enem

15.2K 3K 501
                                    

"Halo."

"..."

"Glara, kamu masih sadar?"

"..."

"Atau kamu sudah tidur?"

"..."

"Saya tutup telepon---"

"Coba diulangi." Sembari memejamkan mata, aku menepuk-nepuk dada pelan dengan tangan sebelah kiri. "Omongan Bapak nggak boleh ngambang dengan ketidakjelasan gitu, coba diulangi dengan jelas sejelas-jelasnya."

Kupikir aku sudah kehilangan nyawa karena serangan jantung. Ternyata, indera pendengaranku bahkan masih berfungsi dengan amat baik. Masih bisa mendengar suaranya dengan begitu sempurna.

Tapi, yang masih belum kuyakin bukan pada setiap kata per katanya, melainkan makna sebenarnya. Dia nggak bisa main melempar satu kalimat, kemudian mau cuci tangan begitu aja.

Tolong jangan dilupakan, aku disebut pakar oleh mantanku.

"Gla, kalimat yang mana maksudmu?"

Oh dia mau main-main? Denganku? Seriously? Hahaha, nanti biar aku ajarin supaya tidak salah langkah.

"Kalimat yang bilang kenapa bukan saya yang mau dengan Bapak alih-alih saya sibuk bikin Cacha nerima perjodohan kalian. Itu kalimatnya tadi, Pak."

"Kamu nggak paham di bagian mana?"

Damn it, Ingga!

Aku tertawa. Kalau percakapan ini terjadi ketika aku masih di bangku SMA, mungkin aku akan terdiam, memaknai kalimatnya sebagai bentuk gombalan atau bahkan dia sedang memintaku jadi kekasihnya.

Sekarang enggak, aku sudah melewati masa-masa itu. Kalimat dia malah terdengar begitu ganjal. Untuk itu, dengan senang hati aku bakalan membuatnya lebih jelas.

"Di awal, yang dijodohin dengan Bapak adalah Cacha. Yang berusaha Bapak kenal, adalah Cacha. Yang Bapak terima sikap buruknya untuk date pertama pun adalah Cacha. Gimana bisa seseorang ...." Aku menarik napas sejenak. "... berubah pilihan untuk masa depan hanya dalam hitungan hari?"

Tidak ada jawaban.

Mungkinkah dia mempersilakanku agar berbicara lebih banyak? Kenapa dia nggak mencoba untuk cepat-cepat menyela, memberitahuku alasan di baliknya? Atau, ini sungguhan karena aku salah memahami kalimat anehnya itu?

Hish, menghadapi Ingga ternyata jauh lebih rumit dari yang kubayangkan.

"Kamu nggak merasa punya kemampuan itu?"

"Apa?"

"Mengubah pilihan saya hanya dalam hitungan hari."





***




"Yang ini kan lo bilang?"

"Bukan, hish. Yang foto pas kapan sih itu, pokoknya sebelum gue pulkam."

"Ya ini, Gla. Jangan kumat deh lo."

Aku berdecak. Masih berusaha mencari bukti history percakapan kami di WhatsApp. Aku yakin banget kok kalau yang kumaksud itu adalah foto Croissant yang diambil di outdoor, bukannya foto cewek lagi sarapan gini.

Malah nggak ketemu pula!

"Yang ini, Gla, percaya gue. Lo ngantuk deh kayaknya, yakin. Mandi gih, tidur. Biar gue pindahin semua file-nya ke drive dulu, nanti pas lo mau posting, biar udah siap semuanya. Ya?"

Beda FrekuensiTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang