Chapter 21

2.7K 346 13
                                    

Dimas Agastya

Aku masih tidak melepaskan pandanganku dari Anin yang terlihat tidak bergairah saat memasuki area keberangkatan di bandara Ngurah Rai. Ia menoleh padaku menampakkan wajahnya yang enggan untuk pergi. Meski tidak suka juga dengan ide kepergiannya ke Jakarta namun aku hanya bisa melepaskannya dengan senyuman. Aku rasa Anin perlu kembali bertemu dan berbicara dengan Papanya agar masalah di antara mereka tidak akan semakin menebal dan sulit untuk disingkirkan nantinya. Aku tidak mau Anin kehilangan satu-satunya keluarga terdekat yang ia punya. Mereka masih bisa meluruskan kesalahpahaman di antara mereka sebelum kesalahpahaman itu perlahan memutus hubungan mereka.

Aku tidak mau berpendapat banyak tentang masalah tersebut mengingat aku tidak paham seberapa besar luka yang telah ditorehkan Pak Hirmawan di hati putrinya itu. Tapi aku selalu mengingatkan Anin agar jangan sampai hubungan antara ia dan Papanya putus bagaimanapun caranya.

"Setahu aku Pak Hirmawan sangat menyayangi kamu. Ia bangga sama kamu dan pastinya ia nggak pernah melupakan kamu. Kalau kamu masuk ke ruangannya di kantor, kamu akan menemukan banyak foto dirimu di sana. Dari foto waktu kamu masih bayi hingga foto terakhir kamu. Aku rasa itu bentuk sayang Papa kamu, Nin. Kalian hanya perlu meluruskan kesalahpahaman ini."

Anin hanya diam dalam dekapanku.

"Salah paham?" Anin tertawa kecil. "Setiap aku marah ia selalu menganggap aku terlalu berlebihan dan nggak memahami dia. Aku anak yang durhaka bla bla bla. Aku rasa ini bukan salah paham tapi lebih kepada kebebalan." protesnya dengan nada kesal.

"Anin." Aku mengelus punggungnya lembut mencoba membuat ia tidak tenggelam lagi dalam amarahnya. "Begitulah laki-laki Nin. Ketika seorang perempuan marah, mereka hampir nggak pernah mencari tahu apa alasannya. Mereka malah melihat kemarahan kalian yang menyangkut hal personal itu sebagai bentuk penyerangan terhadap pribadi mereka."

"Ya, kaum kalian memang stupid!" Anin menggumam dan membuatku tersenyum.

"Ya, kamu benar. Karena itu kalian perlu bicara dalam suasana yang berbeda. Kamu harus lebih sabar, sayang. Singkirkan emosi agar sama-sama bisa bepikir jernih."

"Aku sangsi."

"Jangan bilang gitu dong."

Itu pembicaraan kami malam tadi.

Dan saat ini, aku masih belum beranjak dari tempat aku berdiri sampai aku kembali melihat Anin berjalan cepat ke arah pintu keluar barat setelah melakukan check-in. Aku menghampirinya dekat pintu.

"Kamu pulang aja. Aku langsung naik ya soalnya setengah jam lagi boarding."

"Oke kamu hati-hati." Kataku sambil menariknya ke dalam pelukanku.

"See you." Katanya saat ia melepaskan dirinya dari dekapanku dan berbalik masuk kembali ke dalam ruang keberangkatan. Setelah bayangan Anin hilang dari pandanganku aku baru beranjak dari tempat aku berdiri.

Ponselku berbunyi dalam perjalananku menuju tempat parkir.

"Halo, Ma." aku memainkan kunci mobil di tanganku

"Gimana kabar kamu? Masih marah sama Mama?"

"Nggak, Ma. Kabarku baik."

"Terus...?"

"Terus apa, Ma?" Aku menghentikan langkahku sebentar dan mengantongi kembali kunci mobilku.

"Kalau kamu sudah putus dari perempuan itu apa kamu benar-benar nggak mau mempertimbangkan Kiara lagi?"

"Ma, cukup libatkan Kiara. Dia pantas mendapatkan laki-laki lain yang lebih baik. Kami nggak berjodoh." Ucapku sedikit kesal. Aku bisa mendengar helaan napas panjang di seberang sana.

          

"Ok. Mama nggak akan bicara tentang Kiara tapi kamu nggak boleh keberatan kalau hubungan Mama dan Kiara masih baik. Mama kesepian di sini, Ga. Kiara cukup sering menemani Mama jadi jangan berprasangka buruk sama Kiara ya."

"Ok." Aku menjawab dengan enggan.

"Oh ya kamu nggak pernah bilang kalau perempuan itu anak bos kamu. Mama baru tahu dari Kiara." Aku memutar bola mataku. Aku rasa ide pertemanan antara Mama dan Kiara sama sekali bukan ide yang bagus, namun aku tidak bisa mengulang cerita dan membatalkan apa yang sudah terjadi sebelumnya. Akulah yang menyebabkan terciptanya hubungan pertemanan ini.

"Namanya Anin, Ma!" kataku kesal karena mendengar Mama yang sepertinya begitu tidak ingin menyebut nama Anin. Hal-hal seperti inilah yang terkadang membuat aku berpikir ada benarnya Anin memutuskanku karena ia tidak pantas mendapat perlakuan seperti ini. "Iya, dia anak Pak Hirmawan, bosku. Dan agar Mama tahu, aku dan Anin kembali pacaran. Anin pilihan aku dan Mama harus menerimanya. Jangan pernah perlakukan Anin dengan nggak adil karena Mama belum mengenalnya."

"Kalian kembali pacaran?" Mama cukup terkejut dengan informasi yang aku berikan.

"Ya."

Kembali aku mendengar helaan napas panjang dan terkesan berat.

"Oke terserah kamu kalau memang dia pilihan kamu."

"Maksudnya Mama akan menerima Anin?" tanyaku sedikit was-was.

"Toh, nggak ada gunanya juga kan kalau Mama nggak setuju?"

"Baiklah." Aku mencoba menerima hal ini sebagai sebuah pertanda baik meski aku belum sepenuhnya yakin dengan apa yang sebenarnya ada di hati mama tentang Anin.

Hubungan telepon langsung terputus dan itu menjawab keraguanku. Aku sudah mengira Mama masih belum rela dengan pilihanku. Dalam hati aku berjanji akan mengubah pemikiran Mama tanpa membiarkan Anin terluka lagi.

***

Anindira Maheswari

Aku teringat di suatu waktu di masa lalu yang sudah aku lupa hari dan tanggalnya. Aku yang masih berseragam SMP pergi ke kantor Papa dan masuk ke ruangannya dengan tangisan. Waktu itu kantornya masih berupa sebuah rumah kontrakan di daerah Jakarta Selatan dan karyawannya belum terlalu banyak.

"Anin kamu kenapa?" Papa yang saat itu sedang menerima telepon di mejanya sontak memutuskan pembicaraannya dan membuka kedua tangannya menyambutku. Papa membiarkan aku menangis dalam pelukannya tanpa bertanya lagi apa yang sedang terjadi. Setelah aku menuntaskan kesedihanku di dadanya, Papa membawaku ke sofa di ruangannya. Ia menatapku yang masih menyisakan isak.

"Ada apa, sayang?"

"Papa mau ninggalin kita?" aku mengangkat wajahku memandangnya. "Ninggalin aku dan Mama? Emang itu bener?" aku melepaskan pertanyaan beruntun dan air muka Papa sama sekali tidak berubah. Tak ada ekspresi terkejut di sana,

"Siapa yang bilang seperti itu?"

"Kak Olive. Kak Olive yang bilang."

"Olive siapa?"

"Olivia anaknya Om Bakti!" kataku sambil menghentakan kaki kesal.

"Loh kapan Olivia ketemu kamu?" Papa mengulurkan tangannya menyeka pipiku yang basah. "Bukannya Olive itu udah SMA kan?"

"Ih Papa nih!" aku memukul pelan lengan Papa. "Sekolah kita kan masih satu kompleks. Tadi aku ketemu Kak Olive pas di gerbang. Terus dia nanya apa aku baik-baik aja. Aku kan heran emang kenapa kok nanyanya gitu. Terus dia bilang dia nggak sengaja dengerin obrolan Papa sama Mamanya," aku menyeka hidungku yang berair. "Katanya Papa mau ninggalin kita. Bener itu?"

I Found YouTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang