Dreiundzwanzig (23)

19 6 3
                                    

Jadi, saya mau bercerita tentang apa yang saat ini sedang saya lihat, saya dengar, saya rasakan, dan apapun di sekeliling saya.

Berada di salah satu danau dekat rumah saya, hanya perlu 10 menit mengendarai motor. Saya duduk di salah satu dudukan yang terbuat dari aspal.

Sendirian.

Namun, saya tidak benar-benar sendiri. Banyak orang di sekitar saya, kebanyakan keluarga yang sedang piknik. Hm, kalau dilihat-lihat, saya paling menyedihkan karena nggak punya teman mengobrol.

Haha, tidak apa. Toh, bukan itu yang saya cari disini. Saya bukan mencari teman berbicara. Akan tetapi, saya mencari ketenangan. Ketenangan untuk diri saya sendiri.

Mendengar lagu A Million Dream—Ziv Zaifman menggunakan earphone, benar-benar membuat saya seperti memiliki dunia sendiri. Dunia impian saya, dimana saya bebas mengekspresikan sesuatu tanpa perlu peduli apa pendapat orang lain.

Angin sepoi-sepoi yang membuat daun kering di sekitar saya terbang perlahan, ikut mencuri perhatian saya. Semuanya terasa tentram disini.

Ntah sampai kapan saya akan duduk disini, sebab saya sudah terlalu nyaman. Melihat anak kecil bermain gelembung sabun bersama ayah ibunya, melihat anak kecil berlarian, suara deru motor di pinggir jalan, cuap-cuap ibu bersama anak perempuannya, seorang bapak yang menggendong anaknya dari belakang, ah..

Masih terlalu banyak jika disebutkan.

Banyak orang tidak suka sendirian. Sepi. Sunyi. Hanya mendengar suara hati.

Namun, saya menyukainya.

Beberapa kali saya merinding. Bukan. Bukan merinding ketakutan. Saya juga tidak tahu itu merinding karena apa. Mungkin, karena suasana disekitar saya terlalu syahdu sampai membuat saya merinding. Mungkin.

A million dreams for the world we're gonna make..

Pas sekali, lagunya berhenti. Namun, ia akan mengulang lagi. Ya, sejak tadi, hanya lagu itu yang saya dengar. Isi lagu itu, sangat berarti bagi saya. Semangat saya, harapan saya, semuanya campur aduk di dalam lagu ini.

Tiba-tiba, saya tersenyum. Oh, ntah sudah berapa kali saya tersenyum sendiri disini. Untunglah, saya memakai masker. Jadi orang-orang tidak bisa melihat senyum saya yang terlihat aneh —karena senyum sendirian.

Saya tersenyum ketika sekumpulan bocah mungil itu berlarian di hadapan saya. Mereka berlari tanpa takut akan jatuh. Lantas, mengapa semakin dewasa, kita semakin takut jatuh ketika berusaha berlari mengejar impian? Padahal, saat kecil, kita tidak takut apapun.

Tuhkan, lagunya selesai lagi. Namun, tulisan saya tak kunjung berhenti. Ntahlah, asyik saja menulis di suasana seperti ini.

Tapi.. sekarang saya capek mengetik. Makasih ya, kalau kalian sudah baca sampai kalimat ini. Makasih sudah bersedia membaca ceritaku hari ini.

Sampai jumpa,
Tsabita.

ein SchreibenTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang