“Kurang enak apalagi dicintai aku? Waktu kau bosan, aku biarkan kau mencintai yang lalin. Dan ketika kau pergi, tetap kurindui habis-habisan.”
—Candramaya.
🌜🌜🌜
Seorang pemuda yang mengenakan kaus berwarna abu-abu dan dipadukan dengan celana jins berwarna biru yang terlihat sedikit robek di bagian lutut, dan jangan lupakan sneakers hitam yang melindungi tungkainya. Ia sederhana, tetapi terlihat tampan—seperti biasa.
“Ge, sudah lama?” tanya sebuah suara terdengar lembut.
Berasal dari seorang perempuan yang mengenakan kaus panjang longgar dan celana pendek yang hampir tenggelam, karena pakaian yang dikenakan terlalu besar untuk ukuran tubuhnya yang mungil.Lelaki yang dipanggil Ge tadi hanya tersenyum singkat sembari menggeleng sebagai bentuk jawaban.
“Maaf, ya aku terlambat,” kata perempuan itu dengan senyum kikuk.
“Enggak apa-apa, Maya. Gimana skripsi kamu?”
Pemilik nama Maya itu menghela napas lelah. “Ya, semoga saja bulan depan aku sudah bisa sidang.”
Lalu hening kembali tercipta. Pemuda itu tak mengindahkan suasana kafe yang mulai ramai didatangi oleh pengunjung. Begitupula dengan Maya yang terlihat mulai mengecek lembaran berisi skripsinya yang penuh dengan revisi.
“Ge, aku bingung, deh,” katanya kembali membuka obrolan.
“Kenapa?”
“Kemarin aku konsultasi sama pembimbing kedua, katanya bagian ini sudah benar. Tapi tadi kata pembimbingku yang satunya ini masih salah. Aku bingung harus mengikuti siapa?” tutur Maya panjang lebar.
Lagi, pemuda itu hanya menyunggingkan senyum tipis. Sepertinya dua jam ini akan ia habiskan dengan mendengar keluh kesah kekasihnya. Bukannya tidak suka, tetapi terkadang ia merasa Maya hanya mau didengar dan tidak mau mendengarkan orang lain.
Bukankah hubungan yang baik itu harus berjalan dua arah?
Sekali lagi, ia menghela napas perlahan. Semilir angin yang menyelusup masuk melalui jendela kafe mendadak menerbangkan ingatannya pada seorang gadis.
Namun, lebih dari itu semua, ia mulai menyadari bahwa hatinya kembali merindu.
Ia tahu ini salah, Kini, keduanya sudah menjelma menjadi dua orang asing. Tidak seperti dulu, menghabiskan malam-malam penuh canda, bertukar cerita satu sama lain hingga sampai tertidur. Sesederhana itu, tetapi kesan yang tercipta begitu mendalam.Triple shit! Ia benar-benar merindukan Tyra.
“Gentala?” panggil Maya, pelan. Ia sadar jika raga pemuda itu memang bergeming di depan, tetapi tidak dengan pikiran yang sudah melayang ke mana saja.
“Kamu melamun!” Maya menempelkan tangannya pada lengan Gentala.
Dinginnya telapak tangan gadis itu menarik paksa Gentala agar keluar dari bayangannya tentang Tyra.
Bagaimana cara gadis itu berbicara,tersenyum atau lirikan sinis yang kerap diperlihatkan oleh Tyra benar-benar membuat perasaan rindu itu semakin bergejolak.“Eh?” Kelopak mata Gentala mengerjap beberapa kali. “Aku mendengarkan, Maya.”
Maya memicingkan mata, kemudian menghela napas perlahan. “Okay, ganti topik. Kapan kamu akan mengenalkan aku sama ibumu?”
KAMU SEDANG MEMBACA
Tapak Tilas
Romance"Berhenti, Ira. Jangan menoleh ataupun membelokkan kakimu ke belakang. Tempatnya ada di masa lalu. Coba ingat kembali 'proses dan jalan' yang sudah kamu lewati untuk menjadi 'kamu' yang sekarang. Kumohon, jangan lagi mencoba untuk merengkuhnya," kat...