Charun

33 2 0
                                    

Flashfiction.
9 Juni 2020.


Aku kira setiap orang memiliki rahasia tergelapnya. Satu-satunya alasan mengapa suatu hal menjadi sebuah rahasia adalah karena mereka berbuat dosa, tetapi seringnya mereka tidak menganggapnya seperti itu atau mereka tidak mau mencap diri sendiri sebagai pecundang yang hanya bisa lari dari kesalahan. Privasi. Mereka berdalih dengan ucapkan bahwa, 'Setiap orang berhak miliki privasi'. Apa yang mereka sembunyikan terlihat seperti kebenaran--tentu saja bagi mereka sendiri--yang tidak dapat diterima orang lain dan karena tidak mendapatkan tempat, mereka memilih membungkamnya.

Namaku Stella dan aku tidak suci sama sekali. Setiap inci dari ragaku kotor, lidahku pandai mendistorsi fakta. Orang-orang yang tidak pantas tahu, tetapi terlanjur tahu kebusukanku akan menemui ajalnya saat itu juga. Kehidupanku tidak bisa lepas dari genangan darah, hidungku terlalu terbiasa mencium bau amis sampai itu... seperti candu bagiku. Intinya, orang-orang tidak sepantasnya berurusan denganku dan mereka terlalu bodoh untuk bertindak nekat dan masuk ke sarang neraka.

Pukul dua dini hari, dering dari tiga ponselku mulai memekakkan telinga, dan aku akan siap siaga dengan Colt 1911 di samping tubuhku. Jangan bertanya dari mana aku mendapatkan senjata timah itu, kalian akan bergidik ngeri karena tentu saja, aku tidak mendapatkannya secara legal. Telepon yang masuk itu membutuhkan bantuanku untuk membasmi kejahatan. Terdengar heroik, bukan?

Sayangnya, malam ini tidak seperti yang aku duga. Ini lebih mengerikan hingga jantungku berdenyut kesakitan. Saat ketiga dering telepon itu berhenti, ada tembakan yang menggema keras, hampir-hampir memecahkan kaca apartemen lusuh yang kusewa di pinggir kota. Tembakan itu meletus tepat di langit Paris yang sunyi, aku tahu bahwa tembakan itu sedang memperingatiku untuk segera keluar dari persembunyian.

Bertahun-tahun aku berhasil menghindar dan berujung sia-sia, lagi. Tidak ada cara lain.

Aku keluar dari kamar apartemen, berlari menuju tangga yang akan mengantarkanku pada atap. Napasku terengah-engah saat sampai di atapnya dan dari arah Utara, aku bisa lihat dengan jelas gulungan awan hitam menggumpal lengkap dengan kilatan yang menyambar.

Mereka menanti kedatanganku dan siap melemparkanku pada penguasa angkasa.

"Sudah kubilang, jangan bermain-main dengan api. Cepat atau lambat, kau akan hangus di dalamnya."

Sialan. Mengapa wajah berengsek Orlean ada di depan mataku saat ini? Aku mendengkus kesal, lalu meludah di depannya walaupun itu sia-sia karena Orlean berada di atap gedung seberang. Entahlah, itu seperti kebiasaan semenjak aku mengenal--ah, ralat, sejak Orlean, malaikat yang nyatanya bajingan itu memaksa mengenalku. Oh, tentu saja, aku tidak membiarkan hal itu terjadi!

"Urusi urusanmu. Jangan campuri urusanku."

"Kau termasuk ke dalam urusanku."

Aku menggeram dan menatapnya tajam. Bisakah Orlean tidak bersikap menyebalkan satu hari saja? Aku akan mengabaikannya di saat-saat normal--maksudku, saat aku bertingkah layaknya manusia biasa yang berjalan di trotoar St. Rose yang dipenuhi mawar dengan senyum menawan, dan menggoda mata-mata lelaki keranjang, lalu membuat mereka bertekuk lutut saat coba-coba menyentuhku. Itu memicu adrenalinku dan aku menikmatinya. Namun, sejak saat Orlean membuntutiku, semuanya tidak lagi menyenangkan.

"Aku tahu kau bukan manusia biasa. Kau memasuki wilayahku dan mencoba menutupi identitasmu." Aku bisa lihat mata Orlean yang biru menyalang lebih terang dalam kegelapan. "Kau pendosa."

"Ya, itu aku." Dan aku sudah sangat sadar fakta itu. Orlean tidak perlu memperjelasnya. "Itu sebabnya kau tidak perlu repot-repot mengurusi pendosa sepertiku."

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Nov 29, 2021 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

Di Bawah GerimisTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang