Awal Tahun 1990 - Kotabaru
Didepan rumahku, dibawah pohon belimbing yang berbuah lebat. Kududuk diatas bangku bambu yang panjang menghadap bangunan rumahku dan membelakangi jalan raya. Kaki bangku bambu ini menancap didalam tanah, menancap permanen tidak bisa dipindah-pindah, Kakak dan pamanku yang membuat bangku bambu ini.
Sekali-sekali daun belimbing berjatuhan diterpa angin, bunyi gesekan ranting dengan atap ambin rumah menambah suasana penuh arti, hawa pegunungan yang sejuk membuatku hanyut terbius oleh panorama alam pepohonan yang rindang. Alam telah menyanyikan lagu sentimentil yang dapat merasuki pikiran dan membangkitkan rasa kantuk. Berkali-kali mulutku menguap, merayu mata untuk dapat segera terpejam, tidak ada lagu manusia yang dapat mengalahkan lagunya alam yang dapat membelai kelopak mataku.
"Adi...". Rayuan alam masih menghanyutkanku.
"Adiiiii.." Ibuku memanggil dari dalam rumah. Mataku dengan berat dan sekuat tenaga kubuka dengan bersusah payah, pekerjaan yang paling berat adalah membuka mata saat mengantuk berat.
"Ya Ma.." Teriakku membalas panggilannya. Segera ku masuk kedalam, mencari dimana Ibu berada, kutemukan Ibu di dapur sedang menyiapkan dagangan gado-gado untuk malam ini.
"Tolong belikan gula setengah kilo, Ajinomoto 2 bungkus dan bawang putih dua biji." Kata Ibu, sambil menyerahkan beberapa ribu rupiah.
"Ini masih pagi Ma".
"Jam segini warung mama Nia sudah buka".
Jantungku berdetak girang ketika Ibu menyebut nama itu, kelopak mataku yang tadinya berat untuk dibuka ternyata dapat terbuka sendiri dengan kunci nama spesial, nama itu telah turut serta menata dan menyusun kalbu. Warungnya tepat berada didepan rumahnya, berjarak hanya beberapa puluh meter dari rumahku yang hanya dibatasi oleh satu buah rumah saja.
Nia seumuran dengan diriku sama-sama kelas 3, sekolahnya di SMP Negeri 1 Kotabaru, yang jarak sekolahnya sekitar 2 Km mengarah ke perkotaan. Nia gadis hitam manis berambut panjang, sepanjang pantat. Rambutnya selalu dikepang tinggi dengan kuncir satu berwarna hitam pekat. Ibunya berjualan rempah-rempah, sayuran dan barang-barang dagangan kelontong, sedangkan ayahnya adalah sopir angkot berwarna hijau dengan nomor 10, warna angkot semuanya standar di Kotabaru.
Walaupun kami bertetangga, tetapi aku baru berteman dengannya tidak lama semenjak dia ditugaskan Ibunya menjaga warung. Awalnya dia hanya mampu menjual permen-permenan, tetapi sekarang sudah bisa melayani semua barang dagangan yang ada diwarungnya. Keahliannya sudah sepadan dengan senyumannya. Senyum yang manis dengan lesung pipi, membuatku terpesona, dia adalah tetanggaku idolaku.
"Ayo sana pergi." Perintah Ibuku.
"Iya Ma." Kataku bergerak dengan semangat. Pikiran senangku telah membangkitkan semangatku untuk bergerak cepat, biusan rasa ngantuk telah hilang dengan sempurna. Tugas dari Ibu memang telah kunanti-nantikan dipagi hari ini.
Tepat didepan pintu rumahku, aku telah melupakan sesuatu, sesuatu bagian dari tugas dari Ibu, aku lupa apa saja tadi yang diminta oleh Ibu tadi. Segera kukembali lagi ke dapur menemui Ibu.
"Kenapa balik lagi?" Tanya Ibu.
"Adi lupa yang mau dibeli tadi apa saja Ma?" Pertanyaan yang memalukan sebenarnya.
"Astaga Di, baru saja diberi tahu, kok lupa, untung baru sampai depan rumah."
"Betul-betul lupa, Ma." Kataku sambil cengingisan senyum malu-malu.
"Gula setengah kilo, ajinomoto 2 bungkus dan bawang putih 2 siung".
"Setengah kilo Gula, 2 siung Bawang Putih dan 2 bungkus Ajinomoto". Kuulang pesanan Ibu.
KAMU SEDANG MEMBACA
TUTWURIMAN
FantasySejarah dunia menyebutkan Kota Saranjana itu memang benar-benar ada. Salomon Muller seorang Naturalist Belanda kelahiran Jerman ditugaskan Kolonial untuk membuat Peta Indonesia pada tahun 1823. Kota Saranjana diakui keberadaannya. Tetapi waktu telah...