Bismillah
.
.
.
.Dijalan hanya mereka berdua, samping kanan dan kiri hanya ada pesawahan yang luas. Ali mengerem motornya secara tiba-tiba, membuat Aliyya memeluk badan Ali dengan kencang.
"Ali!! Awas!!!"
Meongg.
Ali menghembuskan napas lega dengan membuka helm yang ia pakai setelah motor yang ia kendarai hampir menabrak kucing, memang jalan sangat sepi motor apalagi mobil. Aliyya masih terdiam seraya berdoa agar baik-baik saja.
"Kucheng brengsek!!" kalimat itu keluar begitu saja.
"Ali! Gaboleh, kucing juga makhluk Allah, kalo Ali benci kucing berarti Ali juga benci yang menciptakannya!" tegas Aliyya.
"Iya, maaf!!" kata Ali, lalu ia pakai helm yang tadi dilepas dan melanjutkan perjalanan.
"Apapun alasannya, mau sepi atau rame tetap pasang konsentrasi, karena kita tidak tahu ada apalagi nanti didepan. Jadi, jangan ngebut, pelan-pelan asal selamat."
Ali hanya terdiam, sepertinya ia paham apa yang dikatakan oleh Aliyya. "Iya, Al." Ali mengusap-usap lutut Aliyya, sambungnya. "Jika kamu yang bilang, gua nurut."
Aliyya tersenyum dan terlihat dari kaca spion oleh Ali. "Kenapa lu senyum-senyum?!"
"Kata siapa? Orang geli!" kata Aliyya lalu melepaskan tangan Ali yang tengah berada lututnya.
"Bilang dong, kalo lu bener suka ama gua!" kata Ali mulai membuka topik.
"Hah? Apa?!" tanya Aliyya heran.
Sebelum berkata, Ali tertawa kencang lalu. "Bilang aja, apa susahnya! Gausah pake media untuk mengungkapkan bahwa Lu suka ama gua! Ini orangnya tepat berada didepan Lu!"
Aliyya semakin terpojok, ntah ini awal kebaikkan atau akhir dari segalanya.
"Masih mau diem aja?" tanya Ali, lalu. "Yauda gapapa kalo malu, karena gua yakin, pasti Lu ngerasain hal yang sama!!"
Aliyya hanya tersenyum, jika saja yang didepannya adalah seseorang yang halal baginya, ia ingin memeluknya erat dari belakang.
Ali tertawa bahagia. "Jangan berhenti tersenyum, hanya gua yang bisa dan dapat membuat lu bahagia."
Aliyya memulai, karena ia khawatir jam masuk sekolah terlewat, "Ali?! Rumahnya masih jauh?!!"
"Ini." Ali membelokkan motor lalu memarkirkannya didepan rumah mewah seperti istana.
Aliyya menelan saliva dan matanya tertuju pada rumah yang berlantai tiga lengkap dengan cat putih, dan taman yang luas berwarna hijau pekat.
"Ayo, turun!"
"I-ini, rumah Ali?!"
"BUKAN!!"
"Hah?! Terus ngapain disini?! Jangan becanda, cepet kita kerumah kamu, Ali, nanti ke sekolah telat lagian!!" kata Aliyya yang masih duduk di motor.
"Udah pulang? Cepet ganti baju, nanti telat!" kata Jamilah saat keluar dari rumah megah tersebut, dan menghampiri mereka.
Aliyya masih terdiam dan mematung.
"Ini buka rumah gua, tapi rumah mama dan papa gua!" kata Ali lalu membuka pintu rumahnya.
"Ayo, katanya mau ngeprint, sambil nunggu Ali ganti baju," ajak Jamilah kepada Aliyya.
Aliyya masih melonggo, dan duduk disofa empuk nan mewah yang seperti kasur berukuran jumbo.
"Mbok Juju, mana kertas yang tadi saya suruh?!" tanya Jamilah pada salah satu asistennya.
"Iya, sebentar," kata Juju, lalu ia mendekati Jamilah. "Ini Nyonya."
"Terimakasih, Mbok."
"Kembali kasih, Nyonya," balas Juju lalu pergi meninggalkan mereka.
Ternyata file yang semalam dikerjakan oleh Ali dan Aliyya sudah di print, lalu dikirim oleh Ali pada pagi tadi kepada Jamilah.
"Ma, kita berangkat dulu! Ohiya, si Dera mana??" kata Ali yang turun dari lantai dua dengan tas yang ia pegang, dan dasi yang sedang ia kenakan.
"Iya, hati-hati! Udah berangkat dari tadi, katanya ada sedikit urusan."
Ali mengangguk sedangkan Aliyya hanya terdiam, lalu berpamitan pada Jamilah.
"Gimana? Cepet kan gua?!" kata Ali yang mendekati Aliyya.
"Terserah, cepetan! Nanti telat!!"
"AL?!!" panggil Jamilah saat Ali dan Aliyya menaiki motor, sontak mereka berdua terpanggil.
"M-maksud Mamah, Ali--Lliyah. Aduh!"
Mereka tertawa bersama.
"Namanya mirip! Jadi, Mamah bingung," tanpa pikir panjang. "Oke! Mulai hari ini, kalo Mamah ketemu kalian berdua dan posisinya barengan nanti Mamah panggil Ali dengan Kayang dan Aliyya jadi Decin."
Ali tertawa lepas sedangkan Aliyya masih bertanya-tanya pada dirinya.
"Kayang? Decin?" tanya Ali heran kepada Jamilah, sedangkan Jamilah tersenyum senang.
"Iya, Kayang untuk Kakak tersayang dan Decin untuk Adek tercinta. Gimana? Baguskan?!"
Aliyya mulai menunjukkan gigi rapihnya tersebut, Ali sudah lebih dahulu tertawa dari tadi.
"Terserah Mamacdeh, Ali sama Aliyya setuju setuju saja," jawab Ali. Lanjutnya. "Gimana Al? Eh, Decin?!"
Aliyya tersenyum lalu hanya mengangguk.
Lalu mereka pergi berpamitan, karena sudah lumayan siang, setelah sampai di sekolah mereka berpisah.
Memang Aliyya siswi IPA sedangkan Ali siswa IPS. Jadi, sangat sulit untuk berkomunikasi, kecuali jika tentang organisasi. Memang siswa dan siswi teladan, itu kata guru yang mengajarnya.
"Oh, ini yang katanya ukhti?! Tapi, bisa-bisanya boncengan sama lelaki yang tidak halal baginya!!" celetuk Aniyya, setelah Ali meninggalkan Aliyya.
"Maaf, kakak harus pergi."
"Eitss, gak bisa gitu dong! Lu, sendiri yang bilang ke gua, pacaran, pegang tangan, maen ama cowok itu ...." Aniyya terdiam, lanjutnya. "DOSA!!"
"A-
Potong Aniyya. "Tapi, lu sendiri yang ngelakuinnya, apa itu buka senjata makan tuan?!"
Aniyya pergi sedangkan Aliyya masih berdiri tegak dan sesekali ia menunduk. Lalu Aliyya menuju kelasnya dengan tatapan kosong.
Ucapan yang dikatakan oleh adiknya itu ada benarnya, hati Aliyya sakit dan merasa gagal menjadi seorang wanita shalihah.
Beberapa waktu ini, Aliyya mendiamkan Ali. Sampai akhirnya mereka renggang. Ali yang sudah tidak peduli dengannya dan Aliyya yang tidak menjelaskan hanya mampu mendiamkan Ali.
"ALIYYA!!" panggil Ali melihat Aliyya berdiri di depan gerbang sekolah, ia harap Aliyya dapat menjawabnya. Karena setiap Ali berkata 'Decin' pasti Aliyya mengelak.
Tepat sasaran! Aliyya menoleh, "iya?"
Ali berlari dan mendekati Aliyya, belum saja sampai. "STOP!!" tolak Aliyya mentah-mentah.
Ali menyernyit, dan terhenti. "Kenapa?!" Beberapa hari ini, lu ngediemin gua?! Apa salah gua?"
Seseorang mendekati Aliyya dengan motor yang dikendarainya. "Mau pulang bareng?!" tanya seseorang lelaki dibalik helm tersebut.
"Iya, MAU!! Cepetan!!" Aliyya menekan perkatannya, lalu pergi bersama lelaki tersebut yang diketahui adalah seseorang yang dulu menemukan ponselnya di angkot.
"SIAL!!" ucap Ali tidak ikhlas dengan kepergian Aliyya.
"BRENGSEK!!" lanjutnya.
Aliyya bernapas lega. "Makasih, Bang Hanif."
Hanif masih tidak menyangka, mengapa Aliyya mau berboncengan dengannya, sedangkan yang ia tahu untuk duduk disampingya saja, Aliyya terus mencari alasan agar dapat pergi darinya.
"Abang ada titipan, jadi kita ke beli jus dulu," kata Hanif setelah mengiyakan ucapan Aliyya.
Lalu mereka duduk sambil menunggu jus yang sedang dipesan. Dan mereka duduk ditempat yang diduduki oleh Aliyya dan Jamilah. Aliyya sontak mengingatnya, dan tersenyum tipis.
"Kenapa, Dek?"
"Em, eh, iya. Gapapa, hehe."
Pikir Hanif, Aliyya sangat berperilaku aneh didepannya, sesekali Aliyya melirik kanan kiri, mungkin ada masalah dengan Ali, karena mejadian tadi. Hanif sangat yakin, bahwa mereka pasti dan akan berjodoh.
"Masih belum memberitahu? Yauda, gapapa. Abang gak maksa."
"Ini pesanannya," kata seorang pelayan.
"Lah, kok ada banyak? Padahal saya pesan cuma empat, loh."
Aliyya masih mematung seraya memikirkan Ali.
"Iya, ada amanah dari Bu Jamilah, jika Dek Aliyya datang kesini, berikan dia dua jus untuk Adek Aliyya dan Ibunya," singkat pelayan tersebut, membangunkan Aliyya.
Sambung pelayan tersebut. " Dan, setiap hari Dek Aliyya datang kesini! Atau dia menitipkan kepada temannya yang kesini."
HAh!
"S-saya baru pertama kali kesini lagi, loh," Aliyya heran.
"Nah, itu orangnya!"
.
.
.
.
BERSAMBUNG.