Lampu di kamar Kia sudah menyala menandakan kalau gadis itu sudah bangun, rutinitas keluarga Kasyafi yang selalu melaksanakan sholat tahajud bersama dilanjutkan dengan tadarus sampai adzan subuh berkumandang.
"Pagi, Umi, Abi, Aka," sapa Kia yang sudah siap dengan dress hijau toska dan kerudung bergo hitam tidak lupa dengan slingbag di tangannya.
"Tumben banget pakaian kamu agak santai, Ia," ucap Umi Lala memperhatikan penampilan putri bungsunya.
Kia tersenyum dan sebelum menjawab pernyataan Uminya ia meminum susu kesukaannya. "Ia sepulang ini ada acara reuni, Mi."
Kia duduk di kursi samping Uminya. "Ia udah bilang ke Umi, Abi dua hari yang lalu."
"Oh iya iya Abi inget, sama siapa ke sananya?" tanya Abi Ghani.
"Sama temen Bi, kebetulan dia ajakin Ia bareng. Lumayan tumpangan gratis," ucap Kia.
"Jangan kemaleman pulang nya, kalau gak ada yang jemput telepon Aka," ucap Fawwaz-Kakak satu-satunya Kia.
Kia memberikan jempol sebagai respon perkataan kakaknya itu.
Setelah sarapan, Abi Ghani langsung berangkat bekerja tapi terlebih dahulu mengantarkan putri bungsunya sampai ke sekolah tempat Kia mengajar, tidak hanya itu Fawwaz pun segera berangkat mengajar di salah satu sekolah menengah atas di Bandung.
Keluarga Kasyafi memang bukan keluarga berada, tapi selalu ada kehangatan dan keharmonisan di dalamnya. Abi Ghani bekerja di salah satu perusahaan pangan sebagai manajer dan Umi Lala yang berprofesi sebagai ibu rumah tangga, tapi karena kesungguhan kedua orang tuanya membuat putra dan putrinya menjadi manusia yang beradab serta berilmu.
Menjadi seorang pengajar memang keinginan terbesar Kia, karena menurut nya menjadi manusia bermanfaat sangatlah berharga dibanding menjadi manusia yang bergelimang harta. Terlepas Kia yang mengajar di salah satu PAUD dan TK di bandung, ia pun mendirikan tempat singgah untuk adik-adik di luaran sana yang nasibnya tidak seberuntung teman sebayanya.
Senyum di bibirnya Kia terpatri saat melihat temannya telah duduk di tempat orang tua tunggu.
"Assalamu'alaikum," salam Kia kepada temannya itu.
Bukannya menjawab salam, teman Kia langsung memeluk erat Kia.
Tangan Kia mendarat di kening temannya. "Jawab dulu salamnya, kebiasaan kamu gak pernah berubah, Ca."
Anissa Putri Lufi, sahabat sekaligus teman karib Kia memang mempunyai sikap yang berbanding terbalik dengan Kia. Ica, panggilan akrabnya memang mempunyai sikap pecicilan, ceplas-ceplos, dan childish.
Ica hanya memamerkan gigi putihnya lalu menjawab salam dari Kia. "Abisnya aku kangen bangedd sama sahabatku ini, sok sibuk mulu sih."
Kia terkekeh, bukannya sok sibuk melainkan memang iya karena selepas mengajar di TK Kia langsung berangkat ke rumah singgah sampai sore setelah itu pulang ke rumah.
Setelah berbincang-bincang sedikit, Kia dan Ica langsung meluncur ke acara reuni yang diadakan rutin setahun sekali.
✨✨
Suara deringan telepon membuat Daffa yang baru saja keluar dari kamar mandi bergegas mengangkat nya, siapa lagi kalau bukan Mamanya.
"Wa'alaikumsalam. Abang baru aja beres mandi ini mau siap-siap."
"... "
"Iya Ma Abang juga usaha kok. Cuma ya belum dapet. Mama do'ain aja."
".... "
"Gak gak, nanti kayak yang udah-udah. Jadi enggak malu iya."
"...."
"InsyaAllah, do'ain aja semoga Abang cepet menemukan pengganti nya."
"....."
"Iya, Mama... Secepatnya. Abang tutup dulu ya, takut kesiangan nanti sampai sana. Salam buat Papa dan Nola, Assalamu'alaikum."
Apalagi kalau bukan mempermasalahkan jodoh, diusianya yang sudah 29 tahun membuat Mamanya terus saja memaksanya untuk mencari pendamping hidup. Sudah berapa kali Mamanya menjodohkan dengan wanita namun tidak ada yang pernah cocok.
Sambungan telepon itu terputus, Daffa langsung bersiap-siap dan langsung keluar dari kamar untuk sarapan.
Baru saja ia akan berangkat, suara deringan kembali terdengar. Tetapi bukan dari Mamanya melainkan dari teman lamanya.
"Assalamu'alaikum. Ane baru mau berangkat. Ente udah telepon aja, udah kaya doi yang mastiin doinya baik-baik aja."
"..."
"InsyaAllah, diusahain."
"...."
"Iya, ane tutup dulu, Assalamu'alaikum."
Daffa langsung menancapkan gas menuju rumah sakit tempat ia bekerja sekarang.
Dua tahun ini Daffa mulai menghadapi kenyataan yang membuatnya menjauh selama empat tahun dari Indonesia. Selepas ia mendapat gelar Profesor di Amerika dua tahun silam, Mamanya meminta untuk kembali dan mulai menghadapi apa yang telah Allah gariskan untuknya.
Menjadi profesor diusianya yang baru 27 tahun bukanlah suatu yang mudah, walau tidak sesulit di Indonesia namun tetap saja memerlukan otak yang sangat kuat dan fokus yang sangat tinggi. Gelar itu tidak ia gunakan sekarang, karena jika di rumah sakit cukup teman sejawatnya mengenal dengan gelar dokter spesialis saja, berbeda ketika ia berada di lingkungan kampus.
"Sus, maaf saya gak bisa lama di sini, nanti kalau ada yang ingin bertemu atau berobat boleh alihkan saja ke dokter Rizky ya, saya sudah menghubungi beliau sebelumnya."
Seorang perawat yang bekerja di poli saraf itu langsung mengangguk. Sebelum Daffa pergi, ia mengucapkan terima kasih kepada perawat tersebut.
✨✨
Ramai, sudah pasti. Kia dan Ica sudah sampai di acara reuni setengah jam yang lalu dan teman-temannya pun sudah mulai berdatangan.
Sepuluh tahun berpisah, namun mereka tidak pernah melupakan satu sama lain. Yang berbeda hanyalah tentang status dan profesi, berbagai profesi ada di sini, namun bukan penghalang untuk mereka melepas rindu satu sama lain. Tidak hanya profesi, status pun membedakannya, dulu mereka sendiri namun sekarang sudah ada yang double bahkan triple ya maksudnya sudah berkeluarga dan mempunyai buah hati tentunya, namun tidak banyak juga yang masih sendiri a.k.a jomblo.
"Ca, kok berasa lebih banyak ya yang dateng?" tanya Kia saat memperhatikan suasana sekarang berbeda dengan tahun lalu.
"Yaiyalah sekarang kan emang diwajibin dateng sama si Gabriel-ketua angkatan kita dulu. Jadi mungkin lebih rame, terus aku denger bakalan ada the most wanted kita dulu."