Selamat berbuka bagi yang berpuasa 🙏
"Lea kantin, yuk," ajak Sheila.
Lea berdiri. "Sheila duluan aja, kalau sempat nanti Lea nyusul soalnya Lea mau minta tugas dulu sama Pak Gunawan biar nilai Lea yang kosong bisa terisi."
Sheila mengangguk. Kemudian berlalu bersama teman-temannya yang lain. Sedangkan Lea berjalan ke arah kantor guru.
Setelah mengetuk pintu sebanyak tiga kali, perlahan ia mendorong benda persegi panjang itu. Matanya langsung menemukan pak Gunawan yang sibuk dengan kertas-kertas nya
"Permisi, Pak."
Pak Gunawan meliriknya sekilas kemudian melanjutkan kesibukannya memeriksa nilai ulangan harian. "Ada apa? Mau minta ponsel kamu? Saya gak akan kembalikan kalau orang tua kamu belum datang."
"Bukan, Pak. Sebelumnya Lea mau minta maaf karena udah berbuat gak baik sama bapak, Lea ke sini mau minta tugas buat ngisi nilai Lea yang kosong, boleh? Soalnya Lea kemarin di marahin Papi, Lea di suruh tidur di pos karena udah buat salah di sekolah," jelasnya dengan sedih.
Pak Gunawan yang mendengar itu sedikit iba dengan Lea. Guru plontos itu memberikan buku paket pada Lea. "Kerjakan semua soal yang ada di buku itu, saya kasih waktu 3 hari. Setelah selesai ponselmu akan saya kembalikan dan kamu akan mendapat nilai."
Senyum Lea merekah, sedikit melompat karena terlalu senang. Tangannya meraih buku Pak Gunawan kemudian memeluknya. "Terima kasih, Pak. Lea bakalan kerjain semuanya."
Dengan segera gadis itu berlari kecil menuju kelas. Membuka buku kemudian mulai mengerjakan soal dengan serius.
"Banyak banget," keluhnya. Ia harus bekerja ekstra kalau begini.
Lea mempelajari semua soal-soal dengan tekun, bahkan bunyi perutnya yang tak pernah diisi sejak tadi pagi ia abaikan.
Hingga bel masuk kembali berdering, semua murid memasuki kelas termasuk Sheila yang telah duduk di sebelahnya.
"Kenapa tadi gak ke kantin, Le?" tanya Sheila.
"Lea harus ngerjain tugas Pak Gunawan, Lea harus selesaikan semuanya dalam waktu 3 hari," ucapnya masih fokus menulis jawaban di bukunya.
Dua jam berlalu, Lea masih sibuk mengerjakan tugas Pak Gunawan. Tak memperdulikan teman-temannya yang asik menikmati jam kosong.
Istirahat kedua tiba. Sheila kembali menghampiri Lea. "Le, istirahat dulu. Gak capek apa ngerjain tugas mulu! Lo udah makan belum?"
Lea menggeleng. "Nanti aja, Lea masih sibuk."
"Tapi Lo belum makan, Le."
Ucapan Sheila sama sekali tak dibalas oleh Lea, gadis itu masih fokus pada pekerjaannya.
"Lea, Lo dengerin gue gak, sih?!"
Sheila yang lelah diabaikan Lea akhirnya memilih pergi.
Tak lama Sabrina, salah satu sahabat Lea yang paling dewasa mendekati gadis itu. "Lea gak makan dulu?" tanyanya.
"Nanti aja, Bina. Lea mau ngerjain tugas dulu."
"Lanjut besok, kan bisa. Kamu makan dulu, ya. Besok kita bantu ngerjain tugasnya juga," bujuknya.
Karena mungkin geram dengan sikap acuh Lea, Sheila yang sedari tadi memperhatikan interaksi Lea dan Bina akhirnya menutup buku gadis itu secara paksa.
"Sheila apa-apaan, sih?! Lea mau ngerjain tugas!" marahnya.
"Masih ada hari besok buat ngerjain! Lo mau sakit gara-gara gak makan?!"
Lea menarik paksa bukunya yang berada di genggaman Sheila, memeluk buku itu kemudian menunduk terisak.
"Lea mau selesaikan secepatnya hiks, biar Papi sama Abang gak marah lagi sama Lea hiks. Lea udah dijauhi sama Abang, Lea gak mau dijauhi sama Papi juga. Tadi malam Papi bilang kalau Lea bukan anaknya lagi, Lea takut," ucapnya di sela tangis.
Sabrina mendekat, memeluk Lea yang masih menangis. Ikut sedih mendengar perkataan gadis itu, Bina tak menyangka jika Lea bekerja keras karena takut kehilangan Ayah dan Kakaknya.
***
Jam pulang tiba, Lea bergegas memasukkan alat belajarnya ke dalam tas. Tugas Pak Gunawan belum semuanya selesai, masih tersisa tiga bab lagi.Setelah berpamitan dengan teman-temannya, Lea berjalan keluar kelas, Menyusuri koridor dengan wajah pucat.
Ia merasa tak enak badan hari ini.
Langkahnya berhenti di pos, tempat murid-murid menunggu jemputan. Termasuk Lea, ia duduk di bangku yang telah disediakan. Tubuhnya bersender sambil memeluk tas pink nya, memejamkan mata berharap rasa pening di kepala bisa berkurang.
