34 | Going To Somewhere Over the Rainbow, Is Safe Now?

145 26 5
                                    

Dor.

Norman nyaris saja menjatuhkan pistolnya begitu mendengar suara memekakkan telinganya yang terarah padanya. "Azazel!"

Sheeran buru-buru merubah wujudnya seperti semula, membantu Jayce untuk menahan tubuh Azazel yang seketika saja limbung kala mencoba melindungi Norman dari sebuah tembakan. Norman masih dalam keterkejutannya, melirik Lena yang tidak segera menolong barang menghentikan pendarahannya.

"Aku pikir kau tidak akan datang seceroboh ini." Lena lebih memilih untuk mendongakkan kepalanya, menantang Jeolla Lebanch yang kini berdiri dengan kedua kakinya di atas kepala cacing raksasa. Norman yakin jika guru seninya itu telah berubah menjadi seorang remaja seperti dirinya. Regenerasi. Jeolla seakan kembali dengan fisiknya kala masih seusianya, namun kemampuannya sama dengan seorang pria yang telah mengahabiskan separuh abad untuk hidup di dunia.

Beberapa saat yang lalu dia menggunakan kepanikan atas kabut beracun dan juga cacing raksasa itu untuk membidik Norman. "Ternyata rumor itu benar, ada telur busuk di antara kalian. Yang barusan itu Mallory, kan?" ucapnya menunjuk Azazel tertembak di bagian lengan tangan kanan. "Sepertinya harapanku terlalu tinggi, aku berharap dia akan menghentikan peluruku atau mungkin menembakkan peluru lain untuk menghadangnya. Benar-benar telur busuk."

"Well, lebih menyenangkan untuk melempar telur busuk daripada telur mentah ke arahmu," ucap Lena. Matanya mengedar mencoba mengenali situasi sekitar, rasanya mereka tidak berjalan begitu jauh dari tempat delapan serigala tadi menyerang. Namun suara pertarungan itu terdengar cukup jauh dan ditambah asap yang membuat pengelihatannya semakin menurun. "Aku pikir sepasang kakimu sudah busuk, ah, uang memang selalu berkuasa. Kali ini siapa yang sedang kau peras?"

Lena mengepalkan tangannya, mencoba mengalihkan fokus Jeolla agar tidak melukai salah seorang yang ada di zona sepuluh meter Selena. Termasuk Azazel yang kini pingsan, tidak ada yang bisa membantunya mengintip masa depan saat ini.

"Hei, Norman!" Jeolla menatap ke arah Norman yang memajukan dirinya untuk menutupi Azazel yang sedang diobati Raven di belakang. "Kau menikmati penderitaan gadis yang kau sukai, kan? Aku pikir kau menyukai Max, rupanya ada seorang penyihir bodoh yang sedang kau incar. Sebagai pemeran antagonis dalam hidup seseorang, bukankah kita harusnya berdiri di pihak yang sama?"

Norman tidak terkejut kala mendengar kalimat jika dirinya terlihat menyukai Max, semua orang di sekolah sepertinya setuju akan mitos jika dirinya menyukai Max. Dia lebih terkejut dengan pernyataan jika, Selena menderita? Karena apa? Norman mencubit dirinya sendiri cukup keras, tidak ingin begitu terpengaruh akan perkataan Jeolla.

"Ada apa? Mereka tidak memberitahumu?" Jeolla tertawa cukup keras sambil menepukkan kedua tangannya. Beralih menatap ke arah Selena. "Mereka tentu sudah memberitahumu, kan? Because it will be so funny, if you didn't know about the biggest reason that can make you die."

"Oh, boy. Don't you know that --"

"Selena akan mati karena kekuatanku."

Norman memotong ucapan Jeolla sebelum gurunya itu berhasil menyelesaikannya. Dirinya hanya menyimpulkan semuanya dengan cepat dan melihat reaksi yang ditunjukkan baik oleh Jeolla maupun Lena dan Raven, sepertinya dirinya benar. Ah, jadi itu alasannya.

Norman teringat saat dirinya yang terjebak diluar markas Raven. Ibunya justru memberi pertolongan secara tidak langsung untuk memikirkan Selena, tentu saja karena dirinya dapat mencuri kekuatan gadis itu. Pada akhirnya Selena akan mencari dirinya jika tidak ingin kekuatannya atau bahkan mungkin sisa kehidupannya habis.

Lena dan yang lainnya pergi ke Melbourne karena Selena. Bukan karena gadis itu peduli atau memiliki perasaan padanya, dia melakukannya karena dia tidak ingin mati. Semua yang Selena lakukan pada Norman semata-mata hanya karena dia tidak ingin mati diusia muda.

Turning the Page of Lullaby Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang