Part 24 - Crying Alone

16 2 0
                                    

🌪

"SAVA AWAS!!"




TIN! TIN!


BRAK!



"ARKAN!!"



Terdiam beberapa saat. Aku melihatnya dengan mata kepalaku sendiri. Arkan yang di hantam oleh mobil membuat tubuhnya terpental beberapa meter ke depan.

Tanpa pikir panjang, aku berlari sekuat tenaga dengan sedikit terseret menghampirinya yang tergeletak dengan bersimbah darah. Tidak peduli dengan sikut dan lutut atau bahkan kaki yang terluka.

Aku jatuh terduduk di dekatnya, lalu mengambil kepalanya yang penuh darah itu untuk menaruhnya di pangkuanku.

Kejadian beberapa tahun silam kembali terulang. Dengan penyebab yang sama. Yaitu... Aku.

"Arkan.. Lo harus kuat... Maafin gue" lirihku, menyuruhnya supaya kuat sembari menunggu ambulan datang.

Aku mengelus rahangnya yang tegap, tanganku ikut terkena darahnya. Tangisku sudah pecah dari tadi, tanpa di suruh.

Arkan menatapku dengan sayup, lalu tanganya ingin menyentuh pipiku dengan gemetar. Aku menuntun tanganya. Dia mengelus pipiku pelan.

"J-jangan nangis," ujarnya pelan, yang masih bisa ku dengar.

Dengan sesenggukan aku mengangguk, lalu menurunkan tanganya. Dengan segera aku mengambil ponsel dari tas selempangku dan menelpon ambulan. Setelahnya aku kembali memasukkan ponselku kedalam tas.

"Lo harus bertahan plis.. Gue mohon Arkan."

Aku mengelus surainya yang hitam legam dengan kasih sayang. Di bawah hujan yang masih deras ini kami berada di tengah-tengah jalan raya yang sepi dengan darah yang mengalir kemana-mana. Persis seperti waktu itu.

Mobil tadi, entah kemana. Aku tidak peduli karena daerah sini terdapat banyak cctv menurutku, yang terpenting adalah dia terlebih dahulu. Hingga beberpa menit kemudian ambulan datang.

.

Suara langkah kaki yang seperti sedang berlari membuatku yang dari tadi menangis menatap ke arah lorong rumah sakit.

Orang tua Arkan datang dengan tergesa-gesa di susul denga Arsa kemudian Kenan. Ya, setibanya aku di sini langsung menghubungi orang tuanya, Arsa dan juga Kenan.

"Sava apa yang terjadi nak?" Tanya bunda kepadaku setelah menyadari keberadaanku disini.

Aku segera berlutut di bawah kaki bunda sembari. Aku terbiasa memanggilnya bunda "M-maafin Sava b-bunda.. G-gara-gara Sava Arkan jadi kayak gini.. " ujarku dengan sesenggukan.

Bunda menghela nafas sebelum mencengkram lenganku lalu menyuruhku berdiri "Gapapa.. Gapapa.. Ini udah takdirnya. Bunda tau Arkan akan baik-baik aja. Kamu harus ceritain kronologinya," ujar bunda lalu menuntunku duduk di kursi depan ruang operasi.

Aku tertegun, bahkan aku berhenti menangis mendengar ucapan bunda. Bukankah seharusnya bunda marah kepadaku? Seperti aku marah kepada orang itu. Kenapa.. Hatinya bisa menerima semua ini dengan mudah?

Seperti kata bunda, aku mulai menceretikan keseluruhan yang terjadi. Mulai dari aku yang di ajak kerumah Sheva, hingga aku yang ingin mengejar cahaya putih milik ibu yang mengakibatkan Arkan tertabrak oleh mobil.

Sejujurnya aku tidak sadar jika ada Arkan, jangan kan sadar akan keberadaannya. Aku menyebrang tanpa menoleh kanan-kiri pun aku tidak sadar. Dia mendorongku minggir ke tepi jalan dengan kuat hingga membuat sikut dan beberapa bagian tubuh lainya ikut terbentur aspal. Masih beruntung kepalaku tidak membentur trotoar.

          

Menghela nafas lelah sepanjang mungkin sebelum mengakhiri perkataanku "Maafin Sava sekali lagi bun."

Memilih menundukkan pandangan ketimbang menatap mata mereka, karena takut dengan tatapan benci yang mengarahku. Aku takut, takut jika mereka membenciku karena ini.

"Udah bunda maafin, hakikatnya manusia adalah tempatnya salah dan dosa. Dan itu wajar."

Aku menatapnya "Hingga membuat seseorang celaka? Apa itu masih bisa di bilang wajar?"

"Emang kamu yang nabrak dia? Bukan kan. Terus ngapain salahin diri sendiri. Arkan cuma mau nyelametin kamu doang Sava. Jangan kayak gini, ini bukan salah kamu sayang." ujarnya dengan nada yang meninggi di awal dan di akhir kalimat yang mulai melembut. Mungkin bunda kesal denganku.

"Seharusnya Arkan gak perlu selamatin Sava, bunda. Seharusnya yang terbaring di sana bukan Arkan.. Tapi Sava." Iya, aku emang sebenci ini terhadap diriku. Menganggap semua masalah yang terjadi adalah karenaku.

Hingga perkataanku barusan membuat Arsa berdiri dari duduknya dan menatapku sarkas "Harusnya lo lebih bersyukur, Masih untung lo di selametin," Ujarnya ketus.

"Bersyukur atas dasar apa? Atas dasar gara-gara kebodohan gue yang menyebabkan sodara lo itu masuk rumah sakit? Iya?"

"Lo jadi orang gak tau terima kasih ya? Lo kayak bukan Alsava yang gue kenal," ucapnya lalu perlahan berjalan pergi dari sini. Mungkin iya, aku keterlaluan jadi orang.

Kembali menangis dan menutup wajahku dengan kedua tangan. Menyesali apa yang terjadi hari ini.

"Udah ya, jangan nangis. Bunda paham gimana perasaanmu. Menyesal boleh, tapi jangan terlalu menyalahkan diri sendiri. Itu gak baik, sayang," Kata-katanya mampu menenangkanku.

"Kak, ayo ikut gue, kita obatin dulu luka lo itu," ajak Kenan. Aku menggeleng, menolak ajakkannya "Nanti, nunggu Arkan siuman"

Kenan menatapku sendu, mungkin lebih ke tatapan miris. Ah, memang benar bukan, hidupku semiris ini.

Hening. Semuanya diam, termasuk aku.

Saat sedang asik melamun ada derap langkah kaki dari lorong arah kanan, lorong yang sama saat mereka datang. Aku melihat siapa yang datang.

Ternyata, Sean juga Vino.

Perasaan marah juga kecewa datang, mengingat bahwa mereka adalah teman dekat Sheva. Aku tau mereka tidak ada hubungannya sama sekalu denganku, hanya... Ketika melihat mereka membuatku mengingat dia.

Saat mereka semakin dekat ke arah kami. Dengan segera aku berdiri. "Aku mau ke toilet dulu," Pamitku, lalu pergi dari sini tanpa menunggu mereka mengiyakan perkataanku. Aku yakin saat ini di pandang dengan tatapan aneh.

  .

Aku baru saja keluar dari toilet. Aku memang ke toilet sesuai perkataanku. Hanya untuk mencuci wajahku yang tak karuan, namun aku malah menangis lagi di sana. Meski sebentar. Mataku yang sembap dan beberapa bagian wajahku yang terlihat merah saat berkaca di kaca besar toilet tadi. Mirip seperti orang yag sedang flu.

Berjalan melawan arah dari tempat sebelumnya. Aku memilih menjauh dari sana, dan ingin mendinginkan pikiran sejenak. Mengingat hari ini banyak menangis. Apalagi di sana ada sahabat-sahabat Sheva disana, yang bahkan jika mengingat nama satu orang itu mampu membuatku mengeluarkan air mata lagi. Lagi, lagi, dan lebih banyak lagi.

Arkan pasti baik-baik aja.

Itu yang terus kuyakini sejak tadi. Meskipun hingga saat ini aku tidak tahu apakah sudah atau belum operasinya.

Sepertinya rooftop pilihan yang bagus untuk menjernihkan pikiran.

Masuk ke lif, lalu menekan nomor lantai yang paling tinggi di bangunan ini, kemudian pintu lif tertutup.

Sesampainya di rooftop, aku berjalan ke arah pembatas yang berbentuk pagar besi umumnya setinggi dadaku. Sesekali helai rambut menerpa wajahku karena angin malam yang lumayan kencang.

Dan.. Disinilah aku sekarang. Berdiri di bawah langit malam, sungguh menenangkan. Aku memandang ke atas sesekali, lalu memandang padatnya kota dari atas sini. Langit yang hanya di terangi oleh bulan dan di temani ramainya bintang yang ikut menyinari bumi bersama bulan.

Luas dan Tak bertepi.

Tidakkah mereka senang, dapat bersama dalam waktu yang sama, juga saling membantu. Bukan seperti fajar dan senja yang tidak dapat bersatu dalam waktu yang sama, namun saling mendoakan satu sama lain. Menyedihkan.

Aku merasa hari ini begitu berat, hingga rasanya aku ingin menyerah. Memang setelah aku kehilang sosok Ibu untuk selama-lamanya, membuatku tidak tahu harus melakukan apa lagi. Belum sempat aku membahahgiakannya, ibu justru meninggalkanku terlebih dahulu, menyisakan aku dan Ayah disini tanpanya,

Untuk selamanya.

"Gue gak mau nangis lagi, capek," gumamku.

Bukannya aku masih tidak ikhlas dengan kepergian ibuku. Tapi cara dia meninggalkan dunia ini begitu tidak layak. Aku hanya bisa berdoa atas kepergiannya, semoga husnul khatimah.

Kalau Sheva ya, aku mencintainya, sangat. Itu tidak bisa di pungkiri. Aku tidak benci pada papanya, atau bahkan dia. Tapi bukankah orang itu seharusnya tau bahwa jika dia mabuk tidak boleh mengendarai mobil sendirian. Bukankah dia paham akan peraturan dalam berkendara?

Hhh. Menghela napas sepanjang mungkin. Lalu meremat pagar besi.

Baiklah, berdamai dengan masa lalu mungkin tidak ada salahnya. Mengikhlaskan atas semua yang terjadi, tidak buruk. Ternyata begini kejamnya dunia.

Sial, lagi-lagi aku tidak bisa membendung air mataku. Aku sudah lelah. Biarkan aku menangis tanpa suara disini, sendiri. Tapi belum lega rasanya jika tidak teriak, melepaskan beban yang bertumpuk-tumpuk dalam hidupku dengan berteriak.

Aku memegang pagar kuat-kuat, mengambil ancang-ancang untuk teriak. Menghirup oksigen sebanyak mungkin, lalu membuka mulut, dan.. Bismillah,

"GUE BENCIII!! GUE BENCI DIMANA GAK BISA NGENDALIIN SEMUANYA!! GUE CAPEE! HARUS PURA-PURA TEGAR DALAM KEADAAN HANCUR!!"

Lega.

Beban yang selama ini aku pendam sendiri akhirnya dapat aku lampiaskan, meski suaraku menguar di udara begitu saja. Rasanya benar-benar lega.

Tubuhku merosot lalu bersandar pada pagar tersebut dengan kaki yang di silangkan juga tangan yang memegang dada, merasakan detak jantung yang begitu cepat.

Aku kira, ulang tahunku ini akan berbeda dari tahun-tahun sebelumnya. Tapi ternyata sama saja, bahkan lebih menyakitkan ketimbang sebelumnya.

Masih dengan memandang ke depan dengan tatapan kosong, dan buram karena air mata. Aku pikir jadi Sheva jauh lebih berat. Mungkin dia di bully habis-habisan oleh teman-temanya karena ayahnya yang masuk penjara, tidak memiliki teman, atau kesepian karena di tinggal ibunya. Namun dia beruntung punya sahabat. Ya, kami memiliki masalah hidup dengan beban yang sudah di atur masing-masing oleh tuhan.

Aku kira, hubunganku dengan dia akan berjalan lancar seperti pasangan-pasangan yang lainya. Namun.. Ternyata tidak. Aku hanyalah perempuan yang amatiran dan tidak tahu-menahu ketika berurusan dengan yang namanya 'cinta'. Apalagi ini pertama kalinya bagiku berhubungan serius dengan pria, selain Ayah, Kenan dan juga si kembar.

Aku tau ini sulit, tapi aku yakin pasti bisa melalui semua ini.

Karena...

Tuhan tidak sematkan luka tanpa bahagia stelahnya :)

🌥




________________________
— A L S H E V A —

Perlahan, namun pasti :')

You've reached the end of published parts.

⏰ Last updated: Jun 05, 2020 ⏰

Add this story to your Library to get notified about new parts!

Be the first to comment 💬

ALSHEVATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang