Bagian 1

810 90 62
                                    

Jalan yang Tak Sama

Dering alarm dari ponsel yang tergeletak di atas nakas menggema memenuhi ruangan. Seorang pria tampan yang megenakan kaus putih polos dengan celana pendek di atas lutut berwarna hitam malah semakin menenggelamkan tubuhnya di bawah selimut tebal nan hangatnya. Entah sudah berapa kali alarm itu berbunyi, pria itu tetap bergeming di tempatnya, tak segera bangkit dan menyambut matahari yang sudah bersinar terang sejak beberapa menit lalu.

Bagi beberapa orang, melihat wajahnya sekilas saja pasti langsung mengenalnya. Ia sering dipanggil Seung Gi-gangsanim. Nama lengkapnya Lee Seung Gi, salah satu dosen muda di Universitas Dongguk jurusan Perdagangan Internasional. Seung Gi mengajar mata kuliah e-commerce, e-bussines, dan Manajemen Keuangan Internasional.

Pria itu menetap di Seoul. Pada hari tertentu, dia bisa ditemui di Gyeongju untuk mengajar di jurusan Ekonomi dan Perdagangan. Universitas Dongguk memang memiliki 4 lokasi, di Seoul, Goyang, Gyeongju, dan Los Angeles. Cabang Goyang dan Los Angeles fokus pada ilmu kesehatan, sementara kampus utama Seoul dan cabang di Gyeongju memfasilitasi berbagai bidang keilmuan, salah satunya ilmu terkait ekonomi seperti yang digeluti Seung Gi. Bagaimana? Tertarik kuliah di Dongguk?

"Seung Gi-ya! Bangun! Kau ada kelas pagi hari ini!"

Suara seorang pria dari luar kamar Seung Gi mulai mendampingi dering alarm yang tak kunjung berhenti. Ketukan di pintu menambah ramai suasana kamar pria yang masih meringkuk di bawah selimutnya itu. Sayangnya, pria di luar mengetuk pintu terlalu santun, jelas saja Seung Gi semakin lelap dalam tidurnya.

"SEUNG GI-YA!"

Pria di luar meningkatkan volume suaranya agar Seung Gi terbangun. Ia memperkeras ketukannya, berharap Seung Gi bisa mendengarnya.

"SEUNG GI-YA, BANGUN! KAU ADA KELAS PAGI!"

Lamat-lamat, pria itu mendengar alarm berhenti berbunyi. Beberapa detik kemudian, ia mendengar langkah kaki mendekat ke arah pintu. Pemilik kamar itu telah bangun.

Ceklek.

Pintu itu terbuka. Seung Gi berdiri dengan mata yang masih setengah tertutup. Tangan kekarnya mengucek mata yang masih terlihat merah. Rambut pria beralis tebal itu tampak berantakan, begitu juga wajahnya yang masih tampak kacau.

"Hyung, jam berapa ini? Kenapa kau sudah sangat berisik?"

Pria itu menunjuk jam dengan dagunya. Seung Gi mengikuti arah yang ditunjuknya. Jam 6 pagi. Kelas dimulai jam 8. Seung Gi berdecak sebal.

"Yaaa, kelasku masih dua jam lagi. Kenapa kau sudah membangunkanku?" protes Seung Gi.

"Persiapanmu sebelum ke kampus sangat memakan waktu, kau tidak boleh terlambat ke kampus. Sekarang, cuci wajahmu dan kita makan. Aku sudah menyiapkan sarapan," ucap pria itu. seung Gi tak menjawab. Ia berjalan malas ke kamar mandi.

Pria itu adalah Lee Sang Yoon, salah satu dosen senior di jurusan yang sama dengan Seung Gi. Lelaki yang berusia hampir 40 tahun itu mengajar Matematika Bisnis dan Statistika Bisnis. Kelebihan Sang Yoon adalah bisa menghitung dengan cepat tanpa menggunakan kalkulator. Selain itu, dia pria yang baik dan sabar, buktinya, dia bersedia menampung Seung Gi di unit apartemennya selama tiga tahun terakhir. Sang Yoon sudah menganggap Seung Gi seperti adiknya sendiri.

Menumpang? Ya, Seung Gi memang menumpang di apartemen Sang Yoon. Padahal, gajinya sangat-sangat cukup untuk menyewa apartemen untuk dirinya sendiri. Tapi, Seung Gi enggan melakukannya. Ia menyimpan hampir seluruh uangnya di tabungan yang ia siapkan untuk orang tua dan adiknya. Ia hanya menyisakan sebagian untuk biaya hidup dan membantu biaya sewa apartemen Sang Yoon.

          

Usai mencuci wajahnya, Seung Gi berjalan ke meja makan dan duduk di salah satu kursinya. Pria itu menelan ludah. Hanya ada sayuran dan sup sawi putih yang dianggapnya sebagai sayuran juga. Seung Gi mengaduk sup di mangkuk besar itu, berharap Sang Yun mencampurkan sepotong-dua potong daging. Namun, yang ditemukannya hanya kuah, kuah, dan kuah. Ah, tentu saja sawi putih yang berenang ke sana ke mari mengikuti arus kuah yang diaduk Seung Gi.

"Aigoo, bagaimana aku bisa bertahan seharian jika tidak ada daging barang sepotong?" protes Seung Gi. Sang Yoon menaikkan alisnya sembari melongok menu sarapan buatannya.

"Kenapa? Sayur baik untuk kesehatanmu. Aku juga sudah menyiapkan susu hangat. Ini kombinasi yang tepat untuk sarapan," ucap Sang Yoon tanpa dosa. Seung Gi menghela napas panjang. Ia bangkit dari duduknya dan menuju kulkas. Diambilnya sebungkus roti tawar serta selai cokelat dan membawanya ke meja makan.

"Selamat memakan sayuranmu, Hyung," ucap Seung Gi sembari mengeluarkan selembar roti dan megoleskan selai di rotinya. Sang Yoon menggeleng pelan.

"Sulit sekali membiasakanmu makan sayur, bahkan setelah tiga tahun. Aigoo, akan kuberi kau uang untuk membeli sarapan di kantin kampus nanti," ucap Sang Yoon. Pria itu merasa bersalah karena Seung Gi tak bisa sarapan gara-gara dirinya hanya meyiapkan sayuran.

Seung Gi hanya mengangguk setuju. Ia menggigit roti tawarnya dengan menggebu. Dibangunkan jam 6 pagi untuk sarapan dan tidak ada secuil daging pun di antara makanan yang tersedia membuatnya kesal. Tapi, ia tak bisa marah kepada Sang Yoon, mengingat dirinya hanya menumpang.

"Hyung, lima hari lagi ulang tahunku yang ke 30. Bolehkah aku meminta daging untuk sarapan sampai hari ulang tahunku? Kumohon, setelah itu aku tak akan meminta macam-macam lagi," ucap Seung Gi dengan nada memelas. Sang Yoon yang tengah menyendok sup sawinya berhenti dan menatap Seung Gi heran.

"Berhentilah meminta macam-macam menjelang ulang tahunmu, Seung Gi-ya! Kemarin kau memintaku untuk memberikan kartu ATM pada orang tuamu di hari ulang tahunmu, sekarang kau meminta sarapan daging selama lima hari menjelang ulang tahunmu. Kau seperti akan mati saja!"

Seung Gi tak menjawab. Ia hanya mengunyah rotinya dengan tatapan masih kosong karena ia baru saja bangun tidur. Pikirannya mulai berkelana tanpa permisi.

Asal kau tahu, aku akan mati di ulang tahunku yang ke 30, Hyung.

Pria itu menghela napas panjang. Mungkin, ia terlihat sama seperti manusia pada umumnya. Lahir, menjalani fase hidup dari bayi hingga dewasa, bersekolah, mengenal banyak manusia, mengejar ambisi yang tiada ujungnya, mencintai seseorang, menikah, punya anak, hidup bahagia hingga hari tua, lalu meninggalkan dunia setelah menikmatinnya bertahun-tahun lamanya. Tidak, hidup Seung Gi tidak diatur sedemikian rupa. Ia menapaki jalan yang berbeda dengan manusia yang lainnya.

Konon, manusia mengalami siklus lahir dan mati secara berulang-ulang. Hanya saja, sebelum dilahirkan kembali, ingatan dari kehidupan sebelumnya dihapus. Manusia lahir sebagai sosok tanpa dosa, menyusun ingatan dari peristiwa-peristiwa yang dialaminya selama hidup, lalu terhapuskan saat manusia mati.

Entah apa yang terjadi, Seung Gi tidak mengalaminya. Mungkin Tuhan lupa? Atau memang sengaja? Pria itu tidak lupa pada kejadian di kehidupan sebelumnya. Ia selalu ingat bahwa ia mati di hari ulang tahunnya ke 30, mulai dari mati dengan cara paling menyenangkan atau paling menyedihkan. Ia bisa mengingat berbagai hal yang dialaminya di kehidupan sebelumnya.

Seung Gi menghitung setiap siklusnya, dan siklus kali ini adalah siklusnya yang ke 99. Awalnya, ia selalu bingung, mengapa ia bisa mengingat kejadian-kejadian di kehidupan sebelumnya, namun, lama-kelamaan pria itu terbiasa. Pada akhirnya, ia bisa mengatur ingatannya. Saat ini, ia bisa saja mengingat kehidupannya yang pertama, namun, konsekuensinya tenaganya akan terkuras habis. Ia harus istirahat total minimal tiga hari. Jika itu terjadi, jelas saja pekerjaannya akan terganggu, maka dari itu, Seung Gi memilih untuk tidak bermain-main dengan ingatannya. Tak jarang, suatu peristiwa, seseorang, atau benda memancing ingatannya keluar, namun, Seung Gi harus buru-buru menghentikannya agar tenaganya tak terkuras.

Wow ok dosen mahasiswanya visual semua . Gk buka wp berapa lama sampe ketinggalan gini ????

4a atrás

Kejam amat tuh pacar,masa org cantik dnkin luka"..cepet" putus deh 🙄

4a atrás

99th Life (Lee Seung Gi x Bae Suzy)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang