Hari ini turun hujan. Sepertinya bakal seharian hujan deras pasti akan sangat menyenangkan tapi sayang aku tidak membawa payung hari ini. Kalau aku pulang naik angkutan pasti aku akan kehujanan saat menyegat di pinggir jalan. Hm, menyesal kenapa tadi tidak ku bawa saja payungnya. Padahal tadi aku sudah mempersiapkannya.
Seragamku sedikit basah karena aku berjalan menyusuri lapangan sekolah menuju kelas. Karena kelasku berada dibelakang dan dipojok jadi mau tidak mau ya memang harus kehujanan. Ah, bagaimana ya nanti kalau orang tua tidak bisa menjemput? Aku pasti menunggu di pinggir jalan sambil menerobos hujan. Menyenangkan sih. Coba saja seragam ini tidak dipakai besok pasti aku akan menerobos hujan dengan tanpa pikir panjang
Aku berjalan menyusuri lorong-lorong kelas dengan menenteng tas merahku. Melangkahkan kaki perlahan menuju kelas karena takut akan terpeleset. Kalau terpeleset yang ada aku menjadi bahan komedi mendadak. Sungguh tidak bisa dibayangkan, sakit yang tidak begitu tapi malu yang luar biasah.
"Kelihatannya masih sepi." Aku bergeming sembari menyentuh ganggang pintu kelas. Membukanya perlahan. Sepertinya masih sepi. Tak ada keributan didalam kelas yang terdengar. Baiklah, momen yang bagus. Masih pagi sekali, hujan, dan ruang yang sepi. Momen yang tepat.
Tapi aneh sekali kenapa pintunya terasa berat ya. Padahal kan tidak ada orang didalam. Pikiranku sudah kemana-mana. Memikirkan keadaan berubah menjadi seperti film horor di sekolahan. Tidak, itu hanya sebuah film saja.
Bakilah. Aku membukanya perlahan.
Pluaaak...
Pintu terbuka dengan cepat dan menabrak dahiku. Sial, masih pagi sudah terhantam tubuh pintu. Aku membuka mataku yang terpejam karena refleks terkejut. Ingin sekali ku lempar buku paket yang berat didalam tasku.
"Hey.. Tidak lihat ya ada orang disini? Bisa tidak buka pintu yang baik jangan kasar seperti itu." Aku mengomel panjang kali lebar. Baru kali ini aku marah sekali dan berbicara banyak. Emosiku sangat tidak terkontrol. Tapi tunggu dulu. Aku tidak melihat wajah si sialan pembuka pintu itu.
"Halah gitu aja, gak usah berlebihan. Gak sakit banget kan?" Jawabnya dengan nada ketus dan singkat
Hah. Sudah tidak maaf malah menjawab dengan ketus. Tidak tahu caranya meminta maaf dengan tulus dan benar. Sangking kesalnya aku hanya mengomel tanpa melihat wajah dari si pembuka pintu. Aku mengangkat kepalaku yang menunduk karena pusing terbentur pintu kearah wajah pelaku.
"Oh.." Ternyata dia Renjana. Tadinya rasanya ingin sekali ku omeli dia tapi anehnya ketika aku tahu bahwa dia adalah Renjana mulutku terbujur kaku. Terkunci rapat tidak dapat mengeluarkan amarah. Rasanya ada sesuatu yang tertahan.
"Kenapa?" Sudah tahu bahwa dia telah berbuat kesalahan tapi masih saja menyodorkan pertanyaan. Apa kurang jelas dimatanya apa yang telah dia lakukan. Sepertinya dia ingin mengulang reka adegan karena tidak melihatnya dengan persis. Dasar psycho.
"Em, tidak." Aduh Rindu. Kamu ini kenapa sih. Kenapa tidak berkata saja padanya seperti tadi yang ada dalam pikiranmu. Katanya kamu ingin memarahinya tapi nyatanya kamu selalu seperti ini. Diam tak berkutip sedikitpun.
Iya aku akui. Aku memang kurang ahli dalam menyampaikan rasa tidak nyaman terhadap seseorang. Perasaan khawatir, tidak enak selalu menghantui pikiranku ketika aku ingin menyampaikannya. Padahal teman-teman sering berkata bahwa jangan terlalu baik jadi orang nanti bisa ditipu dan dimanfaatkan.
******
Kring..kringg...
Bel masuk sudah mulai terdengar. Semua siswa mulai berdatangan memasuki kelas. Begitupun dengan Kanaya. Sahabatku dan teman satu bangku ku. Aku mengenalnya karena sebuah kejadian di kelas 1 SMP. Saat ini dia membutuhkan sesuatu dan aku meminjaminya padahal kita saat itu tidak berada di kelas yang sama dan hanya saling mengetahui nama masing-masing tidak saling akrab tapi setelah kejadian itu kini kita menjadi sahabat yang tidak pernah bertengkar sekalipun.
"Eh Ndu nanti pulangnya naik apa?" Orang tua Naya dan orang tuaku adalah teman baik. Ternyata orang tua Naya dan orang tuaku sudah saling mengenal satu sama lain namun tidak begitu akrab sebelumnya. Kini mereka menjadi teman baik karena anaknya menjadi teman baik. Papa Naya sering sekali memberiku tebengan jika aku tidak cepat di jemput begitupun dengan orang tuaku kepada Naya. Kedua orang tua kami saling memberi pertolongan
"Nggak tau sih Nay, mungkin di jemput."
"Nanti bareng aku aja ya kalau nggak ada barengan."
"Gak ah Nay, nanti ngerepotin."
"Gakpapa kok. Kamu ini kayak baru kenal aja sama aku."
Naya memang teman yang baik. Orang tuanya juga. Bahkan aku sering berkunjung ke rumahnya pada malam hari jika tidak ada teman di rumah. Biasanya orang tuaku menitipkanku ke rumahnya.
"Iya deh."
"Lihat nanti ya."
****
Hingga pulang sekolah pun hujan masih mengalir deras. Hm, sepertinya hujan tidak mau pergi. Dia sudah terlanjur nyaman hingga mengalir deras tanpa henti.
Seluruh penghuni sekolah menyiapkan mantelnya. Ada yang memasang mantel pada tasnya, ada yang hanya memasang pada tubuhnya, ada juga yang melipat tas mereka dan meletakkannya didalam kursi sepeda dan menyalin buku mereka ke dalam tas kresek. Hanya aku saja yang masih santai bermain HP. Bukan bermain sih, lebih tepatnya menghubungi kedua orang tuaku.
Aku dan Naya duduk diemperan kelas menunggu hujan turun sembari membawa camilan di tangan.
"Kok hujannya gak kunjung reda sih?"
"Entah, mungkin bumi lagi bersedih karena banyak orang membuang sampah sembarangan. Tuh lihat bungkus jajan tergenang dimana-mana." Kataku sambil menatap kearah halaman depan kelasku
"Hm, gimana ya kalau orang tua kita nggak cepet jemput?"
"Ya tunggu aja, toh masih banyak yang belum di jemput." Aku melihat ke sekitar. Ternyata masih banyak penghuni sekolah yang belum di jemput oleh orang tuanya.
"Iya sih. Kemungkinan terburuk aja."
"Nggak ada kemungkinan terburuk Nay. Sebenarnya kemungkinan buruk itu hanya pikiran orang-orang saja padahal kan mereka belum tahu apa yang terjadi nanti. Mereka asal memberi penilain pada diri sendiri harusnya kan berpikiran positif." Ah, aku mendadak jadi bijak seperti ini. Mungkin karena sedang turun hujan makanya mood jadi bagus dan pikiran menjadi jernih. Hihi
Semakin lama satu persatu penghuni sekolah semakin berkurang. Sebagian dari mereka sudah di jemput oleh orang tua, sedangkan guru sebagian dari mereka ada yang nekat meskipun mengendarai sepeda, ada juga yang di jemput oleh suami atau istri mereka.
******
Tak lama berselang. Sosok ibu-ibu membawa payung menuju ke arah kami. Aku bertanya pada Naya siapa orang itu karena wajahnya tertutup oleh payung dan sepertinya tak asing "Siapa ya itu Nay? Kok jalan ke arah kita."
Aku dan Naya terus memperhatikan wanita itu.
"Nayaa ayo cepat kita mau ada acara." Wanita itu perlahan menyingkirkan payung dari pandangannya. Ah ternyata dia adalah Mama Naya. Yah, artinya Naya harus segera pulang dan aku sendirian.
"Tante." Aku menyapa Mama Naya dan menjabat tangannya. Kalau kata orang Jawa menyebutnya 'salim'
"Eh, Rindu. Belum di jemput Nak?" Mama Naya menyapaku dan menanyakan seperti biasah. Apakah aku sudah dijemput atau belum tapi kali ini sepertinya keluarga Naya sedang ada acara jadi tidak bisa memberi tumpangan padaku