CHAPTER 20
CAN'T WE JUST LEAVE THE MONSTER ALIVE?
(그냥 괴물을 살려두면 안 되는 걸까)
|
Yeonjun pernah punya monster di masa kecilnya. Namanya Moo. Ketika Yeonjun sudah tidur, enggan makan maupun beranjak dari ranjangnya, dia menyalahkan Moo. Seiring dia bertumbuh, dia berpikir Moo sudah terlalu lemah dan mati. Tetapi, seiring dia bertumbuh, dia justru disadarkan bahwa Moo sudah tidak ada di ranjang, tapi juga tidak mati. Moo sudah merasuk dalam dirinya, menjadi dirinya. Sosok menakutkan dan penuh masalah itu sudah menjadi bagian dalam diri ini. Bagaikan lendir lengket warna hitam, sudah menyatu ke aliran darah dan jaringan otaknya—tidak terpisahkan.
"Moo-ya! Kau mau berulah lagi? Menindas anak baru itu tidak keren," gerutu Yeonjun dalam kamarnya. Dia memandangi luka di tangannya dan termenung beberapa saat. Pandangannya mulai terangkat ke kolong ranjang. "Moo-ya! Nanti Hyung tahu, aku akan mendapatkan masalah. Kau senang aku dipukuli sampai semaput?"
Hanya ada udara kosong.
Yeonjun meringkuk miring, mendekap sepasang lututnya. Dia menggigil sedangkan pintu ruangan tersebut masih tertutup rapat. Tidak akan lama lagi, pasti ada telepon dari sekolah dan pasti kakaknya itu akan terpancing. Tidak cukupwaktu untuk pergi dari sana, karena pada akhirnya, Yeonjun akan terlunta-lunta kemudian pulang lagi kemari. Tidak ada rumah yang hangat.
"Moo-ya, tidak lelah ya hidup seperti ini?"
Yeonjun pun menundukkan wajahnya dalam seraya menangis pelan.
Mengapa aku harus hidup beriringan dengan monster? Mengapa aku menjadi monster? Apakah ini takdirku yang sudh digariskan? Yeonjun penuh pertanyaan. Sekeras apapun dia melontarkan bahkan menggugatnya, tetap saja, keadaannya tidak berubah. Moo semakin hidup, menjadi, dan menguasai. Moo semakin tidak terkendali, dan Yeonjun kepayahan. Apalagi tonjokan dari kakaknya tidak mengendur, bahkan terlampau terlalu keras. Yeonjun tertawa pedih; "Moo, kau senang sekarang?"
*
*
November 13
Butuh segenap tekad dan niat bulat. Taehyun sadari bagaimana tidak bersahabat dan sangat menjengkelkan wajah Choi Soobin. Apalagi, dia masih berdiri dengan tubuh menjulang dan bahu lebar nan angkuh. Soobin mungkin sekarat tempo hari, hanya saja, itu bagaikan angin lalu. Dia seteguh karang di tepian pantai. "Mau apa? Apa katamu?"
"Kau dan aku harus bicara, Sunbae. Ada Kai juga, kita akan bicara setelah jam pelajaran selesai," jelasnya nampak teguh.
"Soal apa?"
"Beomgyu."
Soobin tersenyum kaku. Dia membuang pandangannya. "Masih untung aku menyelamatkanmu dari kobaran api di hari itu, apakah kau tidak tahu artinya berterimakasih? Mengapa libatkan aku? Aku tidak mau ikut campur!" Setelahnya, Soobin mulai berbalik. Sudah cukup membuat gila terus menerus merasakan rasa ditikam di dada serta suara yang tidak urung mereda di batok kepala. Mengapa terus menjejalinya dengan peristiwa itu? Bagaikan tidak ada bahasan lain saja ...
"Kau ingin itu berhenti kan?"
Soobin terdiam.
"Kita akan buat itu berhenti. Caranya? Selamatkan Beomgyu. Kau dan Kai adalah kuncinta. Kita harus bergegas agar Beomgyu dapat kembali," ujarnya Taehyun hendak berlutut di kakinya, membuat Soobin cepat meneguk ludah. Bocah ini! Padahal Kang Taehyun sangat sangat sangat enggan untuk berbuat sejauh itu. Dan terlihat bagaimana sosok itu nampak enggan menurunkan harga dirinya. Sekarang? Dia sudah berlutut di hadapan Soobin yang masih diliputi rasa terkejut. "Aku tidak tahu lagi harus bagaimana. Aku yakin dia selamat."
Soobin melihat ke sekeliling. Bisa gawat kalau ada yang melihat mereka. Setengah hati, dia meminta Taehyun untuk bangkit. "Bangun! Berhenti memalukan dirimu sendiri."
"Aku mohon."
"Bagaimana caranya? Aku masih tidak paham."
"Ikuti suara itu. Kau masih tetap mendengarnya kan? Kita akan ikuti suara itu dan akan ada jawabannya," sahut Taehyun pelan.
Soobin mengeryit untuk beberapa saat. Apakah patut dicoba? Jujur saja, suara itu jadi lebih lantang serupa seruan keras, bahkan lebih membengkakkan telinga sampai Soobin khawatir dia akan tuli. Tidak hanya terdengar saat dia tidur, tapi saat dia berjalan, di kelas, ke toilet, bahkan saat dia makan! Suara itu bagaikan udara dingin yang tidak gentar, justru makin melolong di tengah situasi apapun.
"Jadi, kau yakin temanmu, Choi Beomgyu, masih hidup?"
"Dia hanya terjebak di suatu dimensi lain." Taehyun menyerahkan satu benda dari tasnya. "Aku sudah membacanya. Kita mungkin akan dapatkan skenario terburuk, tapi aku perlu mencoba. Bersamamu. Aku akan menemukan pelaku kebakaran itu, hanya saja, aku perlu selamatkan sahabatku dahulu." Taehyun meringis. "Aku takut kita tidak punya banyak waktu. Hanya 40 hari sejak kejadian itu .."
"Tapi ini sudah lebih dari 40 hari!"
"Aku tahu."
Soobin membasahi bibir bawahnya dan menatap lekat. "Kau yakin berhasil?"
"Soobin-ssi!"
Keduanya menoleh bersamaan. Bu Hanna sontak berjalan cepat ke hadapan mereka berdua. Dia mengatur napasnya yang berantakan dan menatap Soobin. "Mau ke mana? Kau ada jam pelajaran tambahan denganku, mau pulang sekarang? Kau sakit lagi?" tanyanya bertubi-tubi.
Soobin nampak tergagap beberapa saat, sedangkan Taehyun memperhatikan keduanya dengan pandangan menyipit. "Saya .. Taehyun .. kami hendak belajar bersama untuk hari ini, Bu. Apakah boleh saya izin sekarang?"
"Buku apa itu?"
Soobin buru-buru menyembunyikannya di balik tubuh. "Bukan apa-apa, hanya buku biasa," katanya cepat. "Bagaimana bolehkah, Bu? Maaf jika mendadak dan saya tidak memberitahukan sejak kemarin. Hanya saja, rencananya kami pun akan ke perpustakaan kota, dan mengembalikan buku ini juga. Akan ada Huening Kai juga. ini menyenangkan."
"Tapi .. kau tidak seharusnya seperti ini. Kita sudah bicarakan, nilaimu agak turun beberapa waktu, bahkan dua minggu lagi akan ada ujian. Bagaimana bisa?" Bu Hanna beralih kepada Taehyun. "Apakah kau juga tidak ada kelas tambahan?"
"Maaf, Bu. Kelas tambahan baru berlaku mulai besok, Pak Choi memberitahukannya."
Bu Hanna mengerucutkan bibirnya. Kandas sudah harapannya untuk berduaan dengan Soobin padahal dia juga sudah berencana untuk memesan menu makan malam bersama Soobin. Dia sangat rindu, dan menyesal karena saat Soobin tidak masuk sekolah, dia bahkan tidak sempat untuk menjenguk karena jadwal mengajar serta persiapan untuk ujian menyita banyak waktunya. "Jangan pulang terlalu larut, perpustakaan kota itu agak jauh kan dari rumahmu? Istirahat dan pastikan untuk makan malam dan minum obatmu," katanya kepada Soobin.
Soobin mengangguk dan mereka berdua pun pamit. Setibanya di dekat pagar, Taehyun menghentikan langkah dan memandang miring. "Bu Hanna jadi sangat perhatian kepadamu, Sunbae. Apakah kalian memang sedekat itu? Padahal, kepada murid lain tidak seperti itu."
"Dia memang ramah."
"Begitu?"
*
*
November 13
Soobin melongok keluar jendela dan menghentikan taksi mereka. Padahal, rumah Taehyun masih cukup jauh, hingga Kai pun saling berpandangan dengan Taehyun. Dilihatnya, Soobin sudah turun seusai membayar taksi mereka. "Yeonjun-ssi!"
Di dekat taman itu, nampak satu punggung yang agak bungkuk. Seseorang itu tengah berada di tengah lapangan, bermain basket sendirian saat Soobin berhambur mendekatinya. Yeonjun merasa dipanggil pun langsung menoleh dan pandangannya menyipit. "Soobin?"
Soobin tersengal-sengal dengan wajah memerah. Dia meraih tangan Yeonjun dengan wajahnya yang berkeringat tersebut. "Kau di sini."
"Ada apa?" Ekspresi Yeonjun langsung mengeras sesaat dia mendapati ada dua sosok lain yang bergabung. Yeonjun langsung memunggut bola basketnya dan menaruhnya di satu lengan. Dia memandang tidak senang kepada Taehyun dan Kai bergantian. "Oh, kalian berteman sekarang? Wah! Kejutan!"
"Kau juga dengar suara itu kan?"
Yeonjun menggeleng. "Suara apa?"
"Teriakan! Kau sempat bercerita kepadaku waktu kau bebas dari rumah sakit. Kau harus ikut dengan kami juga.." Soobin hendak memandang Taehyun dan Kai untuk meminta persetujuan, hanya saja Yeonjun sudah menepis tangan Soobin yang hendak mengajaknya. "Yeonjun-ssi."
"Jangan bergurau. Aku tidak dengar apapun. Ada masalah apa sih semua ini?"
"Choi Beomgyu."
Yeonjun tergelak di tempatnya. "Serius? Dia sudah mati! Orang itu sudah tidak di sini. Apakah kalian akan terus berharap layaknya orang bodoh? Move on, guys! Dia sudah terbakar, jadi abu. Wush! Hilang dengan angin. Jadi, sudah berhenti saja. Apakah kalian pikir dia masih bisa terselamatka? Keluargany saja sudah mengikhlaskan, mengapa keraskepala?" Yeonjun berbalik, memasukkan bolanya ke ring basket secara tepat hingga bola itu jatuh dan memantul-mantul rendah.
Taehyun hendak maju, dengan wajahnya yang sudah memerah pula. Namun, Kai sudah menahan bahunya dan bergerak lebih dahulu. "Kau pikir begitu? Mengapa kau berpikir demikian? Kau tidak percaya bahwa ada harapan di dunia ini?"
"Aku hanya tahu kalian sudah membuang banyak waktu." Yeonjun berucap sengit. Tidak pernah ada yang namanya keajaiban. Harapan. Bahkan hidup kedua. Beomgyu sudah mati. Beomgyu sudah jadi kenangan. Beomgyu sudah tidak bersama mereka. Beomgyu ..
"Kau cerita kepadaku bahwa kau mendengar suara-suara juga. Mengapa kau jadi mendadak keras sekarang? Kau tidak sendirian, aku mendengarnya dan mereka pun tahu jawabannya dari suara itu—"
"Kubilang aku tidak mau terlibat! Aku tidak peduli. Ini hanya suara .. suara monster!" pekiknya berang. "Kalau memang itu tetap terdengar olehku, apa masalahnya? Aku sudah tumbuh seperti ini," katanya dengan berapi-api. Yeonjun mendengus kasar dan mengambil kembal basketnya. Tenang, tenang, Yeonjun. Moo itu akan diam. Moo hanya bayangan ketakutanmu saja.
"Sudahlah, Sunbae. Sebaiknya kita pergi sekarang," ajak Kai dan dia mengisyaratkan kepada Taehyun untuk mengikuti. Soobin masih menatap hampa ke arah Yeonjun yang sudah memunggunginya. Padahal, dia hanya ingin mengajak Yeonjun saja, agar dia tidak seperti orang aneh sendirian.
"Kalau sewaktu-waktu kau berubah pikiran .."
"Pergi sana, sialan!" jawab Yeonjun.
[]