3¤Persimpangan Rumit

23 1 0
                                    

[It Will Rain - Bruno Mars]
.
.
.
Kita ini sedang menjaga hubungan
atau
menunda perpisahan?
.
.
.
.
.

Tak ada sepatah kata yang membentuk sebuah argumen atau komentar tentang apa yang terjadi semalam. Bara bahkan tidak membalas pesan yang dikirim Yara untuknya hanya sekadar untuk memastikan bahwa ia baik-baik saja.

Ucapan milik Adnan tentang bagaimana ia tidak bisa memastikan posisi Bara di dalam keluarganya, terus terngiang-ngiang. Apakah itu maksud dari Bara akan digantikan? Apakah ada laki-laki lain yang lebih siap darinya? Dan, apakah Yara tau?

Usia yang kian matang untuk menikah namun belum dilakukannya membuat Bara berada di sebuah persimpangan rumit untuk memilih jalur yang akan membawa kisahnya pada sebuah akhir yang entah bahagia, atau tidak sama sekali. Apakah Bara harus jujur bahwa ia mengidap ketakutan akan pernikahan? Bukankah hal itu justru akan memperburuk keadaan?

Pusing sekali rasanya, hingga Bara ingin menghilang dari muka bumi saja.

Kopinya sudah berangsur dingin tanpa sempat ia cicip. Pekerjaannya bahkan tak ia sentuh sebab pikirannya tengah melanglang jauh. Jemarinya tak mengerjakan hal lain selain memijit pelipisnya yang kian pening.

Suara ketukan pintu terdengar dengan sosok Rian yang menyembul dari belakang, "Mas, ada Mbak Yara."

Sebuah gerak refleks langsung terjadi, Bara menengok ke arah Rian yang masih menantikan respon darinya.

"Mas?" Panggil Rian nenyadarkan Bara yang tak kunjung merespon.

"Suruh masuk aja," Ucap Bara pada akhirnya.

Meskipun sebenarnya Bara merasa ingin menghindar, tapi ia tak cukup tega untuk mengusir Yara begitu saja.

Suara ketukan langkah terdengar menghampiri, Bara tak bereaksi apapun bahkan tidak menyambut kedatangan kekasihnya itu.

Yara sudah di hadapannya, keduanya saling diam dengan Yara yang menatap Bara dan Bara yang terpaku pada layar laptopnya enggan menatap Yara.

"Bar," Panggil Yara lemah.

Kini Bara mengangkat kepalanya untuk menatap si pemilik suara yang lemah itu.

Yara terlihat sedikit sendu namun tidak terlihat menangis, "Maafin Papa..." Lirih Yara dengan intonasi penuh permohonan.

Bara mengernyit heran, "K-kamu-?"

"Aku dengar semua obrolan kamu sama Papa semalam. Maafin Papa, mungkin dia gak ngerti apa yang kita coba lewatin."

Memangnya apa yang sedang mereka lewatkan? Selama ini semua terlihat baik-baik saja dengan kamuflase milik Bara yang selalu beralibi ingin fokus pada karirnya sebelum melanjutkan hubungan ke jenjang yang lebih serius. Yara memang berusaha berdiri di pihak Bara.

Bara menghembuskan napasnya pelan, "Ra, aku gapapa. Gak perlu dibahas, aku ngerti kenapa Papa kamu mau kita segera menikah."

"Gimana kalo kita turutin aja kemauan Papa? Kita bisa menunda rencana punya anak dulu dan kamu bisa tetap fokus sama karir kamu."

Ide Yara yang barusan tentu saja tetap tidak bisa Bara terima.

"Ra, pernikahan gak sebercanda itu."

"Aku juga gak berniat bercanda, Bar. Aku mau serius," Ucap Yara membela dirinya sendiri.

"Kasih aku alasan yang jelas kenapa kamu belum mau menikah." Yara mulai mencoba mencari jawaban mulut Bara.

"Menurut kamu alasan yang aku kasih itu belum jelas? Ra, perusahaan ini aku bangun dengan keringat dan airmataku. Aku masih mau mengembangkan ini semua, dan-"

Let's Not Fall In LoveTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang