Di Bawah Pohon Pisang

194 6 0
                                    

“Ingat ya jangan jauh-jauh dari gubuk ini. Kamu tidak biasa pergi ke sawah. Nanti gak bisa balik.”

Perempua berumur lima puluh lima itu menyadari rasa ingin tahu anaknya gadisnya yang mulai beranjak remaja. Tak hanya sekali tetapi berulang.

“Disini mainannya hanya ke sawah, Bu. Kalau gak ya ke sungai cari pohon pakis juga cari ikan."Sahut putrinya.

Ibunya menatap sebentar dan diam tanpa kata. Itu yang dilakukan tiap kali putrinya Diyah membantah ucapannya.

“Iya tetapi jangan sendiri. Boleh saja main. Tunggu embakmu pulang dulu dari sekolah.”

“Embak mana mau main kesawah kayak anak kecil seperti aku ini.”

“Ya sudah nanti pas Ibu ke sawah kamu ikutan biar bisa main.”

“Enggak ah, lama nunggunya, aku pingin main sekarang.”

Ibunya hanya menghela napas. Tak ingin mendebat putrinya. Lalu memegang sabit yang terletak di pinggir lemari. Lalu mengambil kranjang yang ada di kandang kambing dan mengendongnya.

Sementara gadis itu membersihkan rumah sebelum berniat untuk pergi dan menjelajah sawah. Menangkap belalang, mencari kupu-kupu, juga bunga-bunga liar yang bisa buat mainan. Semua itu dia lakukan dengan bersenandung ria untuk mengurangi kesendiriannya.

Menjelang pukul sebelas, dia sudah bersiap keluar. Ia tidak mempedulikan larangan Ibunya. Dia menyiapkan botol minuman yang dimasukan tas kresek hitam. Mengambil topi merah sekolah yang sudah robek disampingnya karena Ibunya sudah menjahit beberapa kali tapi masih saja tetap  robek. Kalau dibuang sayang masih bisa dipakai. Dan akhirnya membelikannya yang baru buat sekolah. Dan, topi yang lama ia pakai kalau main-main ke sawah.

Sawah dan sungai sebenarnya mainanya tiap hari. Tetapi ada yang membutnya penasaran.

Kemarin saat main di sungai sambil mencuci pakaian sekolah ia mendengar percakapan ibu-ibu yang membuatnya penasaran. Letaknya tak jauhh dari tempat biasa ia mengangkap belalang. Apalagi hari libur.

Dari belakang rumahnya dia memandangi padi yang sudah menguning, sebentar lagi orang tuanya akan panen. Ini sangat ditunggu karena bisa makana enak. Ayam kampung panggang  yang dibawah ke sawah untuk mengawali memanen padi tersebut. 

Dia berharap batu sejaran itu masih ada. Walaupun hanya batu ia sangat penasaran. Ia melewati pematang sawah yang biasa ia lewati saat mengangkap belalang.  Dia tak melihat siappun di tengah hari seperti ini.

Biasanya Pakde Rebo yang mengambil rumput itu agak sore pergi ke sawah, selepas sholat Ashar, begitu juga dengan orang tuanya. Karena selain panasnya menyengat juga waktunya istirahat. Orang-orang jam sebelah sudah pulang. Ia malah berangkat. Suasananya sangat sepi. Suara burung pipit yang hingap kesana kemari, sesekali hinggap di padi yang mulai menguning. Mematuk satu dua padi dan terbang lagi. Suara air di parit gemericik seperti mengajaknya bercanda, ia juga kadang mencari ikan pari di parit-parit itu.

Ia mencari-cari gubuk untuk berteduh sebentar tidak ketemu. Ia mutar-muter dan berjalan kesana-kemari, dan ia menginta dari mana tadi ia mulainya. Batinnya.

Tetapi ia sudah terlanjur sampai sawah. Perlahan  ia melangkah dan bersandar di bawah pohon pisang.  ia menyibak rerumputan, dan duduk diatas rumput tersebut.

Kembali ia tertegun, dan mengingat-ingat.  Pematang-pematang sawah yang ia lalui sama saja dengan yang bisa ketika main-main di sawah.

Tapi kok tidak menemukan apa yang ia cari. Di dekat gubuk itu ada tanaman sayuran-sayurang, kacang panjang, tomat, ketimun, kacang tanah, jagung. Biasanya saat ia berteduh di gubuk itu, sambil memetik timun dimakan siang-siang untuk mengurangi dahaga.

Di melihat sekelilingnya dengan perasaan ngeri. Tapi juga putus asa ia tidak tahu jalan untuk pulang.  Apalagi ia sambil menahan kantuk yang menyergap secara tiba-tiba.

“Tolong!”

Ia teriak dengan kencangnya.
Tapi tentu saja tidak ada yang mendengarkan. Dia sendirian di sawah. Dan ibunya juga tidak berada di tempat itu.

Dia bangkit dari tempat duduknya. Dan, terus berjalan, tetapi selalu saja kembali ke bawah pohon pisang itu. Dia merasa takut dan mulai panik. Bagaimana kalau Ibunya mencarinya, dan sampai tidak tahu jalannya pulang, sungguh mengerikan sekali!

Dia kesal, ia jengkel. Ia menangis meraung dibawah pohon pisang itu.

“Aneh kenapa tidak bisa pulang.” Gumamnya.

*___*

Hallo teman-teman jumpa lagi dengan cerita baruku rada serem. Selamat membaca ya

Salam

Tee-tee

BATU SEJARANWhere stories live. Discover now