Tentang Levant Elenio Devara, yang melemparkan payung. Si bos berhati es yang membenci semua orang, termasuk hidupnya sendiri.
Tentang Rintik Hafa, yang dilempari payung. Gadis yang mempertahankan hidup demi adiknya. Gadis yang mencintai hujan.
...
Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.
Pamer kecantikan Teteh dulu, haha~
***
Ia tidak terbiasa memeluk pria ini, apalagi pria-pria lainnya. Tapi sekarang, entah bagaimana, memeluk pria itu membuatnya merasa aman. Juga hangat. Memeluk pria itu seperti menghalangi tubuhnya dipeluki oleh udara dingin yang membuat persendian terasa ngilu.
Ia menguap sebanyak dua kali sepanjang perjalanan panjang dari Garut kembali ke Bandung. Sempat terlelap ketika tiba-tiba motor berguncang diiringi bunyi mencemaskan dari mesin motor, sebelum secara tiba-tiba berhenti total, memaksa Hafa untuk membentur punggung Levant.
"Kenapa?"
"Nggak tahu, mogok." Levant menstarter motor sekali, dua kali, sampai tiga, dan tidak berhasil. Ia pun turun, coba menstarter motor dengan manual, dan masih gagal. "Bensinnya masih penuh, mungkin mesinnya," gumam pria itu.
Hafa memperhatikan sekeliling. Mereka sudah sampai di Bandung, hanya berjarak sekitar satu atau dua kilometer lagi dari rumah. Motor itu ... benar-benar tidak bisa menunggu barang sepuluh menit lagi ya, untuk mogok?
Ia menatap Levant, sedikit horor ketika harus mengucapkan kalimat balasan. "Didorong aja, gimana? Dekat sini ada bengkel."
Orang seperti Levant pasti tidak pernah mendorong motor seumur hidupnya. Dan Hafa telah mempersiapkan diri untuk kabur kalau-kalau Levant mendampratnya atas usulan itu. Tetapi, hal itu tidak dilakukan. Nyatanya, Levant hanya mengangguk dan menuruti usulannya, mendorong motor. Begitu saja.
Hafa mengerjap. Lalu, mengiringi cowok itu, coba membantu dengan mendorong motor dari belakang.
"Bengkel lagi penuh, Pak. Kalau mau nunggu, palingan besok baru selesai. Sudah mau tutup soalnya." Itu yang dikatakan salah satu pegawai bengkel. Dan ini adalah bengkel ketiga yang mereka temukan setelah dua sebelumnya telah tutup. Ini sudah malam, tidak banyak bengkel buka sampai jam sekarang. Levant tidak punya pilihan lain, ia tidak bersedia mendorong motor itu lebih jauh.
Jadi ia mengambil tas bawaan, dan melangkah keluar.
"Mau kemana?" Hafa bertanya, tergopoh menyusul pria itu.
"Pulang lah. Kamu mau nginep di sini sampai motornya selesai?"
Nada sarkastik itu, Hafa mendengkus.
"Besok kita ambil. Teh Ayla pasti paham, kok," tambahnya, santai.
Lalu dengan santainya pula, meraih tangan Hafa untuk ia genggam.
"Pak, Pak, sebentar." Hafa berusaha keras menyamakan langkahnya dengan Levant. Tapi kaki pria itu terlalu panjang, langkahnya terlalu lebar, dan cepat. Dengan sepatu yang ia pakai, Hafa kesulitan. "Bisa jalan lebih pelan, nggak?" tanyanya panik, ia terpaksa mengambil dua atau tiga langkah setiap Levant mengambil satu.
Cerita yang dipromosikan
Kamu akan menyukai ini
Levant menoleh. Berdecak sesudahnya, melihat Hafa yang sebisa mungkin memperbaiki ikatan di belakang sepatunya sambil berjalan, kemudian dilanjut dengan kecerobohannya menjatuhkan tas selempang dari pundaknya. Terpaksa ia yang memungut tas itu selagi Hafa berkutat dengan sepatu. Tidak mengembalikan tas itu pada pemiliknya, Levant memilih menyandangnya bersama dengan tas berisi baju mereka yang basah. Berat sekali. Apa gadis itu memasukkan bata ke dalam tas?!
"Ayo," ujar Levant, mengulurkan tangan, berusaha menggenggam lagi jemari gadis itu yang sempat lepas beberapa saat lalu. Seolah, ia tidak bisa berjalan jika tidak bergandengan tangan. Namun alih-alih menyambut tangan Levant, Hafa hanya menyambang ujung tasnya yang Levant pakai dan berpegangan di situ.
"Ayo jalan," ucapnya, berencana memegangi ujung tas itu selamanya.
Beberapa saat sesudahnya, dalam jeda keheningan yang aneh, yang membuat jantung berdebar dan pipi memanas, Hafa menatap punggung pria itu. Rasanya ia sudah terlalu banyak menatap aspal di bawah sepatunya—ia tidak perlu memperhatikan jalan di depan, Levant adalah pemanunya, jadi ia mulai menatap lurus dan hanya bisa menemukan pria itu sebagai objek tatapan. Ia tampak begitu tampan bahkan hanya dari punggungnya saja. Pria seperti itu seharusnya memiliki banyak wanita di sampingnya. Pria seperti itu seharusnya hanya bermain-main sebentar dengan seorang gadis, sebelum berpindah pada gadis lainnya dalam waktu singkat. Benar, kan? Apakah pria di depannya ini termasuk dalam kategori brengsek macam itu? Ia memiliki modal wajah dan kekayaan yang lebih dari yang diinginkan. Dengan kata lain, ia sempurna.
Tapi kenapa... kenapa saat ini pria itu ada bersamanya? Kenapa di antara jutaan gadis cantik di seluruh Bandung, bahkan dunia, pria itu memilih berjalan bersamanya? Dan kenapa... kenapa ia senang pria itu berada dalam jarak berdekatan dengannya?
Mungkin ia harus menghukum diri untuk ini, ia harus menyadarkan otaknya dan mengubur perasaannya dalam-dalam. Satu perasaan aneh yang ia rasakan tiap pria itu menatapnya. Perasaan asing yang familiar, perasaan seolah ia mengenal pria itu telah lama, lama sekali dan sekarang berakibat pada ia merindukan pria itu habis-habisan. Tidak masuk akal, karena ia bahkan tidak mengenal pria itu lebih daripada ia mengetahui pria itu bernama Levant. Dan ia merasa ngeri sendiri setiap memikirkan, bahwa ia bukan siapa-siapa dari pria itu, Pak Payungmungkin saja pergi darinya kapan pun dia mau. Dan jelas, Hafa tidak bisa berbuat apa-apa atas itu.
"Apa punggung saya lebih ganteng dari muka saya?"
Pria itu menoleh dan Hafa nyaris tersandung oleh kakinya sendiri. Ia merasa wajahnya memerah dan ada sesuatu yang menarik-narik kedua bibirnya, sehingga ia memilih mengerucutkannya untuk mengalihkan itu. Dan ketika Levant menolak menyingkirkan seringai menyebalkannya itu, gadis itu melepaskan pegangan tangannya pada ujung tas—bagian paling tidak dekat namun melekat pada Levant—dan berjalan cepat mendahului. Ia ingin cepat pulang dan tidur tanpa perlu melihat pria itu lagi, setidaknya untuk sementara.
Awalnya baik-baik saja, ia bisa berjalan dengan baik sampai tiba-tiba terdengar bunyi 'brak' yang tidak keras, tapi berakibat cukup fatal. Gadis itu terjatuh di atas kakinya yang keseleo. Memalukan sekaligus menyakitkan, sehingga ia tidak tahu ia meringis karena perasaan yang mana. Levant menertawakannya lagi. Menyebalkan! Coba dia sekali-kali memakai high heels!
Hafa mencopot sepatu sialan itu dan melemparnya asal. Wajahnya sudah bertekuk sebal dari tadi, menjadi berlipat ganda ketika mendongak pada Levant.
"Saya dari awal sudah nggak mau pakai sepatu ini! Saya nggak bisa pakai hak tinggi!"
"Hanya kira-kira....," Levant merapatkan keempat jarinya, "... segini kamu bilang tinggi?" Oke, Levant tidak ingin membayangkan Hafa memakai salah satu sepatu Leona. "Emangnya kamu mau bertahan dengan sepatu butut kamu itu? Mana ada pengantin yang memakai sepatu sobek." Ucapan terakhir, digumamkan dengan pelan, tidak berusaha terdengar jelas oleh Hafa. Ia menikmati kening gadis itu yang mengerut.