Sebenarnya, setelah menawarkan kesepakatan dengan Sophia dan melihat bahwa gadis itu mengenal orang yang dia cari, Mahesa menjadi penguntit gadis itu. Dia pikir akan membutuhkan waktu beberapa hari sampai akhirnya Sophia mendatangi rumah orang yang dimaksud, siapa sangka hari itu datang justru keesokan harinya.
Wilma Wilhelmina, atau sekarang berubah menjadi Wilma Vebrasco, masih cantik seperti Wilma muda yang fotonya masih Mahesa simpan, wanita yang merupakan ibu kandung Mahesa, yang membuangnya sebelum bayi itu mengkonsumsi cukup banyak ASI, wanita yang mungkin menganggap anaknya sudah mati.
Mengintip di balik pohon dari jauh, Mahesa mengamati ibunya dengan dada berdegup kencang, perasaan sesak menghimpit dada. Jika pemuda itu sempat melihat ibunya sewaktu kecil, mungkin dia bisa mengatakan bahwa dia sangat merindukan wanita itu, masalahnya dia bahkan belum sempat melihat wajah ibunya dulu sebelum dia dibuang. Ayahnya tidak pernah menikah sampai kematian menjemputnya, jadi selama ini, orang terdekat yang bisa dikatakan mendekati figur seorang ibu bagi Mahesa adalah Mbok Wiyem, pembantu tua di rumah Nyonya Katherine, istri majikan ayahnya yang baik hati. Lalu Nyonya Katherine , yang perannya cocok sebagai sosok ibu tiri yang membuatnya bersekolah satu angkatan dengan anaknya agar bisa mengerjakan semua PR anak-anaknya yang bodoh.
Walau begitu Mahesa tetap bersyukur dan berterima kasih karena dia ikut disekolahkan di sekolah anak-anak keluarga majikannya. Dari sekolah itulah dia mengetahui keberadaan sang ibu yang bekerja sebagai guru seni dan bahasa di sekolah yang merupakan cabang dari sekolahnya di kota Bandung. Rencananya dia ingin berkunjung saat liburan sekolah, tetapi Jepang datang jadi dia harus sembunyi sementara keluarga Nyonya Katherine kembali ke negara mereka sebelum Jepang datang menciduk mereka.
"Hahahahah."
Suara tawa membawa perhatian Mahesa kembali ke dua wanita yang sedang duduk di teras rumah. Sophia terlihat cemberut, jadi tawa barusan adalah suara ibunya. Ah. Betapa menyenangkannya bisa tumbuh besar ditemani tawa itu, betapa beruntungnya jika bisa tumbuh dibesarkan oleh seorang ibu. Tidak peduli berapa umurmu, kau tetap akan berharap ada seorang ibu disampingmu. Walau kebanyakan yang memang memiliki ibu tidak mensyukurinya.
Sekarang, melihat Nyonya Wilma dari seberang, sedang kerepotan membawa barang belanjaan di tangannya, Mahesa ingin mengatakan sesuatu pada wanita itu. Enak, bukan, kalau memiliki anak lelaki yang bisa membantumu membawa semua barang-barang itu? Dia merasa seperti anak kecil yang getir sampai membiarkan pemikiran semacam itu singgah di kepalanya. Yah, tetapi kenyataan hidup yang pahit memang selalu bisa membuat seseorang merasa getir.
"Eh, itu Nyonya Wilma. Ayo, kita bantu."
Sebelum Mahesa sempat bertanya, Tatang dan Puji sudah berjalan menyeberang jalan sambil berteriak memanggil nama wanita itu. Mahesa segera memutar badan memunggungi mereka dan berpindah tempat. Dilihatnya Tatang menoleh ke arah di mana Mahesa berada sebelumnya sembari menunjuk, tetapi kemudian dia memiringkan kepalanya heran. Mungkin bertanya-tanya kemana Mahesa pergi. Mahesa hanya bisa menyaksikan dari jauh, dua temannya dengan senang hati membantu orang lain. Mereka membantu membawakan barang-barang bawaan Nyonya Wilma sampai mereka menemukan taksi dan membantu memasukkan barang-barang itu ke bagasi. Mahesa mengikuti langkah sembari menyaksikan mereka dari tempat tersembunyi. Ketika mereka berhenti untuk menyewa taksi, Mahesa pergi ke balik sebuah kiosk penjual dodol, mengintip, memperhatikan mereka.
Dilihat wanita itu mengambil uang dari dalam dompetnya, berusaha memberi upah pada Tatang dan Puji yang pasti membantunya dengan suka rela. Mahesa mendengkus. Tipikal orang kaya sombong. Semua diselesaikan dengan uang. Mahesa berhenti mengintip.
"Mahesa! Yuhuuu!" Tatang melambaikan tangan dengan antusias, melangkah mendatanginya
"Tatang, yuhu," Mahesa menirukan Tatang dengan nada datar, tanpa keluar dari balik kiosk.
"Sedang apa pula kau di situ?"
"Panas."
Tatang dan Puji sontak mendongak, langit sepenuhnya tertutup awan abu-abu. "Kau sudah mulai sinting, yah?"
Mahesa tertawa tanpa humor lalu mengajak teman-temannya pergi. Tiba-tiba punggungnya panas, rasanya seperti ada yang sedang mengawasinya. Dia menoleh, mengedarkan pandangannya ke segala penjuru tanpa terlihat kentara. Tidak menemukan orang yang mencurigakan, perhatiannya kembali fokus pada temannya.
Puji sedang memamerkan uang dengan jumlah yang terlalu besar untuk upah bantuan yang diberikan mereka pada Nyonya Wilma. Kata nyonya itu gunakan uangnya untuk makan dan jajan mereka bertiga. Mahesa memberi ucapan selamat dan berniat memisahkan diri dari dua temannya, ada kerjaan katanya, tetapi Tatang menahannya.
"Kata Nyonya Wilma ini untuk makan kita bertiga, ajak Mahesa, begitu."
Mahesa langsung menghentikan langkahnya. "Bagaimana dia tahu tentangku?"
"Oh, tadi aku memanggilmu untuk membantu, tapi kau malah tidak ada. Memangnya kau tidak dengar?" Mahesa menghela nafas lega dan menggeleng. "Baiknya Nyonya Wilma, dia tetap saja mau kita berbagi denganmu, padahal kau tidak keluar keringat sedikitpun." Tatang mencibir.
Mahesa memutar badan lagi, mencari taksi yang tadi ditumpangi ibunya, mungkin masih di sana, tetapi nihil. Dia kembali menghembuskan nafas lega.
***
KAMU SEDANG MEMBACA
Sebelum Langit Memerah
Historical FictionPencarian, penemuan, pengorbanan, dan perpisahan. Semua itu terjadi sebelum langit memerah di bumi Bandung. ©jealoucy2020