Kudengar hanyalah obrolan mengenai isu hilangnya energi pembangun di negeriku. Memang sudah beberapa minggu ini para laskar berpencar di mana-mana. Entah ada apa sebenarnya namun pemerintah berusaha untuk menutupi permasalahan yang ada.
Aku sudah menghabiskan waktu hanya untuk berdiam diri saja di depan toko televisi. Benda tersebut termasuk langka di negeriku, daripada aku harus susah payah untuk membelinya, lebih baik aku menonton secara gratis saja di toko televisi. Di rumahku hanyalah ada benda-benda mekanik saja. Jikalau aku kembali ke rumah, maka aku akan habiskan waktu hanya untuk membuat alat-alat yang menurut orang lain sampah. Aku tidak tahu standarisasi kemanfaatan di negeri ini. Aku pernah membuat mesin pembuat energi listrik dari sebuah tanah, namun penemuanku dirampas oleh Sang Petinggi di negeriku, dan mengakuinya sebagai penemuannya. Entah apapun itu, aku sudah tak peduli dengan keadaan negeriku.
Kalau boleh kuduga, pasti ini berkaitan dengan kerusakan mesin tersebut. Karena kuingat bahwa jikalau di negeriku ini sudah kehabisan sebuah tanah, maka secara otomatis mesin tersebut langsung rusak. Selama beberapa hari kuobservasi keadaan negeri ini, fakta mengejutkan muncul bahwa tanah di negeri ini sudah punah. Tempat kuberpijak malah sudah rata dengan aspal.
Diriku tiba-tiba dikejutkan oleh sebuah berita mendadak yang tayang di televisi. Hal aneh kurasa, sebab jikalau ada berita dadakan, maka akan ada pengumuman penting dari pemerintah.
"Salam wargaku tercinta! Saya selaku pemimpin di negeri ini, akan mengumumkan mengenai kondisi terkini di negeri kita tercinta. Jikalau kita lihat di situasi belakangan ini, nampak rasanya ada sebuah kericuhan. Ya, energi pembangun kita telah rusak. Janganlah gelisah hati, janganlah khawatir. Karena akan ada pemberitahuan sayembara penting bagi kalian semua.
Barang siapa yang berhasil menciptakan atau menemukan energi pembangun yang baru, maka akan diberi anugerah sebagai pemimpin di negeri ini. Akan diberi tahta kerajaan, kekayaan melimpah, dan dipenuhi segala keinginannya. Batas waktu hanyalah esok hari.
Semoga kita berhasil membangkitkan negeri kita tercinta ini. Salam!" Sang Petinggi berceloteh.
Aku menghembuskan napas secara kasar, menahan emosi saat mengingat kejadian yang dulu. Sejujurnya ... aku ingin sekali membuat sebuah alat untuk memperbaiki keadaan di negeriku. Namun sayang, aku tak punya ide apapun mengenai alat tersebut.
Kulangkahkan raga ini kembali ke rumah. Terus saja memikirkan alat apa yang bakal berguna bagi perkembangan di negeriku. Hm, memikirkan segala ide ini membuatku terasa lapar. Aku lupa untuk membeli beberapa makanan, di kulkasku hanya ada moring—cimol kering—saja. Tunggu sebentar ... moring? Sepertinya aku punya ide besar nih. Kucoba cari tahu data mengenai jumlah moring di negeri ini. Apakah memiliki kuantitas yang banyak? Apakah cukup untuk membuat energi dari moring?
Kucoba bentuk beberapa mesin baru—sebenarnya hampir sama dengan mesinku yang dicuri hak ciptanya oleh Sang Petinggi Negeri. Yang kuharapkan hanyalah semoga mesin ini bisa berfungsi sebaik mungkin. Setelah mesin tersebut dibuat, sekarang yang aku harus lakukan hanyalah tambahkan beberapa moring saja. Entah apa yang terjadi, kucoba pasangkan alat tersebut dengan benda lain yang membutuhkan energi, dan syukurlah alat ini bisa jalan dengan baik. Perasaan puas dalam menciptakan sesuatu alat itu tak tandingannya, sampai-sampai aku terlelap di alam mimpi.
***
Aku tak sabar sekali untuk mempresentasikan mengenai alat terbaruku. Entah berapa orang yang mengikuti sayembara ini namun aku bahagia jikalau bisa bersaing secara adil. Kami—para peserta sayembara—disuruh untuk menghadap Sang Petinggi Negeri dan kemudian mempresentasikan hasil penemuan kami. Aku mendapatkan nomor terakhir, sesuai dari undian yang tadi diselenggarakan. Aku gugup ketika menunggu giliranku untuk presentasi. Entah apa yang akan terjadi di kemudian hari, kuharap itu adalah hal baik.
Setelah semuanya telah mempresentasikan hasil penemuannya, maka langsung diumumkannya hasil dari sayembara ini. Entahlah tentang hasil tersebut. Aku tak terlalu berharap dengannya.
Tak kusangka, ternyata pengumuman tersebut menyatakan bahwa diriku sebagai pemenangnya. Syukur terus kuutarakan kepada Tuhan. Aku pun langsung dipanggil untuk menghadap Sang Petinggi Negeri.
"Selamat ya, Willy, kamu memenangkan sayembara ini. Mulai sekarang, secara resmi negeri ini menggunakan energi pembangun ciptaanmu. Energi yang berasal dari sebuah moring," kata Sang Petinggi Negeri.
"Iya, terima kasih, Pak," jawabku. Mulai hari ini, di negeri ini, energi pembangun yang digunakannya adalah energi moring.
***
Beberapa bulan kemudian.
Kericuhan terjadi di mana-mana. Peristiwa yang dulu kala kembali terjadi. Para demonstran yang berasal dari pencinta moring tengah berdemo di depan istana Sang Petinggi Negeri. Menuntut penghentian penggunaan energi yang berasal dari moring. Mereka tak terima bahwa moring semakin langka dibuatnya.
Aku hanya berdiri pasrah di depan para demonstran. Ya, aku menjadi tawanan mereka sekaligus tawanan negeri ini. Ternyata selama ini aku telah dikhianati. Sang Petinggi Negerilah yang sebenarnya merusak duplikat energi pembangun yang lama. Energi pembangun yang lama masih berdiri kokoh. Ia ternyata membuat sayembara palsu, hanya karena tidak ingin posisinya tergantikan olehku. Ia menganggap bahwa masyarakat akan berpihak kepadaku karena dirikulah yang sebenarnya pembuat energi pembangun lama. Janji manis mengenai jabatan pun ia khianati. Kudengar semua kebusukan Sang Petinggi Negeri tepat di saat diriku sebelum menjadi tawanan negeri.
Oh ya, diriku pun diberi tahu olehnya bahwa dialah yang membuat negeriku menjadi runtuh. Energi alam ia rampas, menjadikannya sumber penghasilan, dan menjualnya ke negeri lain.
Entah harus apa yang aku lakukan sekarang. Tubuhku tak bisa digerakkan lagi. Penglihatanku memudar. Ingatanku memutar kenangan lama. Sorak gembira bergema di mana-mana. Tali yang mengikat leherku ini menegang. Ya, aku telah mati, atau lebih tepatnya dibunuh oleh negeri sendiri.
Namaku Willy, dan aku menjadi korban fitnah Sang Petinggi Negeri, hanyalah karena sebuah kekuasaan.
YOU ARE READING
Antologi Skenario
Short StoryAku tak tahu siapa dirimu. Namun, maafkan diriku ini yang sudah menulis kisahmu, tanpa seizin dari dirimu. Ini hanyalah sebuah kisah kecil, yang kutulis bersama teman-temanku. Kisah ini kupersembahkan untukmu.