"Kita kesiangan Dev," keluh Zakky yang masih sibuk mengancingkan kemejanya.
"Saya tahu," jawab Devi yang sedang mengeringkan rambutnya dengan hair dryer.
"Ini gara-gara kamu."
"Apa? Gara-gara saya? Justru ini gara-gara Mas Zakky."
"Kamu juga ikut andil dalam kasus ini."
"Dasar, Mas Zakky ingin enaknya saja giliran kesiangan malah menyalahkan orang." Devi mulai jengkel dan menatap suaminya dengan tajam.
"Saya hanya bercanda." Zakky tersenyum untuk merubah kecanggungan yang malah jadi semakin kaku.
"Mas Zakky ini kebiasaan, kalau bercanda tidak lucu sama sekali, jadi saya tidak bisa membedakan kamu sedang bercanda atau serius."
Devi menaruh pengering rambut itu ke meja rias kemudian pergi ke bawah untuk sarapan, acara makan yang sebetulnya sudah sangat terlambat. Zakky yang juga sudah selesai berpakaian langsung mengekori istrinya yang masih dongkol itu.
"Ciieee... yang bangunnya kesiangan. Habis apa semalam?" goda Tomi yang sedang ngemil keripik kentang di ruang keluarga.
Wajah Devi langsung bersemu merah, dia memilih untuk memalingkan wajahnya dan langsung pergi ke arah meja makan. Kenapa bodyguardnya itu kepo sekali tentang masalah pribadi majikannya? Sepertinya itu sudah keluar dari kode etik pekerjaan.
"Kau ini ingin tahu saja urusan orang. Dasar jomblo," ketus Zakky.
"YA SAYA MEMANG JOMBLO. PUAS?" Tomi mulai kesal pada bos besar sekaligus temannya itu karena terus diledek dengan sebutan jomblo.
"Makanya cepat cari pasangan lagi agar tidak mengganggu hubungan orang lain."
"Malas ah, lebih seru menggoda kalian, apalagi sambil mengintip." Tomi kembali bersantai sambil menyuap keripik ke mulutnya.
"Apa kau bilang?" Zakky mulai melepas sepatu kulit yang dipakainya dan siap melempar Tomi yang sudah kelewat batas itu.
Dengan sigap Tomi menghindar sebelum sepatu kulit mahal itu sukses mendarat di anggota tubuhnya. Kedua majikan rumah ini rupanya sedang sensitif, padahal Tomi hanya bercanda dan tidak mungkin mengintip orang.
"Ampun Bos, saya hanya bercanda."
"AWAS KAU KALAU BENAR MENGINTIP AKAN SAYA POTONG LEHERMU, BIAR MATI SEKALIAN." Zakky semakin mencak-mencak.
"Sebelum diancam pun saya tidak berani mengintip apalagi diancam," ucap Tomi jujur.
Pertengkaran ini benar menguras emosi terutama Zakky yang berada di pihak yang tersudut. Daripada terus memperpanjang masalah, dia akhirnya memilih pergi ke meja makan, Devi bahkan sedang menyuap nasi terakhirnya disaat Zakky sampai kesana.
Zakky mulai menyendok nasi dan beberapa menu untuk dipindahkan kedalam piringnya. Devi tetap diam di posisinya untuk menemani suaminya makan. Suasana meja makan rasanya begitu senyap hanya diisi oleh suara sendok garpu yang beradu dengan piring, Zakky kembali menjadi pendiam.
"Mas Zakky?" tanya Devi untuk memastikan suaminya itu baik-baik saja.
"Hm?" deham Zakky tanpa menoleh sedikit pun pada istrinya.
Jika masih menjawab seperti itu maka bisa dipastikan bahwa suaminya masih marah. Devi menempelkan kepalanya ke meja makan. Dia sudah putus asa untuk mengharapkan Zakky bisa kembali berlaku normal, kecuali jika masalah kantor benar-benar selesai.
Kalau itu masalahnya maka Devi memilih pasrah dan tidak akan memaksa suaminya untuk bersikap perhatian seperti dulu, biarkan sifatnya kembali dengan sendirinya.
"Ayo kita berangkat ke kantor," ajak Zakky yang kini berdiri di samping tempat duduk istrinya.
"Sudah selesai sarapannya?"
"Saya jadi malas makan."
Devi menegakkan kepalanya, dia menarik napas dengan dalam. Tekadnya sudah sudah kuat untuk membantu menyelesaikan masalah kantor yang masih dia akui bukan kesalahannya. Dia akan membersihkan namanya dari segala tuduhan.
"Ayo! Jangan ragu seperti ini, tetaplah semangat untuk menghadapi hari baru," tutur Zakky sekali lagi sambil mengelus kepala Devi.
Sentuhan tangan suaminya itu terasa menghangatkan hati di tengah sikap dinginnya selama beberapa hari ini. Ini menjadi bukti walaupun Zakky masih marah dia akan tetap mendukung istrinya apapun keadaannya.
***
Ami langsung menghambur memeluk sahabatnya yang baru tiba di lantai sepuluh. Ami, Mbak Widia, Mas Candra, Hani, Aisha, dan Emma sejak pukul delapan pagi telah mempersiapkan sambutan ini. Mereka merasa sangat rindu pada wanita ini, ditambah lagi karena ruangan rawat Devi dijaga oleh seorang bodyguard yang tidak memperbolehkan mereka untuk menjenguk.
"Dev, aku khawatir sekali dengan kamu, tapi sekarang aku tenang." Ami merasakan lega yang luarbiasa ketika berada di pelukan Devi. Peristiwa yang menimpa sahabatnya beberapa waktu lalu membuat Ami trauma juga.
Devi jadi semakin merasa bersalah, seharusnya dia bisa menjaga dirinya sendiri dengan baik. Namun, sekarang dengan adanya Tomi di sisinya membuat Devi merasa aman dari segala marabahaya.
"Maafkan saya karena telah membuat kalian semua khawatir. Dan terima kasih juga atas sambutannya," ucap Devi tulus.
.
.
.
Sebagai upaya penyelesaian masalah yang sedang dihadapi oleh Devi, sekarang dia mencoba mencari office girl yang waktu seakan-akan membantunya membuat kopi. Namun, lagi-lagi office girl bernama Itun itu tidak ditemukan di pantry lantai manapun. Tak menyerah Devi kemudian bertanya pada bagian HRD.
"Office girl bernama Itun sudah resign sejak satu minggu lalu Mbak," ucap staff HRD.
"Apa? Kenapa dia resign?"
"Dia beralasan untuk pindah rumah Mbak."
"Apakah kamu tahu alamat barunya?"
"Sayangnya saya tidak tahu Mbak. Maaf."
Pindah rumah bisa jadi alasan yang tepat bagi Itun, sebab Devi tidak menemukan dia di kontrakannya. Ini membuat Devi kesal, kenapa office girl itu harus pindah di tengah masalah yang sedang membelit dirinya. Mana mungkin masalah ini akan selesai kalau saksi kuncinya malah menghilang.
"Siapa yang sedang kamu cari Bos?" tanya Tomi akhirnya membuka suara.
"Om tidak usah kepo. Lagipula sudah dengar sendiri kan apa yang saya tanyakan pada HRD, sejak awal Om sudah mengikuti kemana pun saya pergi."
"Kenapa sewot sekali sih? Saya kan hanya bertanya. Tadinya saya ingin menawarkan diri untuk membantu."
"Sudahlah Om tidak usah ikut campur. Ini urusan wanita."