunya menggelikan.

Ternyata Angga bisa membawa dampak buruk terhadap kesehatan.

Dan omong-omong soal bingkisan tadi, aku curiga mengenai ibuku yang menitipkannya untuk ibunya Angga. Rumah kita kan tidak jauh. Sama sekali.

Oh, dan belakangan ini aku menolak tawaran Angga untuk pulang bareng.

Bukan karena kadar ngeselinnya bertambah--walau itu salah satu faktornya juga--tapi karena aku tidak mau di ceng-cengin sama ibu karena pulang bareng.

Sekitar sepuluh menit kemudian, aku baru keluar dari kelas.

Maksudnya sih biar nggak bareng Angga. Tapi ternyata di luar ramainya kebangetan. Anak-anak pada mondar-mandir nyariin guru buat nanya materi UAS. Kebanyakan juga fotocopy latihan-latihan soal gitu.

Setelah berhasil keluar dari desakan kakak-kakak kelas yang menuhin koridor, akhirnya sampai juga di lapangan.

"Eh, Sab!" Panggil seseorang.

A Riddle Upon UsWhere stories live. Discover now