Namun tiba-tiba kegelapan merenggut kesadarannya.
"Lea," teriak Sheila dari jauh.
Gadis itu ikut duduk di sebelah Lea. "Lo gak pulang bareng Leo? Gue liat dia ada di parkiran tadi," ucapnya.
Tak mendapat jawaban, Sheila menoleh pada Lea. Alisnya menyatu saat melihat wajah pucat Lea yang terpejam sambil bernafas tak beraturan.
"Astaga, Lea!" Sheila terkejut saat menyentuh kening gadis itu. Suhu tubuh Lea sangat panas.
Bingung akan melakukan apa, ia akhirnya berlari lagi menuju parkiran mencari keberadaan Leo.
Di sana, cowok itu masih berdiri di sebelah mobilnya mengobrol dengan kedua temannya.
"Leo!" teriak Sheila.
Kakinya berhenti tepat di hadapan cowok itu, ia masih mengatur nafasnya namun tangannya sibuk menunjukan jalan ke arah pos.
"Kenapa Lo?" tanya Ken.
"Lea di pos! Dia sakit."
Setelah mendengar ucapan Sheila, Leo segera berlari menuju adiknya, disusul oleh Devian.
"Seriusan Lo!" tanya Ken lagi.
Sheila melayangkan tatapan sinisnya. "Ngapain gue bohong!"
Ken memasang wajah tak percaya yang menyebalkan. "Sumpah? Demi apa?" Menaik-turunkan alisnya.
"Rese Lo!"
Tak lama Leo datang sambil membawa Lea di gedongannya, di belakang cowok itu ada Devian yang membawa tas Lea.
"Thanks," ucap Leo pada Devian yang telah membawakan tas adiknya dan Sheila yang telah memberitahunya keadaan Lea.
Mobil Leo segera melaju meninggalkan parkiran sekolah dengan perasaan kalut.
Tak pernah ia melepas sedikitpun tangan panas adiknya. Lea memang jarang sakit, tapi jika sudah sakit, semua akan dibuat khawatir.
Leo berulang kali membangunkan adiknya. Namun, gadis itu sama sekali tak bergerak.
Sampai di rumah, ia melihat orang tuanya tengah duduk di teras menikmati secangkir teh. Arga yang lebih dulu menangkap wajah panik anaknya saat turun dari mobil akhirnya berdiri.
"Ada apa, Leo?"
Cowok itu terlihat membuka pintu di sisi kiri mobil, tempat di mana Lea berada.
"Lea demam tinggi, Pi."
Leo menggendong adiknya yang masih belum membuka mata. Bahkan suhu tubuhnya sama sekali tak berubah sejak dari sekolah tadi.
"Pi, tolong telpon dokter. Lea daritadi gak mau buka matanya."
Arga mengangguk, menelpon dokter yang biasa menangani keluarganya. Ia ikut masuk saat Leo sudah lebih dulu membawa Lea ke kamarnya.
Sedangkan Rena berjalan ke dapur, mengambil kompres untuk anak perempuannya itu.
Sampai di kamar, Leo membaringkan adiknya. Mengusap keringat yang membasahi dahi Lea.
"Lea, bangun. Ini Papi," panggil Arga mencoba membangunkan putrinya.
Tak ada pergerakan, hanya nafas Lea yang masih tak beraturan yang terdengar.
Rena datang membawa baskom berisi air hangat dan kain.
"Udah gak usah panik, Lea kalau sakit emang gitu, kan. Kaya gak tau aja," ucap Rena menenangkan. Ia meletakkan nampan di nakas dan menatap wajah pucat anaknya.
"Papi sama Leo keluar dulu, biar Mami gantiin baju Lea. Kasian udah basah kena keringat," usir Rena.
Dua pria itu akhirnya mengangguk pasrah dan keluar dari kamar Lea.
"Kenapa Lea bisa sakit, Leo?"
Leo menggeleng, wajahnya masih memperlihatkan kecemasannya. "Mungkin karena Lea belum makan. Tadi dia gak ke kantin, kata Sheila dia lagi sibuk ngerjain tugas buat ngisi nilai."
Arga menghela nafas berat. Ini salahnya terlalu keras pada Lea. Anaknya itu memang akan bekerja sangat keras jika sudah bertekad ingin menyelesaikan sesuatu.
"Pi, Lea tadi pagi sarapan, gak?"
"Kemungkinan gak, supir tadi bilang kalau Lea kesiangan," jawab Arga.
Leo mengerti mengapa adiknya berdiri di depan kelas tadi pagi. Andai ia tau, Leo pasti akan mengajak adiknya untuk sarapan dulu. Bukan malah menghindari Lea hanya karena ingin memberi hukuman pada adiknya itu.
"Dingin, Mi."
Teriakan lemah Lea terdengar hingga keluar kamar. Membuat Leo dan Arga langsung masuk menghampiri gadis itu.
"Pakai biar demamnya turun, Lea," ucap Rena yang geram melihat tingkah anaknya yang menolak untuk di kompres.
"Pakai atau Papi bawa kamu ke rumah sakit!"
Jangan lupa vote ya 🌟
Komen jika suka atau ada saran dan kritik 😊
Update tergantung vote ya😁Salam
Rega♥️2442020