Kali ini, jok tengah hanya terisi oleh gue dan Dinda. Galang ngide, untuk duduk di jok belakang bersama koper Dinda. Tapi, bukan berarti Galang bisa lepas dari perjanjian kami semalam. Bahwa ia akan ikut bergantian menyetir.
Lagi, Mas Arga menjadi orang pertama yang menyetir. Setelah berpamitan dengan Kang Tisna—pemilik penginapan, sekaligus rekan Mario—perjalanan kami menuju Jogjakarta dimulai.
Alunan lagu Fast in My Car oleh Paramore mengambil alih keheningan di dalam mobil.“Ih, siapa, nih, yang dengar Paramore juga?” gue spontan bertanya.
“Gue,” jawab Mario.
Oh, wow. Ya, juga, sih. Gue kan tahu banget, genre lagunya Mas Arga, Galang, atau pun Dinda, itu berbeda banget sama lagu yang diputar sekarang. Ya pasti yang setel lagunya, si Mario.
“Lo suka juga, Ca?” Mario balik bertanya. Gue berdeham. “Suka lagu apa?”
“Still into You, sih. Lo apa?”
“Apa, ya? Seisi album Brand New Eyes gue suka,” jawab Mario sembari scrolling layar ponselnya.
Gue merespons dengan oh, lalu membiarkan lagu yang terputar mengisi kekosongan di dalam mobil. Setelahnya, gue menyibukkan diri dengan menggambar di tab. Galang di belakang, bermain gim online bersama Rian—sepertinya. Dinda melanjutkan rutinitas menonton drama Korea. Mas Arga menyetir dengan fokus. Mario bermain dengan ponselnya, dan mengobrol dengan Mas Arga.
Nggak.
Gue nggak lagi ngerjain tugas gambar.
Iseng-iseng aja. Gue emang sering banget gambar kalau lagi bingung mau apa. Makanya, barang kedua setelah kamera, yang selalu gue bawa itu tab. Sebelum punya tab ini, gue selalu bawa buku gambar dan pensil. Hahaha, nggak usah dibayangin.
Nggak begitu repot, sih, sebenarnya. Maksudnya, ya, cuma buku, sama pensil aja. Cuma kadang teman-teman gue pada bingung aja, kayak misalnya kalau gue lagi di kafe. Sembari nunggu makanannya datang, gue keluarin buku gambar ukuran A4 itu. Gambarnya nggak yang kompleks banget, sampai kayak detail, enggak. Yang gue lihat aja, gue gambar. Ada gelas di depan mata, ya itu yang gue gambar. Ada sepatu, ya itu juga yang gue gambar.
Gabut, ya?
Tapi, gue ngelakuin ini sudah dari gue kecil. Jadi, terbiasa aja, sih.
Kali ini gue coba melukiskan apa yang gue lihat tadi pagi. Pemandangan indah yang gue dapat pagi ini.
Satu notifikasi muncul, ketika gue mulai memilih warna.
Mario is starting to follow you.
Gue tatap laki-laki yang duduk di serong kiri depan gue. Dia nggak tahu. Dia anteng-anteng aja. Gue pun demikian.
Ya, sudah lah.
Followed.
***
Pemberhentian pertama. Pom bensin, lagi.
Sudah tiga jam perjalanan, ini adalah pemberhentian kita. Sembari beristirahat sebentar, merilekskan kaki. Kita baru sampai di daerah Ciamis, kata Mas Arga. Semua orang keluar dari mobil, kecuali Mas Arga yang langsung meluruskan pinggangnya dengan menurunkan senderan joknya.Gue ke toilet bersama Dinda. Kali ini, nggak cuma Dinda yang mau buang air kecil. Gue juga. Jadi, gue ikut.
“Eh, lo habis nangis, Din?” tanya gue, setelah gue notis kalau ternyata mata Dinda sembab.
“Hmm… sedih banget dramanya, Ca. Asli. Nggak bisa banget gue tonton itu, setiap episode pasti seru.”
“Ye, gue kira lo kenapa.”
“Ca, habis ini ke mini market, yuk. Gue mau beli roti.”
“Roti?”
“Iya?” Hening. Gue diam karena harusnya Dinda melanjutkan kalimatnya. “Roti beneran!”
“Oh.”
Dinda touch up dandannya sedikit. Lalu menyemprotkan parfum, baru lah kita pergi dari toilet.
Kita berbelok ke kanan. Melewati mobil Mas Arga yang terparkir. Dari kaca depan, hanya terlihat Galang duduk di belakang stir dan Mas Arga yang ada di posisi Galang sebelumnya. Oh, berarti habis ini Galang yang mengemudi.
Dinda membuka pintu mini market, dan sambutan angin sejuk dari penyejuk ruangan langsung menyeruak. Dinda lapar, katanya. Tanpa menghiraukan gue, dia langsung menuju rak roti-roti.
Satu lagu sedang diputar di mini market ini. Duh. Gue ingat liriknya, tapi lupa judulnya.
“Duh, apa, ya, judulnya?” kesal sendiri.
“Dive, Ed Sheeran.” Ternyata, dari rak seberang ada Mario. Sedang memilih snack manis. Tapi, matanya nggak tatap gue. Dia ngomong sama siapa? “Lah, elo. Gue kira siapa.”
Gue masih diam.
“Itu tadi judulnya Dive. Lagunya Ed Sheeran.”
“Oh iya, ya. Lupa.”
Mario berjinjit, mencoba menemukan apa yang sedang gue beli. “Beli mie instan?”
Bingung. Gue lihat rak yang ada di depan gue, ah iya. Kenapa gue di rak mie instan? “Nggak. Temanin Dinda beli roti.”
“Oh. Tapi kalau lo mau beli mie instan cup, bisa di seduh, Ca. Di sana ada air panasnya.”
“Oh... Sekalian kali beli buat Mas Arga sama Galang, deh, kalau gitu.”
“Ini udah ada di keranjang gue, kok. Tinggal di bayar, terus diseduh nanti.”
“Oh, ya, udah kalau gitu gue bantu aja sini bawa mienya. Nggak mungkin juga lo bawa tiga cup mie sendirian.”
“Ambil satu lagi deh, Ca, tolong.” Mendengar itu, gue langsung menunduk mengambil satu cup mie instan. Mario mengambilnya dari tangan gue, “lo makan mie instan, kan?”
***
Dinda tidak mau memakan mie instan. Katanya, lagi pengin roti isi selai cokelat. Jadi, lah, cuma gue, Mas Arga, Mario, dan Galang yang makan mie. Kali ini, Dinda meminta untuk duduk di depan. Mau mengawasi Galang, supaya nggak mengantuk saat menyetir, katanya. Jadi, Mario pindah ke jok tengah. Dan Mas Arga di belakang, tempat awal Galang.
Mobil belum mulai jalan. Kita masih menghabiskan mie, dan Dinda masih menghabiskan rotinya.
“Yang habis terakhir, buang sampah, ya,” ucap Mas Arga. Seketika, semua orang berlomba-lomba untuk menghabiskan makanannya lebih dulu. “Gue sudah habis!”
“Gue habis!” ucap Galang.
“Gue habis juga!” Gue dan Dinda menghabiskan makan bersamaan.
“Yah, kalah lo, Mar,” ledek Mas Arga pada Mario yang masih menyuapkan makanan.
“Biar seneng aja, gue ngalah.”
Semua tertawa.
Detik selanjutnya, Mas Arga bilang, bahwa memang Mario nggak bisa makan cepat. Makanya, kalau lagi istirahat jam makan siang, dia suka terlambat buat balik ke kantor. Bayangin, deh, selama apa itu makannya?
“Makannya dihayati ya, Bang Mario?” tanya Galang.
“Dinikmati, Lang.”
Lagi, semuanya tertawa.
“Kalau makan mie?” Gantian, kini Dinda yang bertanya.
“Sampai lurus mienya,” sambung Mas Arga.
Mario tidak menjawab karena ia sedang menyeruput kuah mienya. Setelahnya, laki-laki itu menepati janji untuk membuang sampah. Sampah yang dibuang sebenarnya tak hanya sampah makanan sekarang saja, tetapi sampah makanan ringan selama perjalanan tadi.
“Habis ini carpool, yuk?”

KAMU SEDANG MEMBACA
Road Trip
Teen FictionIseng-iseng nulis cerita. Dapat banyak kejadian yang ternyata di luar dugaan gue. Cerita ini banyak banget isinya. Semuanya gue tulis menurut sudut pandang gue, ya. Jadi, kemungkinan ada beberapa kejadian yang gue ceritakan dengan subjektif. Gue ngg...