8 - Just A Friend To You

52 23 3
                                    

Rakan dan Dhara tengah duduk berdua di balkon rumahnya. Rakan memutuskan untuk menginap di rumah dhara atas permintaan Alano. Sedangkan, Daffa dan Arkan memutuskan untuk pulang. Dan Alano kembali sibuk dengan tugas-tugas kuliahnya di kamar.

Cuaca malam ini cukup cerah. Mereka menengadah melihat ke arah bintang-bintang yang cahayanya sangat terang, sehingga langit malam ini terlihat sangat indah.

"Ra," ucap Rakan memecah keheningan.

"Hmm." respon Dhara tanpa mengalihkan pandangan.

"Lo suka bintang?"

"Suka."

"Kenapa?"

"Karena bintang itu gue. Bintang kedua paling terang di rasi Canis Major, Adhara," Ucapnya dengan bangga. "Kalo lo suka bintang?" tanya dhara balik.

"Kayaknya suka." jawab Rakan dengan tersenyum tipis.

"Kenapa harus kayaknya?"

"Karena belum pasti, gue masih ragu ra."

"Maksudnya lang?" tanya dhara yang semakin bingung.

"Kalo bintang itu lo, gue masih ragu gue suka sama lo atau enggak ra." batin Rakan.

Rakan memutuskan untuk tidak menjawab pertanyaan dhara, ia malah beranjak dari duduknya.

"Mau kemana lang?" tanya dhara sambil mendongkak melihat Rakan yang sudah berdiri.

"Pinjem gitar lo ya ra," pinta Rakan.

"Ohh ya udah ambil aja di kamar gue."

Rakan mengangguk dan melangkahkan kakinya menuju kamar dhara yang bersebelahan dengan kamar Alano.

Pintu kamarnya terbuka, dan Rakan bisa langsung melihat gitar dan Ukulele yang di simpan di sudut kamar dhara.

Sebelum ia kembali ke balkon, ia menengok terlebih dahulu ke kamar Alano. Terlihat Al masih berkutik dengan laptopnya.

"Belum tidur lo bang?" tanya Rakan di ambang pintu.

"Belum. Gila ni masih banyak tugas gue."

"Istirahatin dulu lah bang, kesian tuh mata lo mandangin layar laptop mulu."

"Gue juga maunya gitu, tapi ga bisa soalnya besok udah deadline."

"Ya udah kalo gitu, kalo butuh apa-apa panggil aja gue, gue di balkon sama dhara."

"Okee thanks rak," jawab Al yang kembali fokus pada laptopnya.

Setelah mendengar jawaban Alano, Rakan kembali ke balkon dengan membawa gitar di tangan kanannya, dan duduk disamping dhara.

Dhara terlihat sedang mengembungkan pipinya sembari melipat tangannya di dada.

"Kenapa ra dingin? Pipinya jangan dikembung-kembungin nanti meledak," ucap Rakan yang sebenarnya sudah gemas sendiri. "Kalo dingin kedalem aja," titahnya.

Kata-kata Rakan seketika mengingatkan dhara kepada anak gugus yang tadi pagi berdiri disampingnya saat upacara penutupan. Cowok tinggi dengan kulit putih dan hidung mancung nya itu masing terbayang diingatan dhara.

"Ra?" ucap Rakan yang membuyarkan pikiran dhara.

"Eh, kenapa lang?" jawab dhara yang sudah tersadar.

"Kalo dingin kedalem aja," ulang Rakan.

"Engga lang, gue masih mau disini langitnya bagus lagi cerah."

"Iya, karena langitnya lagi sama bintang," batin Rakan yang menyunggingkan sedikit senyumnya.

"Tau gitu tadi gue sekalian ambilin baju anget di kamar lo."

Kamu akan menyukai ini

          

"Gapapa lang gue masih bisa nahan kok."

Rakan seketika membuka jaket yang dipakainya, dan menyampaikan nya pada kedua bahu Dhara.

"Pake aja jaket punya gue, gue gamau nanti lo sakit," perintah Rakan yang langsung diangguki oleh dhara.

"Lo ga kedinginan?" tanya dhara pada Rakan yang hanya mengenakan kaos hitam berlengan pendek.

"Engga, udah biasa."

Mereka kembali hening dengan pikirannya masing-masing. Rakan memetik gitarnya pelan sebelum akhirnya dhara membuka suara.

"Lang?"

"Kenapa?" respon Rakan sambil menatap kearah dhara.

"Perasaan gue kok aneh ya."

"Maksudnya ra?" tanya Rakan penasaran, ia kini fokus pada apa yang akan diucapkan dhara.

"Kayaknya gue lagi suka deh sama seseorang."

"Siapa?" respon Rakan cepat dan antusias.

"Anak gugus gue."

Seketika bahu Rakan menurun, dan pandangannya ia alihkan lagi pada langit malam. Ada sedikit rasa kecewa, mungkin.

"Gak tau kenapa, kalo gue lagi deket dia perasaan gue itu aneh, gue jadi gugup banget," lanjut dhara bercerita.

Dhara tau walaupun Rakan diam, ia pasti mendengarkannya bercerita meskipun tanpa memberi solusi. Dhara kembali melanjutkan ceritanya sambil menerawang ke langit, dan berusaha memahami perasaan yang ia rasakan.

"Gue baru beberapa kali ketemu dia, malahan mungkin masih bisa dihitung pake jari. Tapi, gue udah ngerasain perasaan aneh ini pas awal liat dia di gugus. Kemarin, pas upacara penutupan MPLS dia berdiri disamping gue, dan itu pertama kalinya kita ngobrol meskipun sedikit, karena gue yang bingung harus jawab apa. Sumpah ya lang gue gugup banget, awalnya gue kira gue cuma kagum sama dia, tapi setelah kejadian kemarin gue sadar kayanya perasaan gue lebih dari sekedar perasaan kagum."

"Hmm, siap namanya?" tanya Rakan mecoba biasa saja mendengar tuturan dhara.

"Gue juga belum tau, soalnya gue gak pernah ngabsen di gugus ada aja halangannya."

"Kenapa gak kenalan aja pas upacara penutupan?"

"Gak berani lah lang, gue udah gugup duluan."

Rakan mengangguk dan dhara pun sudah berhenti bercerita. Mata dhara terlihat berbinar namun jika diliat dari sudut yang berbeda ada sedikit pancaran rasa sakit disana.

"Ra," ucap rakan tiba-tiba sambil menatap dhara dengan tatapan yang penuh arti.

"Iya lang?" jawabnya tanpa mengalihkan pandangan.

"Jangan terlalu berharap lebih, Gue gak mau lo kecewa lagi," pesan Rakan yang masih memandangi dhara lekat.

Dhara menyunggingkan senyumnya. Bukan senyum tulus yang biasa ia tunjukkan, tapi senyum yang sedikit menyakitkan.

"Gue tau lang, makanya itu gue juga takut. Takut kalo gue kembali jatuh lebih parah untuk yang kedua kalinya, dan takut kalo nantinya gue gak akan bisa bangkit lagi."

"Jangan kebanyakan takut, gue akan selalu ada disisi lo, meskipun mungkin suatu saat nanti lo yang bilang ke gue sendiri lo udah ga butuh gue."

"Thank lang, lo udah selalu ada buat gue, selalu support apapun keputusan gue, lo emang sahabat terbaik gue lang," ucap dhara dengan senyumnya yang tulus.

Sahabat. ya, memang sekedar sahabat tidak lebih. Rakan membalas senyum dhara dan mengusap puncak kepalanya.

"Hmm sama-sama, udah ga usah dipikirin lagi," respon Rakan pada dhara.

ADHARATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang