LARA - 15. Miris

121 15 0
                                    

Jika dibandingkan, jujur saja masalahmu lebih rumit
Tingkat masalah selalu berimbang dengan kadar kesabaran
Tidak semua hati diciptakan sekuat yang kamu punya

Starla melangkahkan kakinya gontai. Wajahnya sendu. Matanya basah. Pipinya berair. Ia tak tahu lagi apa yang harus ia lakukan.

Hatinya sakit kala mengetahui Baranya berubah. 'Itu tadi pasti bukan Bara' pikirnya. Bara yang dulu adalah orang yang baik, peduli, dan tidak egois, tidak seperti tadi.

Perasaannya tak karu-karuan. Sakit dan hancur tak beraturan. Bara yang dulu suda mati. Sudah hilang. Kini hanya tinggal Starla. Starla dengan segala rasa perihnya, dengan masa lalu menyakitkannya. Dindingnya runtuh. Bara benar-benar sudah tak mencintainya. Kini Starla sendiri. Benar-benar sendiri.

Ia menyesal telah memenuhi permintaan Bara untuk menemuinya. Bahkan ia sudah berdandan sangat cantik, tapi apa? Yang terjadi malah perdebatan yang sama sekali tidak ia inginkan. Sungguh jauh dari ekespektasinya yang manis dan bahagia.

Ia berpikir terlalu jauh, tentang Bara yang putus dengan Hanum lalu mengajak Starla balikan. Heii! Tidak salah kan untuk berharap? Meskipun pada akhirnya harapan itulah yang membuat Starla semakin merutuki dirinya sendiri.

Starla berjalan di pinggir jalan sembari menunduk. Ia mengenakan tudung jaketnya agar tidak ada yang mengetahui siapa dirinya. Isakannya terdengar memilukan.

Sekarang, ia harus berjalan kaki sampai rumahnya. Ia lupa membawa ponsel ataupun uang sama sekali. Sial.

Lamunannya buyar kala sebuah mobil putih berhenti tepat disampingnya. Starla ikut berhenti. Ia hendak berlari, takut kalau pengemudi mobil itu ternyata ingin menculiknya kemudian menjual organ tubuhnya seperti yang ada di berita-berita.

"Star!" panggil pengemudi itu.

Starla menghentikan niatnya untuk berlari. Ia menoleh dengan ragu-ragu. Kepala seseorang menyembul dari dalam mobil.

"Kak Dera?" tanya Starla terkejut.

"Ayo masuk!" seru Dera.

Tanpa basa-basi, Starla masuk ke mobil Dera. Tidak peduli ia merepotkkan atau tidak. Intinya ia butuh tumpangan sekarang.

Di dalam mobil, Starla hanya diam. Tidak menangis seperti tadi atau bergurau seperti hari itu. Starla menatap Dera dari samping. Tidak ada kesan jahat disana. Bara benar-benar memfitnah sahabatnya sendiri.

"Kenapa lo masih ketemu dia?" tanya Dera membuka percakapan.

Starla tidak menjawab. Ia setia dengan mode silentnya.

"Hampir setiap hari gue mampir ke cafe. Dan hari ini, gue ngga sengaja liat lo berantem sama Bara. Bara itu ngga sebaik yang lo pikir, lo perlu tau itu," ucap Dera lagi. Starla masih diam.

"Lo tau apa yang lebih sakit dari ditinggalin karena dia selingkuh?" tanya Dera.

"Ditinggalin tanpa alesan yang jelas. Lo coba cari tahu alasannya. Alesannya ngga pernah masuk di akal, cuman karena dia ngga dapet restu dari orang tua. Dan saat lo tau alesanya, dia justru udah mati bunuh diri," Dera tersenyum kecut, namun tatapannya masih fokus pada jalanan, "miris kan?"

Starla menatap Dera lekat. Ada raut penyesalan disana.

"Gue tau lo sakit, gue tau rasanya. Tapi hidup terus berjalan, dan lo ngga mungkin berhenti, kecuali lo mati atau bunuh diri. Yang harus lo inget, lo juga berhak bahagia, dengan cara apa pun itu," ucap Dera memberi semangat.

××××

Sampai di rumah, Starla terus menerus memikirkan ucapan Bara maupun Dera, sahabat yang saling bertolak belakang.

Jadi, mana yang harus ia percaya sekarang? Bara, mantan kekasihnya. Atau Dera, yang entah siapanya.

Starla mengambil ponselnya di nakas, mensearch nama 'Violin terlintahh'. Starla menekan gambar telepon yang tertera di samping nama Vio.

Tak ada jawaban. Bahkan kali kelima ia mencoba, Vio tetap tidak mengangkatnya. Kemana gadis itu? Padahal Starla membutuhkan gadis itu sekarang.

Violin Terlintahh

Yo, gue butuh lo

Beberapa menit ia menunggu. Ia masih tidak mendapat jawaban dari Vio.

Mungkin ia akan begadang semalaman. Entah untuk menunggu jawaban dari Vio, atau untuk menenangkan pikirannya. Suara jangkrik dan hembusan angin malam membuatnya tenang dan berpikir jernih.

Lagipula, besok hari Minggu. Tidak perlu khawatir karena bangun kesiangan.

Starla merebah sambil mengerjapkan matanya berkali-kali, menandangi langit-langit kamarnya yang dipenuhi bintang-bintang bersinar. Ia lantas memejamkan matanya, mengingat saat ia memasang bintang-bintang itu berdua dengan Bara. Saat itu ia sangat bahagia. Sangat-sangat bahagia.

Ia butuh mamanya sekarang. Ia butuh pelukan. Ia butuh dikuatkan. Perlahan air mata mengalir dari sudut matanya. Ia rindu masa-masa itu. Meskipun mamanya tidak memberi kasih sayang sewajarnya, tapi ia masih memiliki Bara.

Tapi sekarang, Bara bukan lagi miliknya. Ia meraba lehernya, digenggamnya liontin berbentuk bintang di dadanya. Membayangkan dirinya tengah dikuatkan oleh Bara, meskipun pada kenyataannya, Baralah yang membuatnya jadi sesakit ini.

Tidak apa. Ini takdir. Meskipun ia belum sepenuhnya ikhlas melepas Bara, tapi ia yakin bisa.

××××

"Viooo... lo kemana aja sih?!" pekik Starla saat melihat Vio sudah stay ditempat duduknya.

Starla awalnya heran, tidak biasanya Vio berangkat pagi. Tapi ia sesegera mungkin tidak mempermasalahkannya. Ia khawatir ada apa-apa dengan sahabatnya. Bahkan Vio tidak membalas pesannya semenjak kemarin.

Vio tersentak ketika suara Starla menggelegar sampai sudut-sudut kelas. Ia tidak berbalik, ia justru malah menunduk dan membenamkan wajahnya diantara lipatan tangan di meja.

Hal itu membuat Starla semakin khawatir. Curiga juga. Starla setengah berlari ke arah Vio. Kenapa Vio tidak secerewet biasanya? pikirnya.

"Lo kenapa, Yo? Ada masalah? Cerita sama gue?" ucap Starla memborong pertanyaan.

Vio enggan menjawab. Gadis itu pura-pura tidak mendengar.

"Katanya kalo ada masalah harus cerita. Ada gue kok, meskipun gue ngga bisa ngasih saran, seenggaknya gue-" Starla tersentak saat Vio tiba-tiba memeluknya.

Starla membalas pelukan Vio. Ini gilirannya menguatkan gadis itu. Ia paham Vio sedang tidak baik-baik saja.

"Lo mau cerita?" tanya Starla lagi.

Vio menggelengkan kepalanya yang masih berada didekapan Starla. Starla semakin cemas. Mengapa Vio sampai tidak mau menceritakan masalahnya? Pasti ada masalah yang sangat berat sampai Vio tidak berani mengatakannya.

Beberapa menit setelahnya, Vio melepas pelukannya. Sekarang keheranan Starla berada di tingkat paling atas. Vio diam, Vio menangis, sekarang Vio memakai masker? Tidak salah sebenarnya, tapi Starla tahu Vio tidak suka mengenakan masker. Mengingat, itu pasti membuat sebagian wajah gadis itu berkeringat dan make upnya luntur.

"Ngga biasanya lo pake masker," sindir Starla.

"Gu ... gue ... gue ..." Vio menjeda ucapannya. Starla tahu sahabatnya itu tengah gugup, meskipun wajah Vio tertutup sebagian.

"Gue jerawatan, ini tuh kemaren gue nyoba skincare baru, tapi malah jerawatan. Kesel ngga sih?" ucap Vio.

Starla sedikit heran. Ia melayangkan pandangan penuh selidik pada Vio. Sementara Vio gemetaran dan membuang muka ke arah lain.

Starla tidak yakin pada pernyataan Vio. Starla tidak percaya Vio memeluknya dan menangis tiba-tiba hanya karena sebintik merah di wajah.

Tapi Starla juga tahu Vio tidak pernah berbohong padanya. Vio selalu jujur dan tidak pernah menutupi rahasia. Bahkan gadis itu juga sering bicara blak-blakan soal pakaian dalam. Jujur bukan?

Starla meyakinkan dirinya bahwa Vio berkata apa adanya.

Starla menangguk, "oh, gue kira ada apa-apa. Ya udah, nanti gue kasih krim anti jerawat," ucapnya.

Vio menghela nafas lega. Starla tidak sepintar yang ia kira.

Starlara [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang