Chapter 38

2K 210 19
                                    

Aku berjalan menyusuri setiap lorong kampus. Semua tumpukan buku yang tadi aku cari di perputakaan tertenteng ditanganku. Kelas telah usai namun tugas tidak pernah ada kata selesainya untukku. Berhenti tepat didepan kampus, mataku berputar mencari taxi yang lewat dijalanan ini. Dengan terpaksa aku tidak membawa kendaraan karena Niall memaksa ingin mengantarku dan ku harap sikap over protektifnya tidak akan muncul kembali setelah kejadian kemarin.

Sesekali aku melihat jam tanganku dan aku fikir aku telah berdiri dekitar sepuluh menit namun tak ada satu pun taxi yang melintas. Oh sial, berapa lama lagi aku harus menunggu seperti patung, belum lagi buku yang ada ditanganku ini begitu berat.

“Clarisa…”, suara itu tiba-tiba menganggetkanku. Bahuku ditepuk dan itu spontan membuatku menoleh ke belakang. Aku melihatnya lagi, seseorang yang begitu aku hindari untuk hari ini dan sialnya aku malah bertemu dengan Harry lagi.

Aku membalikan kembali tubuhku seolah tak ingin menatapnya ketika berbicara. Aku membalas dengan sebuah deheman kecil yang aku yakini dapat didengar olehnya. Harry merubah posisi menjadi berdiri sejajar disampingku, “Aku tahu aku salah. Tetapi kemarin aku memang terpengaruh dengan alkohol yang aku minum.”

“Aku tidak ingin tahu mengenai itu lagi. Itu urusanmu dan Losie, bukan urusanku.”

“Oke, aku sadar jika kemarin aku sempat mengusirmu lagi namun aku dalam keadaan tidak sadar penuh, Clar. Alkohol itu masih meracuniku.”

“Aku sudah katakan jika aku tidak peduli. Kau tidak perlu menjelaskan panjang lebar seperti itu karena percuma saja.”

Harry mendengus berat seperti menyerah meladeni semua ucapan ketus yang aku lontarkan padanya, “Baiklah, aku tidak akan membahasnya lagi. Ayah memintaku untuk mengajakmu ke rumah sakit. Kau mau menemaniku mengantar Ayah pulang?”

Aku masih diam dan berfikir. Tujuanku sedari tadi mencari taxi memang untuk mengantarku ke rumah sakit, tanpa Harry minta aku juga akan melakukannya. Ini demi Paman Derk bukan karena Harry, “Aku bisa menumpang taxi”

“Clar, lebih cepat itu lebih baik. Tidak baik mengulur-ulur waktu”

“Jika kau ingin pergi, kau duluan saja. Aku bisa menyusul nanti”

Harry tak menggubris ucapanku. Dengan akal piciknya, dia langsung menarih tanganku dan menariknya sehingga tubuhku ikut tertarik sesuai arah geraknya. Aku tidak bisa memberontkan karena Harry menautkan jemarinya pada jemariku. Menggenggamnya erat sehingga aku sulit untuk melepaskan.

“Aku tidak mau pergi bersamamu, Harry. Lepaskan!”

“Jangan banyak bicara,Clar”

Dengan satu dorongan pada lenganku, dia berhasil membawaku masuk kedalam kursi penumpang dimobilnya. Dia langsung menutup pintu rapat-rapat setelah dia duduk dikursi kemudi. Aku mendengus kesal, aku tidak bisa merengek untuk minta turun.

Sunyi selama perjalan, tidak ada satu pun dari kami yang membuka mulut. Aku sibuk menyaksikan aktivitas orang-orang dijalanan sedangkan Harry, aku tidak tahu karena sedari tadi aku tidak meliriknya sama sekali. Namun aku dengar beberapa kali dia seperti ingin membuka mulut namun akhirnya dia mengurungkan kembali niatnya.

“Clar, apa kau benar-benar marah padaku?” tanyanya dengan nada yang sengaja dibuat rendah. Namun aku tidak akan tertipu pada aktingnya yang bak pemain film papan atas itu.

“Jangan banyak bertanya”

“Kau pernah bilang jika kau tidak suka kesunyian”

“Itu dulu berbeda dengan sekarang”

Harry menghela nafanya kembali, “Oke aku minta maaf”

“Aku tidak butuh maaf, kau tidak salah apa-apa” jawabku. Dan setelah itu Harry kudengar Harry memukul stir mobilnya dan aku tidak peduli.

Kamu akan menyukai ini

          

Mobil Harry akhirnya terparkir didepan Hopplims Hospital. Itu membuatku bernafas lega karena aku keluar dari jebakan mautnya. Dengan cepat aku langsung melepas sabuk pengaman lalu membuka pintu, tidak lagi menunggu Harry yang melakukannya padaku seperti biasa.

“Clarisa tunggu.” teriaknya lagi, membuatku menghentikan langkahku sebentar didepan pintu utama rumah sakit.

Langkah Harry seperti berlari menyusulku dan dia berhasil berdiri disampingku, “Kau meninggalkanku, kau cepat sekali berjalan”

“Tidak ada gunanya juga aku menunggumu”

“Clar, lupakan semua masalah kita. Kita datang kesini untuk menjemput Ayah pulang, aku tidak ingin melihat keadaannya memburuk ketika dia melihat kita seperti ini. Kau yang memintaku menjadi anak yang baik, Clar”

“Sekarang apapun yang mau kau lakukan bukan urusanku lagi. Lakukan hal sesuka hatimu dan jangan berpanutan pada perintahku lagi. Aku tidak akan mengaturmu lagi, kau bebas menjadi dirimu sendiri”

Aku melangkah masuk meningalkannya. Hatiku serasa kembali sesak mngingat kejadian apa yang aku lihat kemarin malam. Dan aku fikir apa yang aku ucapkan ada benarnya, aku tidak akan lagi mengaturnya, dia bisa menjadi Harry yang liar lagi.

Aku membuka pintu, melihat Paman Derk yang sedang berusaha duduk diatas kursi rodanya dibantu oleh seorang perawat. Aku tersenyum menatapnya, keadaannya sudah membaik dan aku merasa bebanku sedikit hilang. Dia menengok ke belakang ketika menyadari jika aku berdiri diambang pintu.

“Paman sudah sembuh dan sehat. Aku senang melihatnya”, aku berlari kearahnya lalu memeluknya yang duduk diatas kursi roda sebenatar.

“Semua juga berkat bantuanmu, Risa. Terimakasi banyak” balasnya.

Aku tersenyum sambil mengangguk. Seorang perawat yang tadi membantunya pun keluar setelah mengetahui jika keluarga dari pasien telah datang.

“Harry kamu masih mau menjemput Ayah, Nak” kata Paman Derk seperti tak percaya. Aku menengok ke belakang mendapati Harry yang sedang menutup pintu ruangan ini. Dia menatapku dan dengan cepat aku membuang pandanganku darinya.

Harry melangkah mendekatiku yang tengah memegangi kursi roda Ayahnya, “Apa semua barang-barang Ayah sudah dirapikan?”

“Sudah. Tadi ada seorang perawat yang membantu Ayah membereskan semunya sebelum kalian datang kemari”

Setelahnya sudut mataku mendapati Harry yang tengah mengambil semua tas yang berjejer diatas lantai, yang kufikir itu semua adalah barang-barang milik Paman Derk. Dia tampak masih ingin bersikap cuek pada Ayahnya namun dibalik itu aku bisa melihat kepeduliannya. Bahkan dia mau membawa semua barang-barang milik Paman Derk yang berat ini.

“Harry…” suara Paman Derk yang memanggilnya membuat Harry langsung menongak kebelakang. Dan itu membuatku membuang tatapanku karena tanpa disadari sejak tadi aku terus memperhatikannya.

Harry berjalan mendekati kami lagi, lalu dia menjongkok tepat didepan kursi roda Paman Derk, “Ada apa?”

“Ayah ingin meminta maaf karena kejadian kemarin. Seharusnya Ayah tidak perlu memintamu menjadi orang lain. Kau adalah satu-satunya anak terbaik yang pernah Ayah miliki. Maafkan Ayah, Harry”

Paman Derk menarik Harry kedalam pelukannya. Aku mendongak kebawah memperhatikan keharmonisan diantara seorang anak dengan Ayahnya. Sesekali aku membuang pandangan ketika Harry benar-benar memergokiku memperhatikannya.

Aku merasa sebuah sentuhan pada tanganku yang memegangi besi kursi roda. Aku mendapati Paman Derk yang menggenggam tanganku. Sial, mengapa aku berharap jika Harry yang melakukannya?

SincereTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang