Hidden Assassin
Remake 2015
.
London
..
..
Deru kendaraan.
Helaan napas.
Kekeh bahagia.
Keluh kesah kepenatan.
Semuanya terdengar sangat jelas, pada pagi ketika sepasang kakinya melangkah damai di trotoar.
Sebuah apel merah di genggaman masih tersisa seperempat, sedangkan kotak susu di tangan yang lain telah kandas isinya. Angin dingin musim gugur meniup-niup kulit sampai membuat beberapa orang meremang. Dedaunan yang rontok dimasukkan ke dalam tempat sampah oleh beberapa lelaki berseragam.
Satu lagi pagi yang damai tanpa huru-hara.
Siklus hidupnya kini benar-benar sedang terlalu tenang. Masalah-masalah yang lalu seolah hanya mimpi semalam.
Betapa damai hari-harinya ketika memikirkan bahwa tak ada lagi seorang kakak pemarah yang selalu merecokinya, tidak ada pula seorang ibu sinting yang mencoba mengutak-atik jasmaninya seperti mainan bongkar pasang. Ia merasa merdeka sebagai manusia.
Hanya saja, kadang pada malam yang terlalu sunyi, wajah ayahnya berkelebat, membangunkan rindu yang selalu ia singkuri.
"Gekko! Selamat pagi."
Sudut bibirnya tertarik sedikit ke atas, tersenyum samar tanpa terlihat. Rasanya, segala kerinduannya pada sang ayah bukanlah perkara, karena tanpa ia minta, seorang malaikat telah bersedia tunduk di bawah kakinya.
"Hn, Alice."
.
The Hidden Assassin
2015 – 2016
.
Halaman buku yang dibuka satu demi satu, suara saling sapa yang terdengar di koridor, canda tawa para penggosip, para pemalas yang histeris karena belum mengerjakan pr, dan bahkan si murid teladan yang hanya diam belajar. Di sekolah manapun, akan sangat mudah menjumpai pagi yang seperti ini.
Lalu di sudut sana, tepat di meja depan paling ujung dekat pintu masuk, ada Gekko Hakai yang menghabiskan waktu luangnya di sekolah membaca buku sejarah. Rambut hitamnya lurus terurai, tampak lunglai menganak-pinak ke bahu dan punggunya.
Pagi ini pun, penampakannya selalu menimbulkan rasa tak nyaman. Kulit gadis itu selalu tampak sepucat mayat, bibirnya tak pernah tersenyum, dan mata bulatnya beriris sekelam obsidian. Ketika bicara, suaranya rendah dan dalam. Tak sedikit teman sekelas yang takut mendekatinya. Seolah-olah, gadis itu bisa memberi kutukan mematikan kapan saja.
"Gin! Sudah kubilang jangan berlari!" Suara gadis muda menggelegar memenuhi kelas. Napasnya terengah-engah, kedua tangan memegangi lutut, sedangkan matanya memandang nyalang pada pemuda yang dipanggilnya.
"Ha ha ha. Kau bilang ingin diet, 'kan? Ini cara terbaik untuk membakar kalori, Lizzy." Seorang pemuda pirang yang telah sampai lebih dulu, terbahak sangat puas. Tas yang dicangklong di sebelah bahu, kini diletakkan tanpa sungkan di atas meja Gekko.
Benar-benar mengganggu ketenangan.
Gekko sempat mengernyit, tapi pada akhirnya tidak mengatakan apa pun perihal kelakuan si pirang di depannya. Selembar halaman buku sejarah dibalik pelan.
"Wah! Si mayat Gekko sudah di kelas rupanya. Seperti biasa selalu jadi murid teladan, hm?" Gin, pemuda pirang yang kurang sopan itu, mengalihkan perhatiannya pada Gekko yang asik masyuk menekuni tiap kalimat di atas kertas. Mata hijaunya berkilat jenaka, seolah ingin menggoda Gekko dengan segala cara.
"Tentu saja dia akan datang pagi-pagi. Kalau datang kesiangan, bisa melepuh kulitnya kena sinar matahari." Gadis yang tadi mengomel-ngomel di depan pintu, kini ikut bergabung. Sebelah tangan menggandeng lengan kecoklatan Gin, tak sama sekali peduli bahwa orang yang digandengnya sedang penuh dengan peluh.
Namun, sesuatu yang tidak diduga terjadi. Tanpa peringatan, seorang gadis pirang lainnya datang dengan sebuah kebrutalan. Buku setebal 5cm di tangannya, dipukulkan ke belakang kepala Gin dan Lizzy. Sengaja dan sekuat tenaga. "Kalian berdua! Berhenti mengolok-olok Gekko!" hardiknya.
Tidak menyangka akan ada yang memukul tiba-tiba dari belakang, Gin dan Lizzy hanya mengaduh-aduh minta ampun. Meskipun ingin marah, tapi pada akhirnya tidak bisa. Rasanya tidak tega memarahi si pirang beriris biru yang wajah putihnya mulai terlihat kemerahan akibat kesal.
"Alice ... kenapa kau selalu tega pada kami." Gin mengeluh pilu.
"Kasih sayangmu tidak adil," sahut Lizzy muram.
Meskipun diberi wajah sedemikian memelas dari dua temannya, Alice mengabaikan. Matanya fokus pada satu orang yang selalu menjadi pusat perhatiannya. "Gekko, kau baik-baik saja?" tanyanya. Matanya terlihat khawatir, seperti mengkhawatirkan kucing kecil yang memelas di pinggir tong sampah.
Padahal Gekko tidak tampak seperti itu, tidak pernah tampak begitu. Memangnya siapa pula yang bisa merasa kasihan pada jelmaan mannequin gothic yang biasanya dipajang di etalase toko horror? Hanya maniak, hanya Alice.
"Hn." Seperti halnya Alice yang mengabaikan dua lainnya, Gekko pun tidak sungkan mengabaikan Alice. Selembar lagi kertas buku dibalik, entah mengapa kali ini ia menjadi kurang fokus.
Alice menghela napas. Meskipun diberi tanggapan dingin, tetapi ia merasa lega karena mengerti Gekko baik-baik saja. Dia kemudian duduk di kursinya yang memang ada di samping Gekko.
Si pasangan pirang pun duduk di kursi mereka sendiri-sendiri. Mereka menggerutu sambil mengelus-elus kepala hasil kebrutalan Alice di pagi hari.
"Gekko, Gekko. Mau dengar ceritaku?" Alice menyeret kursinya lebih dekat ke sebelah. Matanya berbinar-binar.
Usai mengembus napas pelan, Gekko akhirnya menutup bukunya. "Apa?" tanyanya pelan, mencoba memperhatikan Alice supaya yang bersangkutan tidak merasa selalu diabaikan.
"Lihat ini. Jeng jeng! Apa kau terkejut?" Alice memperlihatkan sebuah buku tebal yang sejak tadi didekap erat. Ia begitu gembira saat menunjukkan bukunya, mirip anak anjing yang menunggu diberi makan majikan. "Ini buku kumpulan mantra sihir baru!" lanjutnya lebih bersemangat.
"Hn. Lalu?"
"Kau tahu, aku mendapatkan buku ini dari gudang." Alice tersenyum-senyum senang, terlalu lebar. "Aku tidak menyangka kalau salah seorang keluargaku punya kegemaran sepertiku, he he he," tuturnya bangga seraya mendekap buku tersebut lebih erat.
"Baguslah. Setidaknya kau tidak gila sendirian."
Mendengar tanggapan Gekko, Alice mengembungkan pipinya. Wajah yang cerah mirip bidadari mulai tampak keruh, iris birunya terlihat kecewa. "Ugh, Gekko selalu jahat seperti biasa," keluhnya.
"Hn. Lalu, apa yang ingin kau lakukan dengan itu?"
Wajah muram Alice seketika terhapus, paras putih rupawan itu semakin bersinar ketika ia tersenyum. "Mempelajarinya, mungkin. Aku ingin mencoba beberapa mantra."