27- Baik Untuk Menyakiti, Lagi?

12K 849 66
                                    

18 Februari. Semoga semua tanggal bisa kita lewati dengan sangat baik:)

Selamat membaca, selamat menikmati, semoga suka🦋🙆

Vote dan komen jangan lupa ya..

-oOo-


Karena Bi Muti hari ini tidak bekerja seperti biasanya di rumah Athaya, jadilah cewek itu keluar untuk mengisi perutnya yang dari tadi sudah kelaparan.

"Jadi kangen sama Ayah," monolog Athaya sembari mengeratkan jaket kebesaran milik almarhum Ayahnya.

"Aya!"

Athaya menoleh saat Bunda Ana memanggilnya. Wanita dengan pakaian kasual itu menyusul Athaya dengan senyum lebar.

"Baru aja Bunda mau nyamperin kamu ke rumah," katanya.

Athaya mengernyit bingung, tapi tak urung ia tersenyum. "Kenapa Bun?"

Tanpa menjawab terlebih dahulu pertanyaan Athaya, Ana malah langsung merangkul cewek itu dan mengajaknya untuk segera melangkah. "Kamu hari ini makan di rumah Bunda ya. Bunda udah masakin yang banyak untuk kamu."

"Serius Bunda? Aya jadi ngerepotin dong?"

Ana menggeleng cepat. "Sama sekali nggak ngerepotin sayang."

"Mas, liat nih aku bawa siapa???" Ana semangat sekali memamerkan sosok Athaya pada suami dan juga putra satu-satunya, Athala.

"Aya duduk di depan Athala aja," kata Fandi-ayah Athala.

Athaya merasakan euforia yang sangat berbeda saat Om Fandi menyambutnya dengan baik, serta Bunda Ana yang kali ini dengan telaten menyiapkan makanan untuk mereka berempat. Tidak sedikitpun perempuan itu membiarkan Athaya untuk membantunya.

Untuk pertama kalinya Athaya merasa punya orang tua yang lengkap. Meskipun Om Fandi dan Bunda Ana bukanlah orang tua kandungnya.

***

"Kenapa nangis?"

Athaya tersentak ketika Athala tiba-tiba saja sudah duduk tepat di sampingnya. Tadi, setelah selesai makan malam bersama keluarga Athala, cewek itu meminta izin pada Bunda Ana untuk ke taman belakang rumah.

"Hah? Enggak kok," dengan tergesa-gesa ia menghapus jejak air mata yang sebelumnya sangat ia nikmati meskipun sendu.

Untuk sekilas Athala tersenyum, bahkan anak kecil pun bisa dengan cepat menebak bahwa Athaya sedang sedih, dan bahwa cewek itu tengah menangis.

"Kalo memang sakit banget dan nggak bisa ditahan. Nangis aja di depan aku, nangis semaunya kamu. Tapi setelah itu, kamu harus janji untuk bahagia lagi." Athala tersenyum, ia menatap Athaya dengan pendar yang sangat tulus. "Hidup tanpa kesedihan itu nggak mungkin. Juga, hidup tanpa bahagia pun sama nggak mungkinnya Ya."

Athaya tersenyum getir, pelupuk matanya hampir saja penuh oleh cairan bening yang tertahan di sana. Bahkan dengan satu kerjapan saja, air matanya bisa merembes membasahi pipi. "Kenapa aku nggak diizinkan untuk punya keluarga selengkap dan sebahagia kamu? Tuhan tau nggak sih kalo aku juga ingin?"

"Jujur, aku nggak pernah tau rasanya ada di posisi kamu. Karena, manusia memang nggak akan pernah tau rasanya di posisi orang lain, saat mereka sendiri belum pernah mengalaminya." Athala lalu menatap Athaya dari samping. "Tapi aku paham, paham banget apa yang kamu rasain Ya."

Masih dengan menatap hamparan langit gelap malam itu, Athaya tersenyum tanpa menoleh pada Athala. "Terimakasih udah paham kak."

"Kak Athala tau kenapa aku suka langit?"

ATHALATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang