Maksudnya?

122 3 7
                                    

Selamat membaca

❤❤❤

"Han, besok proposal Tutorial mau gue mintain tanda tangan ke BEM. Udah siap kan?"

"Udah, Der. Mau hari ini juga bisa kayanya. Nanti ke sekre dulu aja, jilid di sana."

"Ok. Makasih, Han."

Setelah kelas selesai, aku langsung menuju sekretariat untuk menjilid proposal yang diminta Dery. Suasana di depan sekretariat cukup ramai, beberapa anak yang sedang tidak ada kelas menghabiskan waktu di sini. Terdengar teriakan Wulan dan Reza yang sedang adu mulut. Kebiasaan -tidak ada kata damai kalau mereka berada dalam satu tempat.

Aku melanjutkan menyusun lembar-lembar proposal di tanganku, mengabaikan keributan di sekitar. Tiba-tiba kurasakan dingin pada kepala dan tubuh bagian belakangku. Terlihat tetesan dari rambutku mengenai lembaran yang kupegang.

"Proposalku!" Aku yang panik langsung berteriak sambil menjulurkan tangan, menghindarkan lembaran-lembaran yang kupegang dari tetesan itu.

Dery dengan sigap mengambil lembaran-lembaran dari tanganku.

"Maaf, Han ... maaf." Wulan menghampiriku, menangkupkan kedua tangannya, "tadi gue niatnya mau nyiram Reza, malah lo yang kena. Maaf bangeet."

"Aku gapapa, Lan. Tapi prosalku." Aku mengerucutkan bibirku.

"Udah gapapa, Han. Di-print lagi juga bisa. Biar nanti Wulan yang nge-print," kata Dery

"Iya, ntar gue kerjain. Lo gue anter berjemur dulu yuk, di lapangan. Duuh, untung cuma air minum." Wulan menggandeng tanganku.

"Dih! Ya jangan, Lan." Nina menarik tanganku dari gandengan Wulan. "ikut aku aja, Han. Ke kosan."

Aku menundukkan wajahku. Pasti orang-orang di sekitar melihat kejadian yang baru ku alami. Duh! Malu banget tadi pake teriak-teriak. Aku semakin menunduk ketika melewati sekretariat jurusan sebelah. Di sana juga banyak orang berkumpul.

Pluk.

Langkahku terhenti, begitu juga Nina. Terasa ada benda yang melingkupi bagian belakang tubuhku. Aku memegang benda itu. Jaket? Saat aku menoleh ke kiri, aku menemukan Chenle yang sedang menatapku. Pasti jaket ini miliknya. Aroma khas Chenle menguar dari jaket ini.

Karena sungkan, aku hendak melepas jaketnya.

"Jangan dilepas!" Chenle mendekat ketika paham pada gerakanku yang akan melepas jaketnya. "Baju lo terawang," lanjutnya dengan berbisik.

Aku menahan napas, pipiku memanas. Entah malu karena ucapan Chenle atau karena keberadaannya yang sangat dekat denganku.

"Mbak, nitip ya. Jewer aja kalo bandel." Chenle berbicara kepada Nina, sambil mendorongku untuk segera pergi.

"Siap!" Nina tertawa lalu segera menarikku menuju parkiran.

Belum terlalu jauh dari sekre, aku mendengar teriakan Dery, "YA TUHAN, KENAPA HAMBA HARUS MENJADI SAKSI KEUWUAN ORANG LAIN TERUS!?" yang disusul seruan anak-anak yang yang lain.

Sesampainya di kosan Nina, aku segera menjemur bajuku yang basah. Nina meminjamiku setelan rumahan untuk kupakai sementara. Sambil menunggu Nina membeli makan siang, aku merebahkan diri di kasurnya sambil memainkan ponsel, menghubungi Wulan untuk menanyakan nasib lembar-lembar proposalku.

Pijar Istimewa • NCTTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang