"Berhenti berharap jika ia sudah tak lagi menatap. Jangan tunggu luka menjadi satu-satunya yang hadir memelukmu dalam sepi."
***
Mahar mengejar Shafa yang terus menjauhinya hari ini. Ia berlari untuk menyamakan langkahnya dengan wanita itu.
"Shafa!" panggilnya namun Shafa tidak menyahut.
"Shaf!"
"Shafa, tunggu dulu." Dengan terpaksa ia menarik kembali lengan Shafa agar berhenti dan mendengarkannya. Mahar sedikit terkejut ketika melihat pipi Shafa yang memerah.
"Shaf?" Pria itu memegang kedua pipi Shafa yang memerah. Takutnya, Shafa terserang demam, siapa yang tahu?
Hanya beberapa detik tangan Mahar menyentuh pipi Shafa sampai gadis itu tersadar dan mundur sedikit menjauhi wajah Mahar yang begitu dekat dengannya.
Mahar tersenyum. "Syukurlah gak panas. Gue kira lo demam."
"Mau apalagi sih?"
Mahar menaikkan sebelah alisnya, menatap gadis itu dengan tidak sabar.
"Seharusnya gue yang tanya, lo kenapa seharian menghindar dari gue? Gue mau ajak lo datang ke pesta nanti malem. Tapi malah main kucing-kucingan," keluh Mahar yang begitu kesulitan mencari keberadaan Shafa. Untung saja, Bela mau membocorkan keberadaan temannya.
"Gue gak mau, puas!"
"Kenapa?" cicit Mahar terkejut dengan pernyataan Shafa.
Shafa berusaha menahan perasaannya sekuat mungkin agar tidak luluh pada tatapan Mahar yang terlihat begitu tajam ke arahnya. "Ya gue gak mau aja pergi sama lo. Gue mau pergi sama yang lain."
"Siapa?" tanya Mahar kembali tetapi terdengar lebih dingin. Shafa sedikit tersentak dengan nada bicara Mahar yang berubah dalam sekejap.
"Ya—ya siapa aja selain lo."
"Kenapa gak mau dateng sama gue?" tanya Mahar sekali lagi masih merasa penasaran. Pada dasarnya, ia dan Rana memiliki sifat yang sama, bukan?
Shafa menghela napas panjang, berusaha menenangkan jantungnya yang sudah berdebar begitu kencang.
"Gue bukan siapa-siapa lo," tegas Shafa.
"Gue gak punya kewajiban untuk mengikuti segala apapun yang lo mau. Lo gak ada hak sama sekali, Mahar."
Akhirnya. Akhirnya kalimat itu keluar dari mulut Shafa. Astaga, ia ingin sekali menenggelamkan dirinya agar tidak berhadapan dengan Mahar saat ini. Ia merasa malu, sungguh!
Shafa melirik Mahar dari ekor matanya. Pria itu hanya terdiam, tidak mengatakan apapun membuat Shafa gelisah dibuatnya. Ia menggigit bibirnya pelan berusaha untuk tidak menerjang Mahar, karena saat ini ia ingin bersembunyi dari Mahar.
"Oke kalo gitu," balas Mahar terlihat sangat datar.
"Kalo gara-gara gue lo kesulitan, gue pergi."
Mahar meninggalkan Shafa dalam keadaan mematung. Pria itu pergi begitu saja tanpa menanggapi apapun? Apakah pria itu marah kepadanya?
Astaga!
Kaki Shafa lemas, ia berjongkok dan menutupi seluruh bagian wajahnya. Apakah ia salah dalam mengatakan apa yang ia rasakan? Ia jadi ingin mencekik Bela saat ini juga, karena wanita itu yang membuat Shafa mengatakan hal tadi kepada Mahar. Kenapa rasanya pedih, ya?***
Bela sedang memilih gaun pesta untuk nanti malam, sedangkan Shafa hanya duduk terdiam tak bersemangat. Ia masih memikirkan kejadian tadi siang. Pria itu marah kepadanya? Pria itu sama sekali tidak men-chat Shafa seperti biasa.
"Shaf, warna ini bagus gak?" Bela sedang berkutat di depan cermin besarnya. Berulang kali melemparkan pakaian kesekian kali di atas bed berukuran besar. Dasar wanita pecinta pesta!
"Hmm."
"Kayak denger suara cicak deh gue," sindir Bela merasa kesal karena Shafa tidak menanggapi pertanyaan darinya dengan serius. Padahal, pesta adalah salah satu moment yang membuat keduanya menjadi antusias menjalani hidup.
"Udahcepet ganti baju, dasar jomblo!" tambahnya.
"Gue gak ikut deh." Tiba-tiba Shafa bersuara membuat Bela menimpuknya dengan gaun yang semula ia genggam.
"Gue gak mau denger keputusasaan lo. Kita harus dateng party, kalo gak, lo cabut dari rumah gue sekarang!"
Shafa menatap sebal kepada temannya, sejak kapan Bela menjadi otoriter?
"Dasar penjajah!"
Sekitar pukul lima sore, keduanya telah sampai ke Treksa. Bela membawa mobil sendiri tanpa didampingi supir karena ia tidak bisa memperkirakan kapan mereka akan selesai dan pulang.
Beberapa murid juga hadir dengan warna-warni pakaian pesta. Tema malam ini adalah pakaian formal untuk semua kalangan yang datang. Gaun untuk perempuan dan Jas hitam untuk pria.
Sementara, OSIS Treksa mengenakan Headband di lengan kiri mereka, agar mudah ditemukan untuk saling berkoordinasi demi kelancaran acara. Raka tidak menerapkan sistem name tag panitia karena akan terasa tidak sinkron dengan gaun murid perempuan malam ini.
Shafa melarikan diri dari kerumunan murid Treksa dan menghampiri stand makanan.
Ia lapar. Melamun terlalu panjang membuat energinya terkuras habis. Cercaan Bela membuatnya tak nafsu makan tadi. Ia mengambil beberapa kue yang ia masukan ke dalam piring kecil berwarna putih lalu ia bawa ke meja yang sudah tersedia.
Pesta yang luar biasa mengingat budget yang dikeluarkan berjumlah sangat besar. Raka dan tim telah menciptakan sebuah era baru dari setiap event yang mereka lakukan. Mewah dan elegan benar - benar perayaan ulang tahun yang luar biasa.
Sebenarnya acara akan dimulai sekitar pukul tujuh malam. Tetapi mereka harus datang lebih awal untuk melakukan reservasi masuk agar tidak mengganggu puncak acara. Raka memastikan bahwa malam ini adalah perayaan terbaik Treksa. Karena itu keamanan diperketat.
Beberapa murid juga terlihat datang berpasangan, mengingatkan Shafa pada ajakan Mahar kemarin.
"Padahal gue cuma mau ajak lo jadi pasangan ke pesta."
Ketika ekor matanya melihat seseorang yang tak asing lagi baginya, mendadak ekspresinya berubah. Pria itu menggandeng wanita lain ke pesta. Jadi, ini jawaban yang Shafa tunggu? Pria itu menjawabnya secara langsung tepat di depan mata Shafa. Memukul telak perasaan Shafa yang sudah ia buat melambung tinggi sedemikian rupa.
Jadi ini kepastian yang Shafa dapatkan? Pria itu telah mempermainkan hatinya dengan sempurna. Mahar berhasil membolak balikkan rasa yang Shafa miliki untuknya beberapa hari ke belakang.
Gadis itu memilih membuang pandangan, tak sanggup untuk menyaksikan lebih jauh tentang apa yang akan terjadi dan tidak mau mendengar tanggapan orang di sekitar dirinya.
Pria itu melihatnya. Tetapi Shafa menolak untuk bertatapan dengannya.
Shafa tidak sudi melihat pria brengsek yang sudah merusak kembali hati yang sudah lama ia tata.
Perlahan, air mata menetes membasahi permukaan pipinya. Ia benci hidup seperti ini. Kenapa baginya, bahagia itu selalu bernilai zero?
***