8. The Suicide Patient

2.8K 501 21
                                    

Radit berada didalam ruang kantor. Masih melakukan pengecekan profit and loss report dari Finance Managernya. Ponselnya berbunyi. Dia hanya melirik sekilas saja lalu kembali ke pekerjaannya. Stephanie masih selalu berusaha menghubunginya dengan berbagai cara. Tapi dia tidak perduli. Ya, hanya keledai bodoh yang jatuh di lubang dua kali kan? Lagipula buat apa pusing, dia bisa memilih wanita mana yang dia suka tanpa melibatkan jenis perasaan apapun lagi.

Pintunya diketuk.

"Masuk Lin."

"Pak, Ibu Stephanie ada di luar."

"Bilang saya tidak ada."

"Tapi Pak..."

"Minta security untuk antar dia keluar. Paham? Saya tidak mau diganggu."

Sudah hampir dua tahun berlalu sejak dia mengetahui kenyataan pahit itu. Bukan hanya dikhianati, dia dijadikan sebagai bahan taruhan. Luar biasa kan. Mungkin dia harus mencari wanita yang tidak berasal dari kalangannya lain kali. Karena sungguh tingkah laku Stephanie dan kawan-kawannya keterlaluan sekali.

Pintunya sudah dibuka kasar.

"Radit. Aku ingin bicara."

Dia sudah berdiri saja. Sedikit lelah sebenarnya.

"Maaf Pak." Ujar Lina panik karena gagal menghalau Stephani masuk.

"Tinggalkan kami Lin." Kemudian dia menatap wanita dihadapannya ini.

Sudah tidak ada apapun yang dia rasa. Bahkan benci itu hilang begitu saja. Wanita dihadapannya ini sudah bukan siapa-siapa. Luka hati memang hebat sekali. Bisa menghapus semua jenis perasaan yang dia punya sebelumnya.

"Apa uangnya sudah habis Stef?" Wajahnya datar sekali, tanpa ekspresi.

"Apa kamu benar-benar menikmati ini Radit? Menyiksaku seperti ini?" Wajah Stefi kacau sekali. Dia menangis diam-diam. Tapi apa perdulinya. Wanita ini rusak dan sudah merusaknya juga.

"Aku tidak merasakan apapun lagi. Bahkan untuk menikmati apapun yang harus aku nikmati."

"Bilang padaku apa yang harus aku lakukan Dit. Aku akan lakukan segalanya. Maafkan aku Radit. Aku benar-benar mencintaimu saja."

"Aku tidak Stef. Aku bahkan sudah lupa bagaimana bentuk perasaanku dulu padamu." Radit kembali duduk di kursinya. Menatap Stephanie dingin.

Tubuh wanita itu bergetar, dia menangis lagi dalam diam. "Apa aku sudah tidak ada harganya?"

"Mungkin ada untuk orang lain. Tapi bukan untukku." Radit menghela nafasnya saja. "Maaf Stef, jadwalku benar-benar padat. Kamu pasti tahu pintu keluarnya kan?" Mata Radit kembali ke laptopnya. Tangannya sudah bergerak-gerak disana.

Stephanie pergi tanpa mengucapkan apapun lagi. Semoga saja ini terakhir kalinya mereka bertemu.

***

Mereka berkumpul seperti biasa, di salah satu coffe shop langganan mereka. Minus Mareno pastinya. Sahabatnya yang satu itu masih di luar negri mengurus bisnis keluarganya.

"Kenapa kusut?" Tanya Arga padanya.

"Nggak ada apa-apa."

"Drama Stephanie lagi?"

"Sok tahu." Dia memang tidak bercerita dengan teman-temannya ini tentang apa yang sebenarnya terjadi pada hubungannya dengan Stefi. Yang teman-temannya tahu mereka sempat berhubungan lalu putus tanpa alasan. Itu saja.

"Siapa sih yang telpon?" Tanya Radit pada Tanan yang duduk diseberangnya dan baru saja menutup ponselnya.

"Orang Sanofa Tetra."

Distance (Side Story of LHSIB)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang