[Spin off Senja Assyifa]
"Lo cantik dan lo juga baik. Tapi tetep gue nggak bisa terima lo apalagi suka. Gue nggak ada niatan. Kita nikah cuma sebatas status."
Naila Bilqis Al-Madinah. Gadis bermata sendu yang mengidap penyakit mental illnes. Begitu...
¡Ay! Esta imagen no sigue nuestras pautas de contenido. Para continuar la publicación, intente quitarla o subir otra.
Aku adalah warna hitam dan kamu adalah warna putih. Percuma saja, jika disatukan tidak akan menjadi warna baru yang indah. Hanya, abu-abu yang samar.
—SENDU.
¡Ay! Esta imagen no sigue nuestras pautas de contenido. Para continuar la publicación, intente quitarla o subir otra.
"Ayo, kak, sesuap lagi deh.." bujuk Naila dengan mengangkat garpu penuh mie ayam.
Zein menoleh pasrah melihat Naila. "Nggak. Gue udah kenyang, budek lo?" ia memalingkan pandangan lagi melihat televisi.
"Yah! sia-sia dong, Nai, masak kalau semua makanan nggak habis mulu." keluh Naila membereskan mangkuknya dengan wajah melas.
"Urusan lo. Bukannya lo buang makanan terus? kan setiap hari masak buat gue tapi nggak pernah gue sentuh."
Naila mengangguk pelan sembari menatap muka Zein dari samping. "Iya udah biasa, sih, mangkannya kali ini aja habisin, kak."
"Maksa? orang nggak mau yaudah, jangan pasang muka melas gitu. Lo kira gue kasihan? enggak, makin males lihatnya."
Naila menghela nafas gusar, Zein selalu saja mengambil hati alias baperan jika bersamanya. Sedangkan 2 hari lalu Zhela dan Dito kemari lagi setelah pulang dari Kafe. Dan mengajak Zein bercanda sampai bicara frontal tentang dirinya, meskipun diselingi dengan amarah Zhela tetap saja Zein tidak marah. Hanya tersenyum atau tertawa terbahak-bahak. Naila hanya diam menahan berhari-hari yang lalu Zein selalu seperti ini.
"Gue cuma mau ngehargai lo. Kalau nggak mau juga gapapa. buang aja!" ketusnya tanpa melihat ke arah Naila sembari meraih botol plastik disamping kursi rodanya, dan meminum secara bruntal. "Ini murni karena lo maksa bukan karena gue doyan—" Hap! Satu suapan berhasil masuk tanpa permisi di mulut Zein.
Ia menatap Naila dengan tatapan tajam, dan mengunyah masakan olahan Naila yang memang sangat enak. Sudah 3 hari seperti ini sebenarnya Zein suka dengan masakan Naila. Sama, seperti masakan Mamanya meskipun umur Naila justru masih terbilang muda. Tetapi masakannya tidak di ragukan.
Setelah menyuapi Zein, Naila kembali menunduk membaca bukunya yang tebal. Setiap hari sejak merawat dirinya, Naila selalu belajar dan membaca. Entah, gadis ini sepertinya sangat senang membaca.
"Lo nggak capek pantengin buku mulu?"
Naila yang awalnya menunduk membaca ratusan lembar kertas tebal yang membentuk buku dengan cover hitam itu mendongkak menatap Zein. "Enggak. Naila besok harus sidang skripsi, kak, jadi harus banget belajar." Ujarnya lalu melanjutkan membaca.
"Lo pasti cuma ngebaca tapi nggak memahami ya kan?" Zein tertawa remeh sembari mengganti channel televisi didepannya.
"Enak aja. Ya, dipahami, kak, sia-sia jadinya kalau cuma baca. Tapi percaya nggak percaya kalau membaca pasti paham meskipun dikit.."
"Oh ya? Coba siniin buku lo, gue tanya materi seputar itu." Alis Zein terangkat menantang Naila, tangannya terulur meminta buku tebal itu.
Naila tidak takut ia menerima tantangan Zein. Buku besar itu ditutup dengan keras hingga terdengar suara.
Buk!
Karena terlalu semangat menerima tantangan Zein yang ia anggap bisa meningkatkan otaknya untuk lebih berpikir kritis. Zein adalah salah satu mahasiswa yang mempunyai pemikiran kritis dulunya. Siapa yang tidak kenal Zein? Ketua dari berbagai event kampus yang sangat dipercaya.
Saat pertanyaan diajukan oleh Zein pada Naila. Gadis ini selalu bisa menjawab pertanyaan dari Zein tanpa berpikir panjang dan durasi untuk berpikir hanya beberapa menit tidak lebih dari 5 menit. Seakan-akan jawabannya sudah menempel erat di luar kepala Naila. Ada rasa senang terbesit pada hati Zein ternyata gadis di depannya adalah gadis pandai yang tidak memikirkan kecantikan atau apapun tentang dunia. Tapi juga ada perasaan kesal sedari tadi belum selesai membacakan soal tetapi raut wajah Naila sudah tersenyum mendengar soal itu. Seperti bisa tertebak soal dari Zein.
"Oke cukup. Lo cuma beruntung aja bukan hebat. Gue nggak mau kasih soal yang sudah males mikir cuma demi lo!" ujar Zein menutup buku itu dan menaruhnya di sofa yang diduduki Naila. Pasalnya Lelaki ini masih menggunakan kursi roda sampai jahitan pada kakinya kering.
Bukan tersinggung Naila justru terkekeh. "Iya iya. Jangan dipuji itu justru nggak baik."
"Berarti lo suka dihujat dong?" sindir Zein.
Orang yang bangga atau suka dipuji-puji mudah sekali terkena penyakit hati; sombong, congkak, riya, dan membanggakan diri sendiri. Di samping dikutuk Allah--karena mengidap sifat-sifat setan--sesungguhnya mereka termasuk orang yang dungu. Sudah sombong, riya, dan membanggakan diri, mau pula membiarkan lehernya dipotong orang lain.
Begitu buruk dan seriusnya akibat penyakit hati yang disebabkan oleh pujian, sampai-sampai dalam kitab Al-Arba'in fi Ushul ad-Dien Ghazali mengutip peringatan Rasulullah, ''Jika seseorang berjalan kepada orang lain membawa sebilah pisau tajam, maka itu lebih baik daripada dia memuji seseorang di depan hidung orang tersebut.'' Dalam ungkapan sehari-hari, sabda Nabi itu bisa diterjemahkan, ''Lebih baik kau ancam aku dengan pisau daripada kau bunuh aku dengan pujianmu.''
"Ya, enggak juga sih, tapi banyak pujian bisa bikin hati keras kayak batu. Jadi besar kepala dan jauh dari Allah." Naila membereskan buku-bukunya dan menaruh pada rak berwarna putih abu-abu disudut rumahnya.
Jawaban Naila selalu membuat hati Zein puas. Wanita sholehah, memiliki pemikiran dewasa, wawasan luas dan sangat kritis seperti Naila adalah termasuk kriteria istri idaman Zein. Entahlah perasaan Zein tidak bisa mencintai Naila.
"Gue ngantuk." ujar Zein berusaha menjalankan kursi rodanya. Karena luka di tangan Zein sudah mengering dan lumayan bisa digunakan untuk mendorong kursi rodanya.