Part 57

630 77 24
                                    

Hembusan angin begitu kencang, awan kelabu berarak menyelimuti langit angkasa, tetesan air pun mengguyur tanah yang kering hingga basah, ya hujan kembali menyapa semesta, salah satu bukti kucuran rahmat dari-Nya, menyirami tumbuh-tumbuhan yang layu hingga menjadi segar dan bersemi kembali, bunga-bunga menjadi bermekaran dan indah dipandang mata. Suasana dini hari begitu dingin, kilat-kilat menyambar, suara guntur bergemur, aroma petichor pun menyeruak di indera penciuman manusia. Nafis dan Nafisah terbangun berlari mengetuk pintu sambungan antara kamar mereka dan Ayah Bundanya.
Faisal dan Nisa yang baru mulai takbiratul ihram pun terpaksa membatalkan shalat malamnya saat mendengar kedua anaknya memanggil-manggil Ayah Bunda. Ya Faisal dan Nisa berusaha untuk istiqamah bangun dini hari hingga pagi, rutinitas yang memang awalnya tidak mudah, harus dipaksakan hingga akhirnya menjadi kebiasaan yang nggak bisa ditinggalkan. Bukankah Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam sendiri yang sudah dijamin surga selalu mendirikan shalat malam, tak pernah meninggalkan bahkan hingga kakinya bengkak. Pernah suatu ketika Sayyidah Aisyah bertanya kepada Rasulullah SAW mengapa Rasul shalat malam hingga kakinya bengkak, bukankah Allah ta’ala sudah mengampuni dosanya baik yang telah lalu dan yang akan datang? Rasulullah menjawab “Tidak bolehkah aku menjadi seorang hamba yang banyak bersyukur?” (HR. Bukhari Muslim)
Sosok manusia teladan ummat sejagad, yang sudah dijamin surga, ma’shum dari dosa saja ibadahnya berusaha selalu maksimal, lantas bagaimana dengan manusia biasa yang dosa-dosanya menggunung, dosa-dosanya lebih banyak dari buih di lautan dan ibadahnya males-malesan belum optimal? Faisal dan Nisa berusaha banget meski awalnya berat tapi tak ada kata menyerah dan lelah untuk berubah menjadi pribadi yang lebih baik, apalagi menjadi orang tua yang harus memberikan contoh bagi anak-anaknya. Tak boleh ata kata lelah dalam taat, sebab dengan taat pada-Nya ridho dan surganya menjadi lebih dekat. Faisal dan Nisa sadar betapa banyak dosa-doanya, dan pintu ampunan-Nya selalu terbuka lebar, sepertiga malam salah satu waktu mustajab melangitkan doa, waktu di mana Allah begitu bangga terhadap hamba-Nya yang bangun, bermunajat dan bersimpuh menemui-Nya di saat banyak mata terlelap dalam mimpi-mimpi indah, waktu yang damai, sunyi bertemankan dengan suara-suara tasbih makhluk-Nya di bumi, dan saat ini ditemani dengan derasnya air hujan yang membasahi bumi.
“Ayah…Bunda….Ayah…Bunda….” Nafis dan Nafisah saling sahut menyahut memanggil kedua orang tuanya, sembari mengetuk pintu penghubung.
Nisa bergegas dengan mukena yang masih melekat di tubuhnya langsung membuka pintu, mereka langsung memeluk erat Bundanya, Nisa langsung duduk mensejajarkan dengan anak-anaknya, mendekapnya erat, menenangkan putra-putrinya yang ketakutan. “Ada Bunda di sini nak…nggak apa-apa…ada Bunda…ada Ayah juga…” Faisal mendekat mensejajarkan dirinya dengan anak-anaknya, mengusap-usap kepala si Kembar bergantian yang masih dalam pelukan Nisa “Ayo…jangan di depan pintu gini…biar tenang ikutan Ayah sama Bunda shalat ya…” Nafisah langsung berganti memeluk Faisal “Ayah…Fica takuuut…cuala petilnya…”
“Nggak usah takut…ada Ayah sama Bunda di sini…yuk…ke sana aja yuk…ayuk Bun…yuk Kak” Faisal mengajak Nafisah, Nafis dan juga Nisa untuk mendekat ke arah sajadah yang masih terbentang.
“Ayuk Kak…” Nisa mengajak Nafis yang masih memeluknya erat, ya Nisa dan Faisal memang sengaja memanggil Nafis Kakak, sejak awal meski memang terlahir kembar, tapi berharap dengan dipanggil ‘Kakak’ Nafis menjadi pribadi yang lebih mengayomi, menyayangi serta melindungi Nafisah, dan juga memiliki rasa tanggung jawab yang lebih sebagai seorang laki-laki yang kelak akan menjadi pemimpin keluarga.
Suara Guntur kembali bergemuruh, Nafisah yang sudah duduk di atas sajadah yang baru disiapkan Faisal pun langsung memeluk Ayahnya. “Ayaaah…Fica takuuuuut”
“Hsssst…ada Ayah…ada Bunda juga, ada Kak Nafis juga kok di sini…kita doa bareng-bareng ya…”
“Iya…yuk coba ikutin Bunda yaaa…kita doa bareng-bareng kalau ada petir…Allahumma…” Nisa menengadahkan tangan dan mengajak anaknya berdoa pelan-pelan, begitu juga dengan Faisal.
“Allahumma…” Nafis dan Nafisah mengucapkan doa perlahan sembari mengikuti ajaran kedua orang tuanya yang menengadahkan tangan
“La taqtulna…” Nisa melanjutkan
“La…laaa…taq…” Nafis dan Nafisah saling berpandangan merasa agak kesulitan
“La taqtulna” Faisal mengulanginya
“La taqtulna…” akhirnya mereka bisa menirukan
“Bighadhabika…bi…gha…gha..bika” Nisa lagi mendikte sangat pelan
“Bighadhabika” si Kembar semangat seakan sudah lancar dan hafal
“Wala…tuhlikna…”
“Wala…tuh…wala…tuh…ulangi lagi Bun…”
“Wala…tuhlikna…” Faisal dan Nisa kompak mengulang bersama untuk mencontohkan kepada anak-anaknya
“Wala…tuhlikna…”
“Wa’a…fina…”
“Wa’aaa…fina…”
“Qabla”
“Qab…qab…qab…qab…qabla”
“Dzaalik”
“Dzaalik”
“Aaaaamiiiin” Nisa serta Faisal mengusapkan kedua telapak tangannya ke wajahnya masing-masing dan diikuti juga oleh Nafis dan Nafisah.
Nisa dan Faisal bersyukur Allah berikan anak-anak yang sehat dan cerdas, mereka sangat cepat dalam menangkap apa yang mereka dengar, yang mereka lihat, sehingga sebagai orang tua Faisal dan Nisa sangat berhati-hati. Mengajarkan anak sejak dini, mengenalkan mereka untuk tahu siapa Allah dan Rasul-Nya, bagaimana doa-doa keseharian dimulai dari yang pendek-pendek adalah salah satu upaya mendidik mereka, apalagi di masa ‘golden age’.
“Masya Allah pinternya anak-anak Ayah sama Bunda…nah…sekarang Ayah sama Bunda shalat dulu yaaa…Nafis sama Nafisah ikutan juga ya…” Faisal memberikan pengertian kepada kedua anak-anaknya.
“Tapi Fica sama Kak Afic belum wudhu Ayah…”
“Iya…Nafis kan belum wudhu Ayah…gimana cih…”
Anak-anak melihat bagaimana kebiasaaan orang tuanya, setiap anak terlahir istimewa, punya kecerdasan masing-masing, tergantung bagiamana kedua orang tuanya yang harus mengarahkan, mendidiknya.
Nisa yang mendengar protes anak-anaknya tersenyum, dan bersyukur sekaligus bangga, meski memang di usia mereka belum ‘wajib’ tapi mereka sudah mengetahui kalau sebelum shalat harus wudhu terlebih dahulu.
Faisal pun tersenyum, anak-anaknya memberikan banyak pelajaran dalam hidupnya “Oh yaa…Ayah sampek lupa…” padahal sebenarnya kalau pun nggak wudhu pun nggak apa-apa mereka masih kecil belum terbebani dengan kewajiban tapi sudah harus dibiasakan dan diajarkan.
“Sekarang Nafis sama Nafisah wudhu aja dulu yaa…Bunda sama Ayah tunggu, bisa kan seperti yang Bunda ajarkan kemarin” Nisa menyuruh kedua anaknya ke kamar mandi yang ada di kamar.
“Ciap Bun…”
“Ciap Ndaaa…” Si Kembar bergegas ke kamar mandi
“Pelan-pelan yaaa…”
“Eh emang Dek Nisa udah ngajarin mereka wudhu, bukannya katanya masih ngajarin gerakan shalat dulu?”
Faisal dan Nisa berusaha kompak dalam mengajarkan banyak hal, namun lebih sering Nisa sebagai Ibu, komunikasi serta apa yang boleh dan nggak untuk anak harus kompak antara suami istri, jangan sampai ketika Ayah bilang ‘ya’ si Ibu bilang ‘nggak’ ini yang dihindari.
“Hmmm…udah dong Bang...malu yaaa diingetin sama anaknya…duh anaknya kalah cerdas nih sama Ayahnya….hahah” Nisa tersenyum lebar
“Hmmm…Bundanya bisa aja nih ngerjain Ayah, nggak apa-apa sih kalau lebih cerdas dari Ayah Bundanya…artinya kita berhasil mendidik mereka”
“Aaaaamiiin…semoga ya Bang…”
Tak lama Nafis dan Nafisah kembali dengan keadaan yang segar setelah berwudhu, sekalipun mereka berdua belum hafal doanya saat wudhu tapi, Nisa dan Faisal sudah memberikan contoh dan berusaha membiasakannya sejak dini. Mereka shalat, dan bermunajat, Nafis dan Nafisah pun mengikuti gerakan kedua orang tuanya, sesekali menengok kanan dan kiri. Sungguh suasana kedamaian bermunajat bersama, mengajak serta keluarga adalah hal terindah, pemadangan yang disaksikan dan dicatat malaikat bagi hamba-Nya yang taat.

Faisal & NisaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang