🌪
"SAVA AWAS!!"
TIN! TIN!
BRAK!
"ARKAN!!"
Terdiam beberapa saat. Aku melihatnya dengan mata kepalaku sendiri. Arkan yang di hantam oleh mobil membuat tubuhnya terpental beberapa meter ke depan.
Tanpa pikir panjang, aku berlari sekuat tenaga dengan sedikit terseret menghampirinya yang tergeletak dengan bersimbah darah. Tidak peduli dengan sikut dan lutut atau bahkan kaki yang terluka.
Aku jatuh terduduk di dekatnya, lalu mengambil kepalanya yang penuh darah itu untuk menaruhnya di pangkuanku.
Kejadian beberapa tahun silam kembali terulang. Dengan penyebab yang sama. Yaitu... Aku.
"Arkan.. Lo harus kuat... Maafin gue" lirihku, menyuruhnya supaya kuat sembari menunggu ambulan datang.
Aku mengelus rahangnya yang tegap, tanganku ikut terkena darahnya. Tangisku sudah pecah dari tadi, tanpa di suruh.
Arkan menatapku dengan sayup, lalu tanganya ingin menyentuh pipiku dengan gemetar. Aku menuntun tanganya. Dia mengelus pipiku pelan.
"J-jangan nangis," ujarnya pelan, yang masih bisa ku dengar.
Dengan sesenggukan aku mengangguk, lalu menurunkan tanganya. Dengan segera aku mengambil ponsel dari tas selempangku dan menelpon ambulan. Setelahnya aku kembali memasukkan ponselku kedalam tas.
"Lo harus bertahan plis.. Gue mohon Arkan."
Aku mengelus surainya yang hitam legam dengan kasih sayang. Di bawah hujan yang masih deras ini kami berada di tengah-tengah jalan raya yang sepi dengan darah yang mengalir kemana-mana. Persis seperti waktu itu.
Mobil tadi, entah kemana. Aku tidak peduli karena daerah sini terdapat banyak cctv menurutku, yang terpenting adalah dia terlebih dahulu. Hingga beberpa menit kemudian ambulan datang.
.
Suara langkah kaki yang seperti sedang berlari membuatku yang dari tadi menangis menatap ke arah lorong rumah sakit.
Orang tua Arkan datang dengan tergesa-gesa di susul denga Arsa kemudian Kenan. Ya, setibanya aku di sini langsung menghubungi orang tuanya, Arsa dan juga Kenan.
"Sava apa yang terjadi nak?" Tanya bunda kepadaku setelah menyadari keberadaanku disini.
Aku segera berlutut di bawah kaki bunda sembari. Aku terbiasa memanggilnya bunda "M-maafin Sava b-bunda.. G-gara-gara Sava Arkan jadi kayak gini.. " ujarku dengan sesenggukan.
Bunda menghela nafas sebelum mencengkram lenganku lalu menyuruhku berdiri "Gapapa.. Gapapa.. Ini udah takdirnya. Bunda tau Arkan akan baik-baik aja. Kamu harus ceritain kronologinya," ujar bunda lalu menuntunku duduk di kursi depan ruang operasi.
Aku tertegun, bahkan aku berhenti menangis mendengar ucapan bunda. Bukankah seharusnya bunda marah kepadaku? Seperti aku marah kepada orang itu. Kenapa.. Hatinya bisa menerima semua ini dengan mudah?
Seperti kata bunda, aku mulai menceretikan keseluruhan yang terjadi. Mulai dari aku yang di ajak kerumah Sheva, hingga aku yang ingin mengejar cahaya putih milik ibu yang mengakibatkan Arkan tertabrak oleh mobil.
Sejujurnya aku tidak sadar jika ada Arkan, jangan kan sadar akan keberadaannya. Aku menyebrang tanpa menoleh kanan-kiri pun aku tidak sadar. Dia mendorongku minggir ke tepi jalan dengan kuat hingga membuat sikut dan beberapa bagian tubuh lainya ikut terbentur aspal. Masih beruntung kepalaku tidak membentur trotoar.