Nuca duduk di sebuah kursi di sudut studio. Ia mengambil sebuah gitar, lalu ia mulai memetiknya. Nuca mulai memainkan intro dari lagu A Thousand Years. Lily terhenyak, kebetulan sekali Nuca memainkan lagu itu, salah satu lagu favoritnya sejak SMP. Alunan musik intro lagu itu sangat indah, apalagi dimainkan secara akustik oleh jari-jari Nuca yang sudah mahir. Ketika Nuca mulai melantunkan lirik "Heart beats fast...", saat itu juga jantung Lily bekerja lebih cepat, hingga suasana di studio itu tiba-tiba berubah romantis.
"Eh, Lyo." Nuca menghentikan nyanyian dan petikan gitarnya. "Kalau kelompok kita bawain lagu ini, gimana? Menurutku chord-nya nggak terlalu susah buat pemula."
"Ya nggak apa-apa. Gue sih nurut aja, yang penting gue diajarin."
"Oke, aku coba chat di grup dulu." Nuca merogoh ponsel di sakunya, lalu menanyakan perihal pilihan lagu itu di grup kelompok gitar. Tak perlu menunggu lama, Oka dan Ain menjawab setuju. Tidak ada sanggahan, penolakan, maupun usul lagu lain.
Nuca memberikan gitar akustik yang sejak tadi dipangkunya kepada Lily. Dengan sabar, Nuca mengajari bagaimana cara memegang gitar yang benar. Nuca juga mengajari bagaimana posisi jari pada kunci A sampai G yang sama sekali asing bagi Lily. Ketika Lily masih juga belum paham bagaimana jari kirinya akan diposisikan, Nuca mengelus sekilas tangan kanan Lily, lalu mengarahkan jari-jari Lily menyentuh senar dengan lembut. Kalau jadinya akan terus seperti ini, rasa-rasanya Lily ingin terus pura-pura tidak bisa saja, karena Lily sangat menikmati setiap detik prosesnya bersama Nuca.
"Coba kamu petik gitarnya, pelan-pelan aja," ucap Nuca mengarahkan, lalu Lily memetik asal gitar itu, menghasilkan suara yang lumayan juga bagi seorang yang awam.
"Nah, itu tadi kunci C. Sekarang coba pindah ke kunci E, terus kamu mainkan lagi."
"E tuh gimana ya?" Lily menatap Nuca tak berdosa. "Hehe, gue lupa, Nuc."
Nuca mengulas senyum singkat. Lily yakin sebenarnya Nuca bisa saja mengeluh, menunjukkan wajah kesal, atau menggerutu. Namun, nyatanya memilih tetap sabar dan selalu berkata lembut. Tipe-tipe orang seperti itu memang cocok untuk menjadi guru privat.
"Nah, gitu, Lyo. Dicoba dulu sampai hafal. Kalau masih awal, pindah kuncinya emang nggak langsung bisa cepet, jadi pelan-pelan aja ya," pesan Nuca yang menatap Lily sambil tersenyum. Seperti belum puas membuat Lily meleleh dengan sikapnya, Nuca dengan jurus mendadaknya, tiba-tiba mengacak sekilas rambut Lily. Gadis itu semakin kehabisan napas.
"Kunci F. Heart beats fast... Pindah kunci C. Color and promises... Terus kunci Am... Hah? Am apaan Nuc? Gimana caranya?" tanya Lily jadi panik.
Nuca tertawa. "Oh iya, maaf aku lupa ngajarin kunci minor. Am itu artinya A minor. Gini caranya," katanya sambil mengarahkan tiga jari Lily pada senar.
Lily menghela napasnya jengah. Sampai saat ini, Lily tidak ada ketertarikan untuk mendalami alat musik itu. Kalau bukan karena tugas sekolah, dan bukan Nuca yang mengajarinya, mungkin Lily sudah malas sekali belajar main gitar. Agak aneh juga, Lily suka menyanyi, tetapi kurang suka memainkan alat musik.
Tiba-tiba Lily tersenyum, matanya pun berbinar. Mumpung sedang di studio musik, ia ingin menyalurkan hobi menyanyinya di sini. Mumpung tidak ada orang lain juga, selain Nuca. "Nuc, gue mau nyanyi dulu dong. Sebentar aja. Boleh nggak? Boleh ya, plis..." mohonnya.
Nuca tampak berpikir sebelum menjawab. "Hm, boleh sih. Tapi nyanyinya nggak boleh sendiri. Duet yuk, sama aku," ajaknya sambil tersenyum manis. Sebuah syarat yang sama sekali tidak membebani, justru Lily akan dengan senang hati menjalaninya.
"Ya udah, kita mulai." Sambil menahan senyum dan mengendalikan detak jantung, Lily menyiapkan dua stand mic yang ia posisikan berhadapan, untuk dirinya dan Nuca. Mereka menarik napas panjang, sebelum berduet tanpa iringan musik.
"Heart beats fast, color and promises... How to be brave? How can I love when I'm afraid to fall..."
Meski sudah bukan pertama kali mendengar suara Nuca, reaksi Lily tetap sama. Napas Lily tertahan seiring dengan tubuhnya yang seakan-akan meluruh ke lantai, alias klepek-klepek. Tatapan Nuca yang hangat saat bernyanyi pun menyihir Lily, sehingga gadis itu speechless dan menundukkan kepalanya. Lily merasa tidak kuat dengan tatapan itu, ingin pingsan saat itu juga, tetapi bagaimana pun ia harus kuat.
Kini waktunya Lily unjuk kebolehan. Ia mengambil napas sejenak. "Time stands still..." Lily menguatkan diri untuk mendongak menatap Nuca. Ternyata Nuca sedari tadi sudah menatapnya dengan senyum tertahan. Tatapan mereka terus beradu seiring lantunan harmonisasi duet mereka yang terdengar manis. Kalau ada satu orang saja yang melihat penampilan mereka yang satu ini, pasti ia sudah standing ovation sampai naik ke meja.
Nuca tertawa kecil ketika ia mengakhiri lagunya.
"Eh, kok ketawa?" tanya Lily yang tertular tawa Nuca juga. "Lo ngetawain gue, ya? Pasti gue jelek ya tadi?"
"Nggak kok, aku justru ngetawain diriku sendiri, karena suaraku pasti kebanting sama suara kamu," ujar Nuca merendah.
"Nggak lah," sergah Lily. Ia tersenyum menatap Nuca. Cowok itu mudah sekali melemahkannya. "Kamu romantis banget..." Tiba-tiba kalimat itu meluncur dari bibir Lily dengan lirih, dan membuat Nuca terkesiap.
Kamu romantis banget? Kalimat itu membuat Nuca bingung bukan kepalang. Apakah ia salah dengar? Karena tidak biasanya Lily menyebutnya dengan sebutan 'kamu', biasanya juga 'lo'. "Kenapa tadi, Lyo?" tanya Nuca ingin memastikan apakah ia salah dengar atau tidak.
Lily menggeleng dalam kegugupannya yang luar biasa. "Nggak, lupain aja."
Keheningan menjebak mereka dalam beberapa saat. Mata Nuca bersinar lembut ketika menatap Lily dalam hening. Menatap gadis itu lama-lama ternyata tidak bagus untuk kesehatan jantung Nuca. Akhirnya Nuca mengambil botol minum di dalam tasnya, lalu ia duduk dan menenggak sepertiga air dari botol yang terisi penuh.
Nuca menggigit kuku jari telunjuknya, kebiasaan buruknya di masa lampau terulang kembali ketika ia sedang grogi begini. Keringat dingin jatuh membasahi pelipisnya. Dalam suasana seperti ini, Nuca semakin tak bisa menampik perasaan yang menyinggahi hatinya dalam beberapa bulan terakhir. Perasaan asing yang awalnya Nuca tak mengerti itu apa, tetapi terus mengganggu dan semakin tak mau pergi. Yaitu perasaan nyaman ketika bersama gadis manis bernama Lyonita, perasaan ingin terus berbagi kisah satu sama lain, dan perasaan ingin selalu membahagiakan gadis itu. Lama-kelamaan Nuca sadar, bahwa perasaan semacam itu tak mungkin terjadi jika ia hanya menganggap Lily sebagai sahabat.
Pada sore menjelang malam ini, di saat matahari hampir menghilang dari peradaban, waktu telah memberi Nuca kesempatan emas. Mereka hanya berdua dalam sebuah ruangan yang kedap suara. Aman, karena tak ada CCTV yang dipasang di ruangan itu. Tiba-tiba terlintas niat di benak Nuca untuk mengutarakan segala perasaan yang memenuhi hatinya.
Lelaki itu masih ragu untuk melancarkan aksinya, karena tindakannya itu akan menimbulkan berbagai risiko. Salah satu risikonya adalah retaknya persahabatan mereka. Nuca takut, kalau nanti Lily tidak berkenan dan malah menjauh perlahan darinya. Padahal, Nuca tak tahu bagaimana rasanya hari-harinya nanti jika tanpa Lily. Terlalu miris untuk dibayangkan.
Namun, hati Nuca semakin bergejolak dan meronta-ronta. Nuca sudah tidak tahan lagi. Lily berhak tahu tentang perasaannya. Mana tahu ternyata Lily memiliki perasaan yang sama dengannya, meskipun ia tidak yakin. Sulit baginya untuk menebak hati orang lain. Nuca menghela napas. Sebagai lelaki sejati, ia harus berani mengungkapkan sebelum ia menyesal. Walaupun ia tak tahu, mana yang lebih besar antara penyesalan karena telanjur mengungkapkan atau penyesalan karena tidak sempat mengungkapkan. Namun, Nuca sudah memutuskan untuk tidak lebih lama memendam. Jika nanti ternyata Lily tidak memiliki perasaan yang sama dengannya, ia akan mencoba ikhlas.
"Lyo?" panggil Nuca dengan bibir sedikit bergetar.
"Hah?" jawab Lily dengan mata tertuju pada ponsel yang sedang ia mainkan.
"Aku mau ngomong sebentar."
"Ya?" Lily akhirnya menatap Nuca. Keningnya berkerut. Namun, ia merasakan tangannya mendadak dingin.
Nuca mengusap bulir peluhnya yang terjatuh di pelipisnya. "Kamu dengerin baik-baik, ya..."
"O-oke." Lily semakin penasaran dan membuatnya deg-degan.
"Sebenarnya..." Nuca menggigit kukunya lagi. "Sebenarnya... aku..."
Tiba-tiba suara dering ponsel memecah ketegangan di antara mereka berdua. Nuca menghela napas, kegugupannya berangsur menghilang karena jeda dadakan ini. Ia menyetop nada dering itu dengan segera menjawab panggilan yang masuk ke ponselnya.
"Halo?" Nuca menempelkan benda pipih itu di telinga kanannya.
Kening Nuca berkerut. "Ya ampun, emang harus hari ini banget?"
"Ya udah." Nuca mengakhiri panggilan itu dengan sedikit menggerutu.
Lily bertanya-tanya, melihat perubahan wajah Nuca yang menjadi kusut. "Kenapa, Nuc? Tadi telepon dari siapa?"
~ TO BE CONTINUED ~