Ruby sadar jika dirinya sudah gila, bahkan mungkin kehilangan akal. Tidak ada perempuan waras yang akan membuka baju di depan laki-laki tanpa status apa-apa.
Di kamar hotel. Berdua.
Ini seperti perjudian penuh konspirasi yang sudah tahu hasil akhirnya. Layaknya ikan yang sengaja diletakkan di depan kucing kelaparan. Mustahil Si Kucing akan menolak.
Enam tahun yang lalu, Si Kucing yang masih polos bisa membuat Si Ikan berantakan dengan ciuman yang diragukan statusnya sebagai ciuman pertama. Hari ini, dengan segala perubahan pada Si Kucing, kecil kemungkinan Ikan akan keluar dari tempat ini dengan keadaan baik-baik saja.
Sudah pasti tubuhnya hanya akan menyisakan duri. Dan yang lebih buruk, ia akan kehilangan harga diri.
Kehilangan. Kata yang akhir-akhir ini akrab dengan Ruby.
Ia sudah kehilangan semuanya. Ibu, ayah, kakak, sahabat. Mereka pergi. Bahkan lelaki yang sialnya masih menghuni ruang di hatinya, sebentar lagi juga akan menjadi milik orang lain.
Ia gagal menjaga mereka, jadi untuk apa yang satu ini harus dipertahankan?
Dunia tidak pernah berpihak. Cahaya bintang, warna-warni pelangi, kehangatan keluarga. Semua hal indah dalam hidup saling bersekutu menjauh. Hidupnya sudah kelam melebihi pekatnya malam. Akan lebih sempurna jika semuanya pergi.
Selama enam tahun ini, ia sudah terbiasa hidup dalam belenggu luka dan kecewa. Tidak masalah jika ia harus memperpanjangnya sampai sepuluh atau dua puluh tahun kedepan. Atau sampai mati. Tidak ada yang peduli. Tidak ada yang akan mengerti.
Pergerakan itu mengembalikan kesadaran. Ruby melihat Oska melepas kacamata, membuka jaket, melemparnya asal seolah itu benda menyebalkan yang sangat mengganggu.
Harusnya saat keputusan maha nekat ini diambil, ia tidak boleh takut, apalagi mundur sampai menginjak bajunya yang teronggok di lantai sampai kusut.
Ini pilihannya. Ini solusi gila yang muncul di kepalanya untuk mengusir Oska.
Ruby akhirnya berhenti. Ia tidak boleh mundur. Setidaknya Oska akan senang, kan? Ya, semua orang pergi karenanya, dengan rasa kecewa, marah dan kesakitan. Untuk yang satu ini, setidaknya Ruby bisa membahagiakannya.
Dengan cara yang paling gila.
Ruby tidak kuasa menunduk saat langkah itu semakin dekat. Tanpa sadar tangannya mengepal, matanya terpejam. Ia berharap tubuhnya bisa diajak kerjasama untuk bersikap tenang. Namun, rasa takut perlahan menyelinap saat tangan Oska menyentuh lengan polosnya.
Oke. Tenang, By. Tenang.
Pergerakan tangan yang merambat naik ke leher, menyentuh setiap inci kulit, membuat sekujur tubuhnya meremang. Mata Ruby semakin terpejam erat, merasakan deru napas itu semakin dekat, menyapu wajah dan sekitar telinga.
Napasnya tertahan merasakan posisi Oska yang sangat dekat.
Dalam dimensi perspektifnya, setelah ini Oska akan menciumnya, melucuti sisa kain yang menempel, mencumbunya seperti kucing liar kelaparan, membantingnya di kasur, membuat tubuhnya rontok sampai tidak bisa jalan. Si Kucing akan menghabisi Si Ikan yang datang menyerahkan diri, dan akhirnya—selimut?
Ruby terpaku saat selimut tebal tiba-tiba membungkus tubuhnya. Sentuhan itu berhenti, napas itu menjauh. Tidak ada ciuman, apalagi cumbuan. Benar-benar berhenti.
"Hari ini udara Jogja dingin, ditambah dengan suhu di kamar ini, nanti kamu bisa masuk angin."
Perlahan Ruby mengangkat kepala dan menemukan senyum tipis itu. Senyum canggung khas bocah polos yang dulu selalu menghangatkan hatinya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Starlight for Yamaza
General Fiction"Dia bukan cowok most wanted dengan segala pesona yang bikin cewek-cewek alay keganjenan kayak cacing kepanasan. Tapi bukan berarti dia cupu. Dia cuma anak pendiam, yang pasrah dengan kondisinya. Satu-satunya cowok yang selalu bawa bekal ke sekolah...