Bagian 2

187 44 183
                                    

Di saat aku masih berusia enam tahun, pernah aku bertanya, apakah diriku ini benar-benar seorang Daffodil? Kemudian pada saat aku mulai menginjak umur lima belas tahun, aku pun kembali bertanya-bertanya, apakah diriku ini benar-benar anak dari salah satu keluarga terpandang?

Lantaran diriku yang sedari dini sudah terbiasa meradiasi otak dengan telepon genggam, terisolasi di kamar seperti orang yang terkena penyakit menular. Aku bahkan hampir lupa jika diriku ini juga manusia, masih membutuhkan makanan dan juga cahaya surya.

Orang-orang sering mengatakan kalau aku ini pendiam dan lembut, jarang memancing emosi orang. Padahal, mereka saja yang tidak tahu isi otakku yang sebenarnya.

"Kamu ... Daffodil, ya?" tanya seseorang tiba-tiba.

Aku menoleh sekilas pada orang itu. Karena tidak pandai berimprovisasi, aku pun hanya mengangguk saja sebagai jawaban.

"Hai, namaku Alder," katanya lagi, si laki-laki yang mengaku bernama Alder itu pun kemudian menyalurkan tangannya, hendak berjabatan denganku.

Sebenarnya aku tidak peduli jika namanya Alder ... atau apalah itu. Jujur saja, aku tidak pandai berkenalan dengan orang baru, apalagi jika orang tersebut adalah laki-laki. Padahal nyatanya, aku lebih nyaman berteman dengan laki-laki daripada perempuan. Para perempuan biasanya terlalu materialistis, hanya ingin merampok uangku saja. Hanya segelintir orang yang benar-benar tulus berteman denganku.

Alder menurunkan tangannya yang tak kunjung kujabat. Dia hanya tersenyum kecil seolah maklum padaku.

"Jadi namamu Daffodil. Iya, 'kan?" tanya Alder lagi.

Aku menghela napas, "Iya, aku Daffodil."

Alder tersenyum lagi, "Ya sudah." Setelah mengatakan itu, dia pun langsung berlalu pergi begitu saja. Dasar orang aneh.

"DAFFO!" panggil Kak Senna tiba-tiba.

Aku menoleh dengan cepat, "Kenapa, Kak?"

Kak Senna menyembulkan kepalanya dari balik kaca jendela mobil miliknya yang setengah terbuka, ekspresinya tetap datar seperti yang sudah-sudah kulihat.

"Ingat, kata Ayah!" katanya tegas.

Aku menautkan alisku dalam, dan mengangguk sebagai jawaban.

Kata Ayah, aku tidak boleh berteman lagi dengan orang-orang yang tidak setara denganku. Namun, aku tidak akan pernah mendengarkannya, aku berhak untuk menentukkan sendiri apapun yang kumau.

Kalau bisa, rasanya aku ingin sekali menghilangkan wajah Ayah dan Kak Senna dari hadapanku, saking muaknya dengan mereka. Kecuali Mama. Mama tidak pernah memihak siapapun, dan aku senang karena setidaknya Mama tak pernah menuntut apa pun dariku seperti Ayah dan Kak Senna. Keluargaku seolah merundungku selama 17 tahun hidupku di dunia ini, memaksaku untuk selalu mencapai kesempurnaan. Padahal, hidup tidak akan pernah sempurna.

Apakah Ayah tidak mengingat kalau dulunya keluarga kita ini pernah hidup susah? Makan nasi dengan lauk sepiring telur goreng yang dibagi empat pun tak masalah, berusaha mati-matian agar bisa menghemat dan menggapai kesuksesan yang hendak diraih.

Kedua orang tuaku menikah karena sebuah kesalahan, tidak ada kasih sayang apalagi cinta yang tulus dalam pernikahan mereka, yang ada hanyalah nafsu duniawi semata. Padahal Kak Senna yang dilahirkan karena sebuah kesalahan, tapi mengapa aku yang hidup menderita?

Aku terus menundukkan kepalaku dalam diam, memperhatikan ujung sepatu yang Mama belikan seminggu yang lalu. Aku terus menunduk, entah mengapa aku tidak berani untuk melihat lurus ke arah depan.

Banyak yang mengatakan kalau aku ini pemalu, banyak juga yang mengatakan kalau aku ini orang yang aneh. Bahkan, ada pula yang berbicara terang-terangan di hadapanku dan mengatakan kalau aku ini bukanlah anak kandung dari keluarga kaya itu. Tidak apa-apa, aku pun pernah berpikir demikian. Mungkin saja aku ini benar-benar anak pungut yang ditemukan di depan tong sampah, makanya aku selalu merasa hidupku ini lebih menjijikan dari onggokkan sampah basah yang bau.

FLOWER || Kim Yoohyeon [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang