22. Penonton Bukan Pengendali

12 6 4
                                    

🌆

"Woy Bro! Doinya cantik banget sih. Eh, kenapa cewek cantik gini bisa mau sama modelan Nanta ya?"

Ananta melakukan tos bergantian dengan mereka semua sampai ucapan dari salah satu orang itu membuatnya menoleh.

"Bacot njir. Gausah ganggu dia." Ananta menyuruh aku duduk di dekat kak Awan, sedangkan dia pergi membeli makan untuk sarapan.

"Saya sudah punya wacana untuk kamu, Run," jelas kak Awan tiba-tiba. Meja yang berisi kurang lebih delapan orang itu seketika hening.

"Wacana apa Kak?"

"Saya mau kamu dan Nanta ikut ambil bagian di osis."

Hah? Yang benar saja. SMP saja aku tidak pernah mau ikut dalam organisasi. Capek, apalagi setelah tenaga dikuras banyak mata pelajaran.

"Tapi, Kak. Aruna belum kepikiran buat ikut osis."

Eh tunggu. Kalo misalnya kak Awan mengenal Ananta. Lalu, kenapa Ananta harus kena hukum karena berkelahi dengan Bima? Ah, tentu saja. Dia menjalankan kewajibannya sebagai ketua.

"Udahlah, pokoknya nanti kamu sama Ananta santai aja. Apa perlu kalian saya masukin osis tanpa tes seperti yang lainnya?"

Wadaw. Berat kalau begini.

"Ya enggak bisa lah, Wan. Enggak adil. Semua anggota osis harus lulus tes dulu," sela kak Arjuna yang membuat mata kak Awan sedikit menajam.

"Jun, kamu ragu sama pilihan saya?"

"Enggak. Tapi ini enggak bener, Wan. Apa kata mereka kalau kamu tiba-tiba masukin dua adek kelas ini tanpa tes. Kamu mau dianggap sebagai ketua yang tidak adil?"

Benar kata kak Arjuna. Pastinya bakal banyak siswa yang menjudge kak Awan. Itu akan sangat disayangkan hanya karena menyelundupkan dua orang seperti aku dan Ananta.

"Biar saya pikir dulu. Pokoknya kalian berdua sudah saya incar. Jangan harap bisa melarikan diri, ya. Terutama kamu, Pendek. Kalo Nanta mah iya aja."

Astaga. Aku harus apa sekarang? Apa aku pindah sekolah aja ya? Tapi nanti malah gak ketemu sama Ananta dong. Ini baru hari pertama masuk dan sudah ada beban seperti ini.

"Apasih rame-rame segala. Kedengeran sampai mak Ris loh." Ananta datang dengan membawa semangkok soto, terlihat saat dia kembali duduk di sebelahku. Mak Ris sendiri adalah salah satu dari beberapa penjual di SMA Deukalion.

"Kepo kan."

"Ya elah Bang Sat. Dari SMP perasaan selalu nistain aing."

Jadi satu gerombolan ini semuanya pernah satu SMP sama Ananta? Pantesan aja mereka terlihat akrab meskipun beda angkatan.

"Makan Bang! Na, kamu mau makan juga?"

"Ah, enggak usah. Aruna udah sarapan kok."

"Yakin?"

Aku menganggukan kepala kuat-kuat. Sedari tadi, kak Arjuna hanya diam. Hanya sekali tatapan matanya tertuju kepadaku. Dia kenapa?

"Udah ganti aja, Nan. Cepet banget deh perasaan move on sama Bunganya."

Nan? Nanta? Satu celetukan itu berasal dari gerombolan kakak kelas yang lewat di depan kami. Ananta menegakkan kepalanya.

"Wey Kak Lor, setahun bukan waktu yang cepat kali. Hehe."

"Yang ini dijaga baik-baik, Nan. Jangan sampai kena tikung lagi. Pada nyesel kan kalo udah gak barengan lagi. Lora duluan ya."

Ananta memberikan jempolnya. "Aman lah. Yang satu ini jangan sampai lepas." Dia menatapku setelah selesai berucap demikian.

Ah, Aruna akhirnya paham juga. Ananta dan kak Bunga pernah pacaran, terus Ananta kena tikung. Kurang lebih seperti itu kan?

Dia meletakkan mangkoknya. "Nanta mau ke kelas duluan bre!"

"Yoi."

"Ayo, Na."

Sekali lagi dia menggandeng tanganku. Kak Arjuna mengalihkan perhatiannya dengan memainkan handphone yang dia ambil dari saku seragam.

"Permisi Kak," pamitku pada mereka semua.

Aku berusaha untuk tidak kaku dengan semua ini. Perlahan, aku memang harus dekat dengan semua orang yang ada didalam kehidupan Ananta.

🌆

Lorong menuju kelas dipenuhi dengan tatapan kepo dan sejenisnya. Aku menunduk, tapi genggaman erat Ananta membuatku kembali tegak. Hatiku menyakinkan, pasti akan ada masa di mana aku dan Ananta akan menjadi kita.

"Kamu enggak perlu memikirkan tentang mereka, Ta. Karena mereka hanya penonton yang mengikuti skenario kita. Jangan jadikan mereka sebagai pengendali, cukup menjadi penonton saja."

Ananta benar.

Mereka tidak boleh menjadi pengendali dalam cerita ini. Apalagi tentang Ananta. Tidak, aku tidak akan mengizinkan siapapun menjadi sutradaranya kecuali aku sendiri dan Ananta.

Dia memandangiku penuh makna. "Sudah mengerti, kan. Na?"

"Sudah."

Dibalik satu kata itu terselip banyak harap untuk selalu bersamamu, Ta. Hanya satu sudah yang tidak pernah ingin aku wujudkan. Menyudahi cerita ini tanpa kamu. Aku harap kamu tak hanya menjadi awal, tapi juga akhir.

Aku masuk ke dalam kelas berdua dengan Ananta. Cuitan itu tak membuat wajahku memerah lagi. Mereka hanya penonton, satu kalimat itu mendadak mengendalikan semuanya.

Ananta menuju mejanya dideret belakang. Sedangkan aku sendiri di depan bersama Hara. Priya yang duduk di belakangku sedikit memajukan tubuhnya.

"Kalian dari mana? Perasaan tadi berangkat duluan, tapi sampainya belakangan."

Kak Rania sendiri duduk dengan kedua tangannya di atas meja. Dia hanya mengarahkan dagunya, mungkin satu suara dengan Priya tapi tidak sekelihatan itu keponya.

"Nungguin Ananta makan di kantin."

Priya ber oh saja. Ananta menuju mejaku, saat di koridor tadi aku ingin menanyakan sesuatu tapi lupa. Jadi aku memutuskan untuk bertanya sekarang.

"Ta, Aruna boleh tanya?"

"Boleh lah. Kamu mau tanya apa?"

"Kak Bunga, dia siapa?"

Bukannya aku kurang jelas dengan penilaian dari sudut padangku sendiri. Tapi, sepertinya tidak benar jika menilai suatu hal hanya dengan satu sudut pandang.

"Mantan aku, Run."

Benar. Tebakanku tidak meleset. Tapi salahkah aku jika menanyakan satu pertanyaan lagi?

"Kok bisa putus?"

Priya ternyata telah mewakili pertanyaanku. Ananta, aku mohon. Jawab pertanyaan itu agar tidak ada yang mengganjal lagi di hatiku.

🌆

Bunga saha si njir?

Bunga matahari sangat cantik, kembang di waktu pagi. 

Canda aing. Maap.

Manuskrip Jeda [Selesai]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang