Part 10

7.1K 411 13
                                    

9 April 2022

•••

"Udah, perut gue penuh, astaga udah ...." Brendon merengek karena begitu penuh perutnya saat ini tetapi terus diisi dan diisi lagi makanan oleh Lucy. Ia makan terus tak peduli tatapan aneh keluarganya.

Namun kemudian, Brendon membingung. "Dari kemarin-kemarin makan, kok gue gak ngerasa mau berak atau kencing ya?" Itu baru disadarinya, ke mana semua makanan ini menuju?

"Pah, Mah, kira-kira gimana sekolah Brendon ya?" tanya sang kakak tertua, Rio, dan Brendon jadi teringat hal itu.

"Mau bagaimana dia sekolah dengan keadaan begitu? Kita harus menunggu pemulihan Brendon," sahut sang ayah menghela napas.

"Iya, dia perlu perhatian seratus persen dari kita semua." Ibunya setuju.

"Bener, Mah. Jangan sampe dibawa ke sekolah! Kurung aja ni belibis di rumah! Dia nanti ngacau, nilaiku turun!" Brendon menyetujui. "Mah, Pah, bawa aku ke dukun, Mah! Atau ke orang ahlinya! Tolongin!"

"Mau ... sekolah ...." Lucy berkata terbata dan Brendon terperanjat, semua yang ada di sana pun kaget.

"Hah?! Lo ngomong apaan hah?! Sekolah?! Taik babik jangan dengerin dia!" Brendon berusaha agar keluarganya mengabaikan ungkapan itu.

"Brendon, kamu ... kamu mau sekolah?" Dan Brendon bisa merasakan dirinya mengangguk, tetapi jelas ia menggeleng keras.

"Jangan dengerin, Mah! Pah! Kak! Dia penipu!" teriak Brendon frustrasi. "Nilai gue ancur!"

"Kamu yakin, Sayang? Tapi kamu nanti ...." Ungkapan sang ibu berhenti.

"Ah, sepertinya sekolah ide yang bagus, Mah." Brendon kaget akan ungkapan kakak keduanya. "Mungkin aja Brendon akan pulih ingatannya kalau ke kegiatannya sehari-hari."

"Kak Nora apa-apaan!" teriak Brendon kesal.

"Tapi temen-temennya ... temen-temennya pem-bully, Sayang. Kemungkinan besar pem-bully-an itu yang membuat Brendon trauma!" Brendon terdiam, ada ungkapan benar oleh ibunya, tapi bukan trauma yang ia alami hingga lupa ingatan, melainkan saat ini yang di hadapan mereka bukanlah dirinya sendiri.

Ia bersama orang lain yang mengendalikan tubuhnya, membuatnya lumpuh saat ini.

Itu semua karena tiga orang itu, Brendon kesal bukan main mengingatnya, tetapi ia hanya bisa sendu menyadari hal kalau dirinya sama sekali tak berdaya. Mereka yang membuat Brendon ke hutan angker itu dan bertemu asap hitam yang merasukinya, membuatnya bukan diri sendiri, bahkan sebelum itu mereka memukulinya habis-habisan tanpa ampun, menghancurkan sepedanya, dan meninggalkannya sendirian di sana.

Hanya karena Brendon tak mau memberikan contekan saat ulangan dadakan tadi.

Brendon bukan tak mau, tetapi ia sungguh tak mendengar, karena jarak mereka dan mereka jauh, terlebih pengawas traveling ke mana-mana. Dan ia malah dituduh pura-pura tuli.

"Mah, kita belum tahu pasti hal itu, polisi masih menyelidikinya, kalaupun Brendon di-bully kenapa dia tak memberitahukannya pada kita ataupun para guru?"

Brendon tersenyum miris, kalau boleh jujur, ini saja kali pertama dia melihat meja makan penuh dengan orang. Ya, mereka tak pernah seramai ini. Mereka sibuk, sibuk, dan sibuk. Bekerja, kuliah, dan kegiatan lain, Brendon hanya bisa duduk sendirian di kamar meratapi nasibnya. Sedari kecil ia sudah terbiasa menyimpan apa pun sendiri, tidak berbagi dengan siapa pun, tanpa teman tanpa kawan.

Ada sih kawan, saat mereka tahu Brendon anak orang kaya, tetapi nyatanya mereka tak mau berteman dengannya atas dasar dia Brendon, tetapi hanya minta traktir, memporoti pemuda itu.

Jadi, ia pindah ke SMA biasa, memilih jadi pemuda sederhana, tetapi nyatanya malah menjadi pemuda ter-bully yang tak punya teman sama sekali, bahkan murid dan guru lain tutup mata kala melihat Brendon jelas-jelas dirundung, karena tiga sosok itu terpandang, ia yakin saat ini semua orang di sekolah disuruh tutup mulut kalau tidak mau SMA itu hancur. Brendon memilih pasrah saja ... mungkin inilah nasibnya. Kalau ia pindah-pindah, akan banyak masalah yang lebih buruk, cukup sampai di sini.

Menamatkan SMA-nya, kuliah, dan mungkin meneruskan jadi pria kantoran tanpa tujuan.

"Terserah deh lo mau ngapain, gue udah bodo amat sama hidup gue." Brendon menyendu di dalam dirinya. Meski di satu sisi sebenarnya ia sangat ingin merubah nasibnya. Kalau ia punya kesempatan untuk itu.

"Mau ... sekolah ...." Lucy kini bersikeras, dan terlihat mereka berpikir lagi soal itu.

"Kalau iya dia mau sekolah, mungkin kita kasih bodyguard khusus untuk menjaga Brendon dari jauh," kata ayahnya memutuskan.

"Tapi dia juga perlu penjagaan jarak dekat, Pah." Ibunya kini menengahi.

"Mah, seingatku keponakan Bibik keknya juga bakalan sekolah ke sekolah yang sama kek Brendon. Apa kita suruh aja dia jaga Brendon?" Jovan, kakak ketiga Brendon, menyarankan.

"Ide bagus," sahut Rio kakak pertama.

Brendon berpikir nama Pika, Pika, hm mirip salah satu karakter animasi Pikachu, makhluk kuning imut yang suka menyebut Pika Pika Pika chuuuu.

"Nanti kita bicarakan ke dia." Dan setelah itu pun, mereka menyelesaikan sarapan mereka, dan Brendon bisa lihat semuanya kini sibuk ke arah masing-masing dan Brendon kini dijaga Bubun, menonton televisi sambil menyemil.

Astaga, perutnya rasanya mau meledak.

"Nak Brendon suka sekali makan ya jadinya," kata Bubun berkomentar. "Kayak ... bukan Nak Brendon aja."

Benar, Bubun, ini bukan Brendon. Namun Brendon hanya bisa pasrah akan keadaannya.

"Bubun, dah beres!" Olla tiba-tiba datang, Brendon tak melihat ke arah mereka tetapi sepertinya ia membawa sesuatu di tangan.

"Kita bawa Nak Brendon!" Dan keduanya menyeret Brendon, Brendon tak tahu ia diajak ke mana dan ternyata ke kamar kakaknya, Olla.

Kamar Olla suasananya jadi gelap, ada lilin-lilin, dan apa itu? Olla seperti ingin melakukan ritual.

"Kamu ... kamu pasti bukan adikku!" Olla menodong dan Brendon terperanjat.

"Kakak, Kakak tahu?" Brendon seketika bahagia, ada harapan, sekarang kakaknya pasti akan membebaskannya dari makhluk bernama Lucy ini. Pantas Olla yang biasanya paling cerewet banyak diam tadi.

Lucy hanya menatap polos dengan wajah Brendon, kemudian makan lagi.

"Nona Olla, kita mulai aja ritualnya!" Dan kemudian Brendon didudukkan di tengah-tengah itu, Lucy tampak menurut saja tanpa paham apa-apa, asyik nyemil dan menatap polos dua wanita yang mengitarinya sambil menyiprat-nyipratkan air padanya.

"Bubun, ini iblisnya kuat banget! Air sucinya gak mempan!" Olla merengek.

"Manteranya udah bener kan, Non?"

"Sesuai di internet kok!" Olla bersikeras.

Ah, internet, harusnya buku tua, kek atau fragment lama cara mengusir makhluk asing yang bisa merasuki. Namun, Brendon sekarang berpikir, Lucy ini iblis? Hantu? Penunggu hutan? Monster? Atau apa? Dia seperti anak yang baru lahir. Namun, asap hitam itu, yang luar biasa besar ... makhluk apa yang bentukannya begitu?

Lucy ... mirip nama seseorang.

Mata Brendon membulat sempurna.

"Lucy, Lucy, nama asli lo Lucifer?!" Raja iblis?! Tunggu tapi kenapa begini? Kalau di film-film gambarannya sama sekali bukan begini!

Kok?

Lah, Brendon kok pusing sendiri?!

"Brendon, Brendon kamu di mana, Sayang?" Suara mamah terdengar dari luar.

"Bubun, gawat!"

BERSAMBUNG ....

•••

Cerita An Urie yang lain bisa kalian temukan di
Karyakarsa: anurie
Playstore: An Urie

DEVILSITTER [Brendon Series - O]Where stories live. Discover now