Dentingan sendok beradu. Malam ini suasana makan malam tampak sepi dan mencekam. Bagus melirik istri dan anaknya bergantian. Aneh, tidak seperti biasanya. "Nara, gimana sekolahnya, Nak?" tanya Bagus pada Nara yang memakan makanannya tanpa selera.
Nara meneguk air putih sejenak. "Baik, Pa," balasnya singkat.
"Kamu udah ada pikiran mau ke universitas apa?" Nara mengangguk antusias. Ia melepas sendok lalu melipat tangannya di meja. "Universitas Indonesia jurusan bahasa, Pa. Boleh?"
"Bo--"
"Enggak boleh," potong Risa tidak terima. Membuat Joan, Tata tersedak dan Papa terdiam. Risa menatap suaminya yang membalas tatapannya. "Sekarang industri pariwisata sedang berkembang. Nama harus masuk jurusan pariwisata di Bali atau universitas yang baik. Kita harus bisa cari peluang buat Nara yang paling dibutuhkan ke depannya, Pa."
"Tapi, Ma, ak-"
Risa menatap tajam anaknya. "Kamu lihat kakakmu. Hebat! Dia bisa melihat peluang pekerjaan dengan baik. Kamu harusnya seperti kakakmu, Nara. Mama ingin masa depan kamu cemerlang, bukan sibuk dengan dunia itu."
"Ma, jangan gitu. Nara punya pilihannya sendiri," bela Papa yang disetujui Joan. Nara terdiam. Lagi dan lagi. Dirinya mencoba memendam semua apa yang ingin dia ucapkan. Lisannya kelu.
Perkataan Risa sangat melukainya. "Apa kamu tidak bisa memberi Nara kesempatan?" Nara mendongak, menatap sang Papa yang selalu menjadi sayap kekar untuk bulu terkulai seperti dirinya yang hampir patah.
"Tiga tahun, Pa. Dan Mama belum menemukan bukti nyata."
Papa Bagas terdiam. Istrinya punya niat baik untuk masa depan putri mereka. Tapi, caranya terlanjur salah.
"Joan memilih pariwisata karna passion dia memang di sana. Sedangkan Nara, ia menyukai sesuatu berkaitan bahasa, Ma. Persis seperti kamu dulu. Berikan kesempatan, ya?" bujuk sang suami membuat Risa terdiam.
"Ma, sekali aja. Kasih adek kesempatan, ya?" tambah Joan merangkul bahu sang Mama.
"Memang dulu mama penulis juga? Wah, udah pernah terbit pastikan, Ma?" tanya Tata yang langsung dipelototi Joan. Si bungsu yang satu ini, kenapa kalau ngomong suka tidak tepat waktu?
"Ma?" Mama Risa terdiam cukup lama. Ia jadi mengilas balik masa mudanya dulu. Masa yang paling dia sukai namun karna suatu alasan dia harus menghentikannya. Melihat Nara yang mengikuti hobinyalah yang membuatnya takut. Takut kalau-kalau Nara merasakan apa yang dia rasakan dulu.
"Terakhir. Kalau memang tidak ada, Mama minta kamu menekuni dunia pariwisata." Semua orang tersenyum lega kecuali Risa. Setidaknya Risa memberikan kesempatan dari pada tidak sama sekali. "Makasih, Ma. Aku janji, bakal buktikan semuanya," ujar Nara menggenggam erat sendoknya.
***
"Pagi-pagi pergi ke pasar antik. Halo neng Mela cantik." Mela berdigik ngeri saat Bima menyapa. Matanya memutar malas dan langsung masuk ke dalam kelas mengabaikan sapaan Bima.
Bima berbalik, menyusul Mela yang sudah duduk di kursinya. "Semalam gue lihat lo di alfamart. Masa gue panggil malah gak nyahut, sombong!" Bima memukul bahu Mela bercanda.
"Alah cuman gitu aja ribet lo. Gimana gak gue sapa sebulan coba?" Bima mengetuk jarinya di dagu. "Gue galau, mungkin?" tanyanya dengan cengiran konyol khas seorang Bima Nugroho.
"Meme!" Senyum Bima luntur mendengar teriakan itu. Hapal sekali! Trompet kelas sahabat Mela sudah datang. Devi. Si trompet yang selalu berhasil mencairkan suasana kelas yang hening. "Bima! Uang kas lo bayar. Nunggak dua minggu, nih!" pekik Devi membuat Bima bangkit berdiri.
"Mohon maaf nih. Tapi lo lagi gak di kelas gue sama lo. Gak bisa lo tagih-tagih gue di luar kawasan perhutangan."
Devi dengan buku catatan uang kas selalu berdiri di depan pintu kelas setiap pagi memang sekelas dengan Bima. Ia terpisah dengan Mela, sahabatnya. Hanya saja karna memang sudah lengket dia sering datang ke kelas Mela pada akhirnya. "Apaan kawasan-kawasan. Gak ada peraturan begitu," sahut Devi.
"Ada. Lo gak merhatiin karna ngegibah. Lagian berapa? Sejuta? Dua juta? Besok gue bayar," ujar Bima merebut buku di tangan Devi.
"Besok-besok! Lo minta gue hempas ke luar angkasa, tahu gak?" Bima menangkup pipi Devi sebentar. "Cantik-cantik jangan galak, Dev. Entar gue gak suka gimana?" Devi membuang muka cepat berlagak muntah.
"Buset, pagi-pagi dah modus aja lo anak kadal," timpal Bara yang baru sampai di depan kelas Nara pagi ini. Matanya menelusur ke dalam. Orang yang dicari ternyata belum ada, terbukti dari bangkunya yang masih kosong.
"Nyari siapa lo?"
Bara melihat Devi. "Pacar gue, sang author sukses masa depan. Lihat gak?"
"Lita?" Bara menggeleng. "Nara," sahutnya pada mereka. Devi mendelik malas. Jari telunjuknya mencari nama Bara pada buku catatan. "Nah! Dari pada lo bingung nyariin Nara, mending bayar uang kas dulu."
"Duit gue ket--"
"Ah banyak alasan kalian para buaya! Ketinggalanlah, besoklah, sampai lebaran monyet juga gak lunas," potong Devi kelewat hapal dengan jawaban penundaan murid di kelasnya.
Bara merasa disindir, bibirnya mengerucut kesal menatap Deli yang seolah memusuhinya. "Awas Lo, Dev. Nanti gue aduin pacar gue habis lo," ancamnya membuat Mela yang mendengarnya di dalam kelas geli sendiri.
Bara dan temannya memang terkenal aneh dan suka bertingkah.
"Halu!"
"Pagi guiseu!" teriak Lita yang baru datang seorang diri. Bara celingak-celinguk mencari sosok Nara yang suka berjalan bersama dengan Lita.
"Nara kemana, Lit?" tanya Bara yang ditambah Bima.
"Iya, Rumus lo berdua "kan begini, dimana ada Lita di situ ada Nara." Lita langsung menerobos mereka, meletakkan tas ranselnya dan kembali lagi ke pintu kelas. "Ini tanggal berapa?"
Devi melihat buku catatannya. "27."
"Tanggal 27 adalah?" Semuanya berpikir. Hingga suara Mela menginterupsi, "lomba tahunan!" Lita mengangguk-angguk. "Jadi, udah tahukan, Nara ada dimana?"
"Asli gue baru inget. Kayak tahun lalu, kan? Mulai kapan?" tanya Bima antusias. Bara keheranan, ketinggalan informasi memang selalu berakhir penasaran. "Apa cuman gue yang bingung ini ada apa?" Semuanya mengabaikan Bara dan sibuk urusan masing-massing.
"Gak ada akhlak lo semua," ujar Bara melihat mereka semua yang sok sibuk.
"Hari ini ada tanding basket tahunan. Pasti si Nara MC. Soalnya gue denger gitu kemarin pas gak sengaja nguping," kata Devi.
"Lah kok gua gak dikasih tau? Gue 'kan basket."
"Lo tuli apa gimana? Kemarin gue udah bilang bangsul," timpal Bima. Kemarin dia diminta oleh pelatih basket untuk memberitahu Bara bahwa ia akan bertanding.
Tapi memang dasarnya orang pelupa, mau diapakan lagi.
TBC.
KAMU SEDANG MEMBACA
BANTARA (NEW VERSION)
Teen Fiction[TAMAT] Ini bukan kisah penuh romansa dengan bumbu yang menggetarkan dada, juga bukan fantasi hebat yang menyemburkan pengalaman paling indah. Tapi ini hanya tuangan kisah dalam ruangan rahasia seorang Nara. Nara itu seorang penulis. Namun, ia berhe...