4. Trio Elite

37.1K 3.6K 305
                                    

a/n: Sejauh ini gimana ceritanya? Kok pada diem-diem aja coba dong mampir ke kolom komentarnya. Aku ada rencana update setiap hari nih guys tapi karena kolom komentarnya masih sepi banget jadilah dua hari sekali aku updatenya. Coba sekarang sebelum baca kalian komen dulu sejauh ini gimana ceritanya, seru, bosenin, kependekan, kepanjangan atau apa? 

Atau kalau kalian bingung mau komentar apa, boleh kok kasih emoji hati atau senyum atau apa sebagai gantinya. Tapi please jangan siders ya aku tuh seneng bacain komentar pembaca. Kalau komennya rame janji deh aku bakal usahain update setiap hari. Biar aku semangat nulisnya kalian juga bantu aku ya dengan tekan vote dan tinggalin komentar. Masukan kalian sangat berarti loh buat aku! Nah sekarang selamat membaca!

.

.

.


"Keujanan lo, Pak Boss?"

Ariano mendapat sambutan tersebut begitu ia masuk ke dalam ruang kerjanya. Seolah tidak terkejut lagi dengan kehadiran tamu tidak diundang itu. Lelaki itu mengacak rambutnya yang sedikit lembab setelah sempat terkena gerimis sebelum akhirnya menemukan payung. Lebih tepatnya menemukan salah satu karyawan Life Care yang membawa payung dan Ariano ikut menumpang dengannya hingga kantor.

"Menurut lo aja." Ariano meletakkan tiga gelas kertas berisi kopi panas yang ia beli yang juga menjadi alasannya harus hujan-hujanan pagi-pagi. "Lagian ngapain sih pagi-pagi gini udah di kantor orang? Nggak punya kerjaan?"

"Duh anak tukang jamu, omongan lo kayak bukan omongan anak bangsawan deh." Lelaki sipit yang hari itu mengenakan kemeja gucci dengan dua kancing atas terbuka lengkap dengan kaca mata hitam saint laurentnya mengangkat kaki ke atas meja. Benar-benar merasa seperti di rumah nenek. "Ya gue mau mastiin dong lo nepatin omongan. Kan semalem lo kalah taruhan!"

"Ler, tujuan lo pakai kacamata hitam pagi-pagi tuh apa gue tanya?" Lelaki lain yang berpakaian lebih rapi dan normal di sebelahnya menepuk kaki panjang lelaki itu untuk menyingkir dari atas meja.

"Ben-ten, ini tuh namanya fashion man! Lo kan bukan si Nino yang ndeso."

Ariano memutar mata. Semalam mereka bertaruh ketika menonton liga Inggris. Dan sayangnya, group jagoan Ariano harus kalah malam itu dan membuatnya harus menerima dua kali kekalahan dan terpaksa menepati janji kepada sahabatnya itu. Memakai kontak lens dan single-breasted jacket in gabardine Saint Laurent-nya yang nyaris tidak pernah ia gunakan sejak dihadiahkan oleh sahabatnya itu.

Dua lelaki yang kini ada di ruang kerja Ariano adalah sahabatnya sejak kuliah di. Meski ketiganya berbeda angkatan, mereka dekat setelah bertemu di acara perkumpulan mahasiswa Indonesia di KBRI. Ternyata persahabatan itu pun berlangsung hingga kini mereka sudah sama-sama bekerja di bidang masing-masing.

Jayler Haidan Hartono yang akrab disapa Jayler. Siapa yang tidak tahu dia. Satu Indonesia pun mengenal baik keluarga Hartono sebagai raja di bidang properti. Lelaki berwajah oriental itu pun kini memiliki sebuah hotel bintang lima di Jakarta. Gaya hidupnya terbilang yang paling bertolak belakang dengan Ariano. He likes to party, everytime and everywhere. Lelaki itu memanfaatkan kekayaannya dengan sangat baik untuk menikmati hidup. Ungkapan YOLO benar-benar diterapkan dalam kehidupan lelaki itu.

Berbeda dengan Jayler, Benara Wijaya atau yang kerap disapa Ben adalah yang tertua di lingkar pertemanan mereka. Meski jarak umur mereka bertiga hanya masing-masing satu tahun, entah kenapa age gap itu begitu terasa karena pembawaan Ben yang dewasa dan tenang. Lelaki itu juga advisor untuk kedua teman-temannya sehingga sosok kakak sangat terasa pada lelaki itu. Oh ya, Ben juga merupakan pemilik sebuah hotel bintang lima ternama di Jakarta. Siapa yang tidak tahu Hotel Saint Wijaya yang kerap jadi rebutan para elite untuk melaksanakan pesta pernikahannya di sana. Meski hidupnya tidak seglamour Jayler, Ben tetap menjalankan hidupnya selayaknya kaum elite pada umumnya.

Ya hal itu juga yang membedakan Ariano dengan kedua temannya. Setelah lulus, kedua sahabatnya memilih melanjutkan dan mengembangkan bisnis keluarga meski Ben lebih serius dengan usahanya untuk mengurus hotel ketimbang Jayler yang lebih seperti 'nampang' saja untuk hotelnya. Ariano justru memilih bekerja di perusahaan orang lain meski Ibunya adalah pemilik sebuah perusahaan jamu terbesar di Indonesia yang sudah punya ribuan karyawan saat ini. Tetapi keteguhan Ariano dalam bekerja juga telah membawanya hingga di posisinya saat ini, sebagai direktur personalia. Bahkan Ariano adalah satu-satunya direktur muda di kantor.

