"Erghh ... nggak ada akhlak!" pekik Bila geram.
Dengan langkah besar Bila berjalan mendekat pada Thalita yang masih terduduk di tanah, berpandangan kosong. Gadis itu tampak seperti ingin menerkam Thalita. Sebelum cakaran tangan Bila mendarat di rambut Thalita, Bayu lebih dulu menariknya. Menjauhkan Bila dari sana, takut-takut jika hal tak mengenakkan kembali hadir.
"Lo nggak bisa gegabah, Bil. Kita masih butuh penjelasan dia," ucap Bayu agak keras.
"Tapi dia mau bunuh Ulfa, Bay. Ulfa! Lo nggak liat tadi, hah? Sekarang si Gerka itu aja gue nggak tau nasibnya gimana. Gitu-gitu lo masih mau belain dia. Di mana akal lo?"
"Denger gue. Kalau lo mau bunuh dia juga, apa lo nggak sama aja kayak dia? Pahamin dikit, Bil. Banyak yang harus ditanya secara baik-baik. Semuanya nggak harus pake cara kasar," tutur Bayu lantas melangkah kembali menuju Thalita.
Pemuda itu menuntun gadis yang seperti hidup tapi tak bernyawa itu menuju kursi panjang terdekat. Ia mendudukkan Thalita di sana. Sejenak ia menatap pisau penuh darah yang dipegang gadis itu. Lantas tak lama, pisau itu jatuh di bawah kakinya. Bayu hanya menatapnya saja.
"Sekarang bilang ... kenapa lo berniat bunuh Ulfa? Perasaan dia nggak nyenggol lo sama sekali, deh."
Bila yang baru saja sampai di depan Thalita, menghujami dengan tatapan tak suka sembari bersedekap. Bayu meliriknya sesaat kemudian menggeleng tak habis pikir.
Helaan napas panjang menguar. Gadis dengan rambut ikal itu menatap Bayu dan Bila bergantian kemudian mulai berkata. "Gue suka sama Bayu. Sedangkan Ulfa itu penghalang buat gue untuk deketin Bayu. Penghalang harus disingkirkan, kan?"
Plak!
Thalita memegang kirinya yang memanas akibat pendaratan mulus nan menyakitkan dari Bila. Gadis dengan rambut panjang terkuncir tinggi itu menatap Thalita nyalang.
"Kenapa?" Thalita membalas tatapan itu sambil terus memegangi pipinya. Panas itu masih menjalar. "Mama gue sendiri yang bilang kalau penghalang itu harus disingkirkan. Sampai papa pun dibunuh karena udah ngelarang dia buat masak udang teriyaki."
Kedua remaja di depannya tertegun. Bayu dan Bila sama-sama menelan salivanya kasar. Jadi Thalita ... meniru ibunya?
Thalita tertawa hambar. "Umur gue baru lima tahun waktu itu. Tapi ... dia bener-bener kasih gue pelajaran berharga. Penghalang harus hancur. Penyelesaian masalah hanya mati."
Matanya kembali penuh dengan kilatan dendam berapi-api. Akan tetapi, api itu dengan cepat mereda kala netra itu memandang kosong ke depan. Pandangannya berubah sayu seperti hendak mengeluarkan bulirnya.
"Gue sayang mama, tapi gue lebih sayang papa. Pikiran mengenai penghalang itu membuat gue kayak kerasukan. Nggak lama setelahnya, gue bunuh mama." Bulir air mata jatuh dari sudut matanya. Thalita menghapusnya kasar. "Gue memang bangsat banget. Tapi bagaimanapun juga, mama yang ngajarin. Ajaran orang tua itu nggak pernah salah, kan?"
Dia menatap kepada dua orang di depannya yang sudah kepalang tak habis pikir. Bagaimana bisa Thalita berpikiran seperti itu? Tak semua ajaran orang lain itu bisa dianggap sebagai pembenaran. Sepertinya kepala gadis itu telah terkontaminasi cukup banyak.
"Bukan gitu perspektifnya, Ta. Lo nggak bisa makan mentah-mentah apa yang lo lihat dan lo dengar. Semuanya harus disaring lagi," ucap Bayu pelan kemudian memegang pundak Thalita. "Walaupun udah remaja, seharusnya lo bisa berpikir, mana yang baik dan mana yang buruk. Kalau gini, bahkan pemikiran kecil lebih baik daripada pemikiran lo sekarang."
Air matanya tak lagi mengalir. Hanya ada jejaknya yang bahkan sudah terhapus sebagian. Thalita menunduk lagi. Ia sadar jika itu salah. Hanya saja, emosinya membawa pikirannya ke arah lain.
KAMU SEDANG MEMBACA
23.59 [ lengkap ]
RomanceKita hanya perlu menunggu. Karena pada dasarnya, waktu tak pernah mengkhianati sebuah penantian. [¤] Rasa terpendam untuk teman kecilnya membuat Ulfa menutup hati. Kepribadiannya berubah drastis akibat rindu yang tak terbendung. Namun, kedatangan pe...