10| Makna Sebuah Nama

90 47 56
                                    

Jika kalian menyukai bab ini, silakan pertimbangkan untuk meninggalkan vote dan komentar. Terima kasih yang sudah vomment di bab sebelumnya.
Selamat membaca:*

———

Nama adalah harapan dan do'a yang terselip di hati kecil orangtua—Oriza Litahayu

–Sweet & Bitter–

Jakarta, 2000.

Hari yang ditunggu Aini dan Wibi sudah tiba. Tepat pertengahan bulan Januari, pukul enam sore, Aini melahirkan seorang anak perempuan di salah satu rumah sakit swasta Jakarta. Raut kebahagiaan terpancar di wajah mereka setelah sempat menangis haru.

"Coba tebak, siapa nama babynya?" tanya Wibi pada Aini, dia duduk di kasur brankar rawat inap Aini. Sedangkan istrinya memangku putrinya.

Perhatian Aini beralih ke Wibi. "Siapa? Aku nggak tau."

"Namanya...." Wibi memperhatikan wajah putrinya yang terlihat begitu menggemaskan. "Oriza Litahayu."

Aini tersenyum lebar. "Apa artinya?"

"Oriza itu dewa pertanian. Kalo Litahayu, dalam bahasa Jawa artinya cantik. Ada Jawanya, soalnya kamu dari sana."

"Bagus namanya. Aku suka."

"Riza cantik banget, mirip kamu."

"Oh nama panggilannya Riza," Aini menunjuk hidung Wibi. "Tapi hidungnya kayak kamu."

Wibi terbahak. "Iya dong. Kan aku papahnya."

Sejenak keduanya melupakan fakta bahwa, keluarga Wibi tidak menginginkan putri mereka. Bahkan saat ini, tidak ada yang menjenguk atau memberikan selamat. Jangankan melakukan itu, menanyakan kabar saja.... tidak ada.

–Sweet & Bitter–

Di Bandung, Riza tinggal sendirian di apartemen milik almarhum papahnya. Dia tahu tempat ini karena sebelumnya, dia pernah ke sini bersama orangtuanya. Bersyukur dia masih ingat dengan alamatnya. Semua pekerjaan di sini dia lakukan sendiri, mulai dari mencuci baju, cuci piring, menyapu, mengepel, memasak, dan masih ada banyak lagi. Tanpa bantuan tangan asisten rumah tangga.

Dia meneruskan pendidikan perguruan tinggi di universitas Padjadjaran. Semester empat pertanian. Banyak orang yang bertanya, mengapa mengambil fakultas pertanian. Riza bingung hendak menjawab apa, dia sendiri tidak tahu alasannya. Yang pasti, dia menyukainya.

Saking sukanya, Riza menanam beberapa sayuran di balkon apartemennya yang luasnya tidak seberapa. Barisan tanaman hidroponik—budidaya menanam dengan menggunakan air tanpa tanah dengan menekankan kebutuhan nutrisi bagi tanaman, paling banyak. Jelas, tanaman hidroponik memang cocok untuk lahan sempit. Selain itu, kebutuhan air pada hidroponik lebih sedikit daripada budidaya dengan tanah. 

Di lahan sempitnya itu Riza menanam sawi hijau, bawang, kangkung, selada, tanaman herbal, dan stroberi—titipan Juan. Sedangkan untuk tanaman nonhidroponik, dia hanya menanam tomat dan cabai.

Sesuai merawat tanaman dan melakukan segala pekerjaan, Riza duduk di sofa ruang tengah—yang merangkap menjadi ruang tamu sambil melipat baju. Hari ini hari minggu, dia tidak ada kegiatan sampai nanti sore. Televisi dibiarkan menyala, menayangkan ftv hidayah yang sesungguhnya tidak dia nikmati.

Suara bel apartemen membuat Riza meletakkan kembali baju yang belum dia lipat. Berdiri, lalu berjalan menuju pintu dan membukanya. Airin—temannya sejak SMA, datang sambil membawa beberapa kantong plastik.

"Tumben kamu ke sini?" tanya Riza, menyuruh Airin untuk masuk.

"Duh, bosen gue kalo nggak kemana-mana. Mau jalan nggak ada yang mau diajak," Airin duduk di sofa setelah meletakkan kantong plastik di meja. "Tumben lo nggak ada jalan sama Juan?"

"Cafe rame. Katanya juga mau ada ketemu sama perancang cafe cabangnya." Papar Riza. Dia melanjutkan aktifitas yang sempat terhenti, melipat baju.

"Halah! Palingan juga dia mau ketemu gebetannya."

"Airin,"

"Iya-iya," Airin mengambil remote, mengganti channel. "Lo tuh makhluk hidup nggak sih?"

"Makhluk hidup lha. Aneh kamu!"

"Lo yang aneh, nggak peka-peka!"

"Jangan ngegas dong." Riza terkekeh tidak jelas.

Airin merubah posisi duduknya, menghadap Riza yang sudah selesai melipat baju. "Jum'at kemarin Echa vidcall. Lo nggak angkat-angkat."

"Kok kamu tau kalo nggak aku angkat?"

"Lha Echa vidcall grup, elo sama gue."

"Jum'at aku ke rumah Juan sampe malem."

"Eh, sumpah? Gue pengin banget ketemu bundanya, cantik parah." Ucap Airin heboh.

"Ngapain kamu mau ketemu bunda?"

"Ya cakap-cakap aja. Siapa tau itu bunda cocok sama gue. Terus dijodohin sama Juan. Kan lumayan, Juan udah punya cafe. Banyak duit pasti, apalagi cafe rame terus," Airin tertawa, mulai membayangkan jika dia benar-benar dijodohkan dengan Juan.

"Airin!" seru Riza, tidak suka dengan ucapan Airin.

–Sweet & Bitter–

Bersambung....

Suka? Ada yang ingin disampaikan?

Salam, Masnunahnfz.

Sweet & BitterWhere stories live. Discover now