"No, kalau tiap hari lo ngantor pake gaya begitu, gue jamin nih cewek-cewek bakalan ngantre! Ya meski nggak sepanjang antrean gue minimal adalah satu atau dua." Tentu saja kata-kata semacam itu keluar dari mulut seorang Jayler. Meski sedikit terkesan over proud, tetapi hal tersebut merupakan fakta. "Minimal itu duit lo dipake beli baju masa kini dong, atau pake lah baju-baju hadiah dari gue. Nggak bosen apa lo pake kemeja murah sama baju kembang-kembang antah berantah lo itu terus?"

"Nggak butuh." Ariano melepas kontak lens coklat yang ia gunakan dan menggantinya kembali dengan kacamata berlensa tebalnya disusul dengan jasnya yang ia sampirkan di kursi.

"Lah kok dilepas, kan janjinya seharian?"

"Nggak ada, semalem lo bilangnya cuma suruh pake ke kantor dan nggak ada klausa harus sampai pulang lagi jadi sekarang udah bisa gue lepas."

Ben hanya geleng-geleng kepala melihat kelakuan dua sahabatnya itu. "Udah-udah, sekarang gue mau balik ke hotel lagi. Yang penting kan Nino nggak langgar janji, Ler. By the way, thanks buat kopinya No." Lelaki itu berdiri sambil membawa gelas kopi yang dibelikan Ariano. "Lo mau bareng, nggak?" tanyanya pada Jayler yang masih merasa tidak puas 'mengganggu' Ariano.

"Balik aja lah gue, main sama anak keraton nggak asik!" Jayler pun berdiri mengekori Ben yang sudah lebih dulu berlalu keluar dari ruangan, meninggalkan Ariano yang hanya bisa menggeleng menatap kepergian mereka.

Ariano menatap hujan yang kini membasahi kaca jendela ruangannya. Dari jauh samar kilat terlihat seperti flash tanpa suara. Ariano juga bisa melihat pantulannya dari kaca, hari ini ia memakai setelan serba hitam yang dihadiahkan Jayler saat dirinya naik jabatan menjadi direktur. Katanya, jangan hanya jabatan yang naik tetapi kasta dan gaya pakaian juga harus ikut menyesuaikan. Tentu saja hadiah itu hanya Ariano biarkan tersimpan rapi di dalam lemarinya tanpa tersentuh. Karena itu bukan gayanya. Kantor Ariano tidak mengharuskan pegawainya memakai dresscode tertentu, oleh sebab itu meski dirinya adalah bagian dari anggota direksi bukan berarti ia harus mengenakan jas dan dasi setiap hari. Sejujurnya, Ariano sangat tidak peduli dengan penampilan. Dia memakai apa yang membuatnya nyaman, itu saja.

Mencoba untuk tidak terlalu memikirkan, Ariano malah kembali teringat dengan perempuan yang berpayungan dengannya menuju kantor tadi pagi. Lebih tepatnya bagaimana gadis itu menatapnya dengan binar. Ariano tahu gadis itu karena merupakan salah satu karyawan di divisi yang dikepalainya. Jelas sebagai direktur personalia, Ariano tahu siapa saja yang bekerja di bawahnya meski tidak hafal dan kenal semua. Gadis itu pengecualian, yah tidak munafik sih, Ariano ingat karena paras cantiknya. Namun tadi adalah pertama kalinya Ariano melihat jelas gadis itu secara dekat bahkan berinteraksi langsung. Dan gadis itu memang secantik itu, sayang Ariano tidak ingat namanya.

Sejak masa kuliah, Ariano terbiasa menjadi yang terbelakang urusan wanita. Meski Ben juga hampir sama dengannya, setidaknya lelaki itu masih sering didekati oleh banyak wanita. Ya mengingat wajah tampannya, tentu saja dapat menggaet banyak kaum hawa. Kalau Jayler sih biangnya, tidak usah dibahas. Lelaki itu mana bisa hidup tanpa perempuan.

Ariano tidak pernah memikirkan soal asmara atau wanita ketika masa kuliah karena terlalu ambisius untuk lulus dan cepat bekerja sehingga pada saat itu dirinya merasa tidak ada yang salah. Tetapi saat sudah mulai bekerja, Ariano mulai merasa dirinya memang tidak menarik sehingga tidak ada perempuan yang melirik. Hal itu juga yang sepertinya ditakutkan Ibu sehingga sejak tahun lalu ketika dirinya resmi menginjak kepala tiga, sang Ibu mulai gencar mencarikan jodoh untuknya.

Ariano melepaskan satu kancing teratas kemejanya yang terasa sesak. "Apa memang penampilan tuh segalanya, ya?" Lelaki itu lalu kembali ke meja kerjanya, ada banyak pekerjaan yang harus ia kerjakan ketimbang sekadar memikirkan gaya berpakaiannya. 

Kiss the Boss [SUDAH TAMAT di DREAME]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang