Back to Indonesia

1.8K 301 5
                                    

Hanif Abdurrauf Sjahbandi ⚽

Masih ingat bagaimana Defia tak menatapku semalam. Jika pasangan lain akan menggunakan pasangannya sebagai tempatnya berlari, Defia justru lain dari yang lain. Ia enggan menatap mataku seperti biasanya. Dalih yang ia gunakan adalah malu. Padahal aku tidak mempermasalahkan kekalahannya. Setiap yang berlomba selalu ada yang kalah dan yang menang. Itu aturan klasik sejak zaman anaknya Nabi Adam kupikir. Jika semua menang, tidak perlu perlombaan.

Kupikir dia sudah melakukan yang terbaik untuk negaranya dan itu cukup. Apa yang ia dapatkan dari olimpiade pertamanya dan kekalahannya ini, itu lebih penting. Pelajaran yang ia ambil dapat menjadi pembelajaran dan perbaikan bagi negara nantinya. Apa yang buruk akan dievaluasi, apa yang baik akan dipertahankan. Kukira, sampai di quarterfinal bukan hal yang buruk dan memalukan.

Defia juga seharusnya melihat atlet dari negara-negara lain, bahkan beberapa dari mereka tak lolos di fase grup. Akan tetapi, mereka tak berhenti sampai di situ. Akan ada banyak pekerjaan setelah ia kalah. Meski ini olimpiade terakhirnya, ia masih punya tugas penting bagi negara. Apa? Tentu saja mencetak generasi selanjutnya. Sayang, aku belum bisa berbicara banyak dengannya.

Pagi ini aku kembali ke Indonesia lebih dulu, Defia dan tim akan kembali esok pagi. Mereka akan menikmati waktu di Tokyo sebelum pulang. Ada mental yang harus dipulihkan. Semuanya saja, semua tim taekwondo.

"Siapin kata-katanya buat ngomong sama Teteh," pesan Mama dan Ibu.

"Kaya mau pidato saja, Bu, Ma." Meski sebenarnya aku menyiapkan, menata rapi. Hanya ingin terlihat berwibawa saja, sudah tahu apa yang akan dibicarakan nanti. Aku tahu, menyiapkan kata yang baik untuk seseorang yang sedang jatuh itu penting. Sebab salah satu kata pun bisa membuatnya semakin jatuh.

Ibu memukul punggungku. "Jangan sampai salah bicara!"

Aku mengangguk.

Hari berganti dan Defia justru tidak pulang ke rumah. Aku menjemputnya di bandara tapi ia justru meninggalkanku begitu saja dan hanya bilang akan ke Bogor, ke rumah Ibu.

Alhasil aku bergegas kembali ke rumah dan harus mengemas pakaianku, menyusul Defia ke Bogor. Meski ia butuh waktu sendiri, setidaknya aku tidak terlalu jauh darinya. Ketika ia membutuhkanku, ia bisa langsung berlari karena kami dekat.

Defia sebenarnya juga sempat mengirim pesan agar aku tidak menyusulnya. Setidaknya hari ini. Ia memintaku istirahat di rumah, tapi aku tidak peduli, sama sekali. Bahkan aku sudah dalam setengah perjalanan menuju dirinya.

"Assalamualaikum," salamku setibanya di rumah Ibu.

"Wa'alaikumsalam, masuk, A," balas Ibu. "Teteh lagi makan."

Diam beberapa saat, barulah melangkah masuk dan meletakkan koper kecilku di kamar. Langsung menyusul Defia di belakang.

"Nah, makan masih masuk ya tapi nemuin suami kaya mau muntah," sindirku seolah sedang di rumah sendiri. Padahal ini rumah mertua, bisa jadi Ibu memandangku buruk tapi aku tidak peduli.

"Ya, kalau nggak makan mati, kan?" balasnya membuatku melotot. Tapi dia seolah tidak peduli.

"Oh, memangnya bisa hidup sendiri tanpa suami?"

Plakk... Ibu memukul punggungku keras. Tidak perlu kaget, sudah pasti aku akan mendapatkannya.

"Ya, habisnya Teteh, Bu. Coba, Aa sudah ke bandara loh. Langsung pagi-pagi buat jemput, ajak pulang baik-baik. Bisa-bisanya nggak mau," jelasku sedikit kesal.

Bukan sebenar-benarnya kesal. Aku hanya ingin membawa Defia pada emosi kesehariannya, bukan hanya emosi kecewa dan diamnya. Ia harus meluapkan banyak hal, menceritakan apa yang ia rasakan, dan mungkin ia marah pada dirinya sendiri tapi tidak bisa memarahi dirinya sendiri. Ia butuh pelampiasan untuk marah dengan kecewanya. Aku hanya membawanya ke arah itu.

The Sjahbandi's (WALS 3)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang