"Kita enggak pernah bisa milih dilahirkan oleh siapa dan bagaimana kondisinya. Namun, kita masih bisa merubah jalan selanjutnya selagi nyawa masih ada."
"Nak."
Sosok wanita berambut kuncir ekor kuda yang tak tegak menghampiriku yang berada di balkon. Dia membawa nampan yang di atasnya ada piring dan cangkir. Wanita berdaster lengan panjang warna hijau itu tersenyum ke arahku. Bimbang. Harus kupanggil apa dia?
"Emm ... iya?" sahutku dengan menunduk.
Wanita yang tak lebih tinggi dariku itu mengelus pelan rambutku, membuatku berhasil mendongak. Netra cokelatnya mulai siap mengeluarkan cairan pembasah. Sebenarnya kenyataan bahwa dia adalah ibu kandungku masih mengejutkan amygdala.
Bukan karena dia adalah seorang pembantu, bukan! Namun, aku kecewa karena baru mengetahuinya setelah lebih dari dua dasawarsa. Ke mana saja dia saat aku butuh rengkuhan kasih? 21 tahun aku habiskan tanpa kasih sayang sosok Ayah ataupun Ibu.
Mamah jarang di rumah karena sibuk dengan pekerjaannya. Kini, aku harus menelan mentah-mentah bahwa dia bukan ibu kandungku. Bi Ningrum, bukan-bukan, seharusnya aku memanggilnya Ibu. Ia adalah sosok yang tiba-tiba datang dalam hariku. Bisakah aku menerimanya?
"Maafkan ibu, Nak." Ia mendekapku erat.
Hangat. Dekapan yang selama ini kudamba dengan sangat sekarang terwujud tanpa sekat. Netraku memanas, aku masih bergeming di tempat. Semesta pun ikut merengkuh dalam dekapan syahdu di bawah langit yang membiru.
Angin berembus pelan, ikut ambil posisi dalam persinggungan dua insan yang tak pernah sedekat ini sebelumnya. Aku membalas pelukan Ibuku itu, menangis sejadi-jadinya. Sebelumnya dia bukan siapa-siapa, tapi sekarang, semua berubah.
Sejak kapan semesta pandai bersandiwara?
"Ibu ke mana aja? Baru nengok Shilla sekarang. Ibu enggak sayang Shilla?"
Aku melepas pelukan hangatnya, mencari penjelasan atas tiap pertanyaan. Kuatkan aku, Tuhan. Netra cokelat terangnya menatap penuh kerinduan netra amberku. Namun, apa pun yang terjadi, aku harus mendapatkan penjelasan tentang asal-usulku.
"Duduklah, ibu akan menjelaskan semuanya," tutur Ibu sembari meraih tanganku untuk duduk di kursi.
"Kamu jangan menyalahkan ibu atau siapa-siapa."
Ibu menghela napas panjang, seperti menyusun kekuatan untuk menjelaskan segala pertanyaan yang kulontarkan.
"Kamu tidak aman jika bersama ibu." Ia masih menangis dengan tersedu hingga membuatku tak tega.
Apa yang menyebabkan ia berkata seperti itu?
"Dengarlah, kamu telah cukup dewasa untuk mengerti semua. Ibu akan menceritakan semua tanpa ada yang disembunyikan lagi."
***
"Ayahmu ingin melenyapkanmu, juga ibu. Dia tak inginkan ibu menghirup udara, pun juga kamu. Dia tak menginginkanmu."
Kata yang keluar dari mulut Ibu terus tergiang-ngiang dalam telingaku. Ternyata Ayah yang selama ini kurindukan hadirnya, sama sekali tak menginginkan aku ada. Ibu menjabarkan semua, kelahiranku ini tak diinginkan oleh Ayah.
Hawa dingin mulai menusuk hingga ke tulang, cuaca di luar sedang tak bisa bersahabat. Apalagi aku tadi mengenakan dress tanpa lengan. Kurutuki kesalahan memilih pakaian ini. Telapak tanganku saling tergosok agar mengurangi hawa dingin yang kian menyelimuti.
KAMU SEDANG MEMBACA
Senja di Ujung Nestapa [TELAH TERBIT]
Romance"Rasa memang datang tanpa aba-aba dan satu hal yang masih hati terima, kau ... alasan cinta." --- SDUN Ini adalah kisah perjalanan Ashilla, gadis dengan puzzle kehidupan yang masih berceceran. Alam raya menyuguhkan fakta yang harus ditelannya menta...