Setiap luka pasti ada penawarnya.
Pagi ini motor Hugo sudah terparkir di halaman rumah Ghea. Cowok itu duduk sembari menunggu Ghea keluar.
Pagi ini seperti pagi-pagi biasanya. Cerah dan langit terlihat begitu bahagia. Warnanya biru terang membuat siapapun yang melihatnya ikut tersenyum tenang. Angin berhembus pelan mengenai pori-pori kulit Hugo, cowok itu merapatkan jaketnya lalu kembali bersenandung kecil.
Ghea kemana sih lama banget, batin Hugo.
Tidak lama Ghea keluar dengan...Astaga itu ayahnya, Hugo kaget bukan main tapi juga senang. Melihat Ghea berbaikan dengan ayahnya membuat cowok itu gembira. Akhirnya mereka bisa berdamai!
Ghea terus melengkungkan bibir sembari berjalan berdampingan dengan ayahnya. Seolah gadis itu adalah orang paling bahagia. Semalam mereka sudah berbaikan. Keluarga mereka kembali utuh. Yang pergi kembali, yang hilang kembali datang. Lengkap sudah keluarga Ghea.
Sebelum Ghea menyadari keberadaan Hugo, ayahnya lah yang menyadari itu, "eh, Hugo!" Panggilnya sembari melambaikan tangan.
Hugo datang lalu mencium punggung tangan Papa Ghea, "hai Om, apa kabar?"
"Baik, kamu? Kok ngomongnya Om sih, Papa, Papa aja, Papa lama nggak ngelihat kamu."
Hugo tersenyum singkat, perasaan kemarin baru ketemu, oh ya lupa dia kan mabuk!
"Kamu ngapain kesini?"
"Jemput Ghea, seperti biasa."
Biasa? Gue pikir setelah berminggu-minggu nggak kesini jemput gue kebiasaan 'Jemput Ghea' sudah tidak jadi kebiasaan, batin Ghea.
"Ah, padahal Papa mau nganterin Ghea sambil berangkat ker—" ucapan Papa Ghea terputus saat Ghea tiba-tiba bersuara.
"Ghea bareng Papa!"
Papa Ghea tersenyum pasrah, "gapapa, lain kali saja lagipula Hugo sudah disini. Papa berangkat dulu ya, kalian hati-hati!" Tanpa menunggu jawaban, Papa Ghea berlalu begitu saja.
"Dah, Pa!"
"Bye, Om—eh maksudnya bye, Pa!"
Setelah Papa Ghea benar-benar pergi, Ghea baru berani bicara dengan Hugo.
"Tumben."
Hugo mengernyit heran, "tumben apa?"
"Kesini, masih ingat rumah gue?"
"Lo ngomong apa sih?" Hugo tidak mengerti. "Ya jelaslah ingat, kita kan sering banget gini?"
"Kita..." Ujar Ghea mengambang. "Ya, ya, ya kita...kita yang dulu."
"Ayo berangkat, lo ngomongnya makin ngaco! Sekarang juga sama kayak dulu, sama-sama kita!"
"Kita ini apa?" Tanya Ghea.
"Apa sih, Ge?"
"Udah lupain aja, gue males debat, ayo!" Jawabnya. "Nggak usah pakein helm gu—"
Tanpa mendengarkan ucapan Ghea, Hugo langsung mengambil alih helm Ghea lalu memakaikannya.
"Emang lo bisa?" Goda Hugo.
"Nggak!"
Motor Hugo akhirnya melaju meninggalkan pelataran rumah Ghea.
Hening. Sepi. Canggung. Itulah yang mereka berdua rasakan. Ramainya jalanan pagi ini tidak berefek apapun pada mereka. Rasanya seperti kedua orang asing yang sengaja berbagi kendaraan.
"Ge, pegangan," ujar Hugo kala menyadari tangan Ghea tidak melingkar di pinggangnya seperti biasa.
"Ge!"
KAMU SEDANG MEMBACA
paper hearts
Teen FictionHugo dan Ghea sudah lama berteman. Dari kecil mereka terbiasa melakukan apapun bersama. Hubungan mereka sangat dekat, sampai banyak orang tidak percaya kalau mereka hanya sahabat. Apa hubungan mereka akan tetap sama jika salah satu dari mereka memil...