Cerita 4: Happiness is on Sale

14 0 0
                                    

Mereka bilang, "uang dapat membeli segalanya kecuali kebahagiaan

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Mereka bilang, "uang dapat membeli segalanya kecuali kebahagiaan."

Aku tidak sependapat. Maksudku, pernyataan itu tidak sepenuhnya salah, hanya saja untuk sesuatu dapat dibeli, harus ada seseorang yang menjualnya. Bagaimana orang-orang akan dapat membeli kebahagiaan kalau tidak ada yang menjualnya? Kalau ada yang menjualnya, sudah dapat dipastikan akan ada yang membeli. Dan pasti laku keras!

Aku sudah membuktikannya sendiri.

Ah, tidak, tidak. Maksudku, aku bukan pembeli kebahagiaan. Aku adalah penjualnya!

Entah sejak kapan aku memiliki kekuatan itu, aku tidak tahu persisnya. Hanya saja aku baru menyadarinya ketika aku berusia tujuh tahun. Secara teknis, dapat dikatakan, aku memiliki kemampuan untuk mentransfer kebahagiaan dari dalam diriku kepada orang lain hanya melalui sentuhan. Semakin lama aku menyentuh orang-orang itu, semakin banyak kebahagiaan yang tertransfer. Dan tentu saja, hal itu berarti semakin banyak uang yang harus mereka transfer kepadaku!

"50.000 Rupiah, kan?" tanya seorang pria berusia sekitar empat puluhan, setengah botak, mengenakan jas dan pakaian rapi, khas orang-orang kantoran. "Yep!" jawabku singkat. Segera setelah pria itu menyerahkan selembar uang senilai 50.000 Rupiah, aku melepaskan sarung tanganku, dan menggenggam tangan pria itu selama 10 menit. Ya, aku mentransfer kebahagiaan itu dengan harga 5.000 Rupiah permenit!

Murah meriah. Semua orang bisa beli, sejumlah berapapun yang mereka inginkan. Atau sebanyak apa uang yang mereka punya.

Memasuki lima menit proses transfer, wajah pria paruh baya yang awalnya terlihat kuyu, tidak bersemangat dan seperti akan bunuh diri itu mulai tampak semakin cerah. Bahkan, ia yang sebelumnya berbicara kepadaku dengan wajah cemberut dan lemas, mulai menyunggingkan senyum lebar dan ia mulai banyak ngoceh.

"Pertama kali?" tanyaku pada pria paruh baya itu ketika proses transfer selesai dan aku kembali mengenakan sarung tanganku. Ya, aku harus pakai sarung tangan dong. Ya masa aku harus bagi-bagi kebahagiaan dengan gratis pada siapapun yang tak sengaja kusentuh!

"Y-Ya..." jawabnya agak terbata-bata karena terlalu bersemangat. "Kupikir temanku hanya beromong-kosong saja," katanya, "tapi, aku sudah merasa begitu muak dan tidak bahagia dengan hidupku, jadi kupikir, apa salahnya kucoba. Terimakasih ya!" Pria itu mengucapkan kata-kata terimakasihnya sambil berlalu dengan wajah yang berseri-seri cerah, seakan ia baru saja mendapatkan hal terbaik dalam hidupnya yang tak pernah ia bayangkan akan ia dapatkan. Kontras sekali dengan ketika ia pertama kali menghampiriku. Ia tampak seperti baru saja kehilangan segalanya.

Dari kekontrasan itu, kurasa sekarang kau bisa yakin bahwa berjualan kebahagiaan pasti akan laku keras. Semua pelangganku selalu melakukan repeat-order secara reguler. Hidup ini keras, bung! Penjual kebahagiaan adalah segalanya yang kau butuhkan!

"Kak Arun?" kata seorang pelayan kafe malam itu ketika aku duduk di salah satu kursi dan tengah asik dengan ponselku.

"Eh! Iya!" jawabku dengan agak terkejut. "Ini Ice Cappuchino. Dari Bu Yasmin. Ditraktir, katanya," kata pelayan kafe yang cantik dan berperawakan mungil itu lagi sambil satu tangannya meletakkan secangkir Ice Cappuchino di mejaku. Kutolehkan kepalaku ke arah meja bar di kafe itu. Dibaliknya, nampak sang pemilik kafe, seorang wanita berusia 36 atau 37, namun masih kelihatan cantik dan seksi.

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Aug 02, 2020 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

Time Traveling CityTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang