The Greatest Pac-Man pt.6

8 2 0
                                    

Percakapan telepon kami yang terakhir itu, benar-benar menjadikan kami orang asing. Saat tak sengaja bertatap muka, Acha tak membuang muka seperti dulu. Ia hanya memandangku tidak kenal. Itu lebih menyakitkan daripada membuang muka.

Karena tidak berani mengajak berangkat dan pulang bersama lagi, aku mengikutinya yang naik bus dengan motor. Setiap ia akan berangkat, aku menunggunya di sekitar halte. Ketika ia sudah naik bus, aku bersiap untuk mengekori bus tersebut hingga halte dekat kampus.

Tidak ada yang spesial lagi. Acha menjalanani rutinitasnya dan aku pun begitu. Sesekali aku dan dia menjadi satu kelompok, tapi sama saja. Ia tidak menganggapku dekat lagi. Setidaknya perilakunya yang menunjukkan marah dan kesal lebih baik daripada pura-pura tidak mengenalku seperti ini.

"Bukannya Acha sama Adit deket ya? Kok kalian jadi kayak nggak kenal gini," ujar salah satu dari mereka.

Aku diam tak tahu harus menjawab apa.

"Kita deket soalnya dulu satu SMP. Pura-pura nggak kenal? Aduh, emangnya kita harus nempel terus gitu?" jawab Acha santai.

"Kemarin aja gue ngira kalian pacaran," sahut yang lain.

Acha terkekeh dan beralih menatapku. Dengan terpaksa, aku tersenyum. Lebih baik dia tidak bersikap santai seperti ini. Sesuatu telah terjadi pada hubungan kami. Namun, ia berlagak seperti tak terjadi apa-apa.

"Jangan konyol. Entar Nohan cemburu gimana? Iya nggak, Cha?"

"Hahahaha.. Apaan sih?"

Nohan? Jadi, Acha dengannya masih akrab. Begini caranya menjauhkan diri. Sesaat aku berpikir mungkin kami memang tak berjodoh. Setiap hari aku mengekorinya berangkat dan pulang seperti orang bodoh. Mengawasinya dan menjaganya dari jauh. Ternyata, hatinya sudah kembali ke Nohan lagi.

"Bukannya Nohan juga temen SMP lo, Cha? Berarti temen Adit juga?"

"Iya," jawabku masih berusaha tersenyum.

Keesokan harinya, aku tidak sengaja bertemu dengan Acha dan Nohan di perpustakaan. Mereka berbincang pelan sambil memilih buku di rak. Aku hanya menatap dari jauh. Sesekali kututup wajah dengan buku bawaanku agar tak ketahuan.

"Nggak niat banget pacaran kok di sini," gumamku.

Acha tersenyum padanya. Sudah berapa kali aku katakan, seharusnya senyum itu untukku. Penyesalan memang datang di akhir. Aku mengerti, tapi masih saja terasa sakit.

Lalu aku berpikir sejenak. Kalau memang ia sudah tidak merasakan yang sama lagi, seharusnya aku tak mati-matian lagi. Ketimbang lelah. Saat itu, aku berpikir untuk berusaha merelekannya.

"Pergilah, Kasih
Bawalah keinginanmu
Selagi masih ada waktu
Jangan hiraukan diriku
Aku rela berpisah
Demi untuk dirimu
Semoga tercapai
Segala keinginanmu"

Sulit dipercaya, aku menyanyikan ini sambil menggitar di depan teman-teman sekelompok. Termasuk Acha. Lagu ini benar-benar mewakili perasaanku. Apa ia menyadarinya?

"Suara lo lumayan, Dit. Kenapa nggak coba ikut klub musik?"

"Ah, gue nggak berani," tolakku.

Tak lama kemudian Acha pamit pergi. Ia bilang ingin mencari udara sebentar. Lalu aku meletakkan gitar dan mengikutinya.

"Kenapa, Dit?" tanyanya saat menyadari aku ada di belakangnya.

"Eh! Nggak papa kok. Gue juga pingin nyari udara," jawabku.

Kemudian ia bersandar di tembok. Aku pun memosisikan diri di sebelahnya. Pandangan kami mengarah ke langit.

"Maaf nih, Cha. Lo masih marah sama gue?" tanyaku.

About Her & HimTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang